Selingkuh untuk Cinta yang Lebih Baik?


Sumber gambar: https://timesofindia.indiatimes.com/



Selingkuh tidak terlepas dari fitrah manusia yang ingin memiliki lebih banyak cinta dan ingin dicintai lebih banyak. Tidak  bisa dipungkiri bahwa cinta memiliki titik jemu. Setiap orang harus terus berinovasi dan menyegarkan komunikasi agar hubungan yang dibangun terus terawat. Hal ini tentuh susah, susah, susah, karena godaan dalam merawat hubungan akan terus ada sepanjang hubungan itu ada.


Setiap orang selalu punya argumentasi sendiri untuk membenarkan perselingkuhan. Seringkali mengkambinghitamkan puber kedua. Padahal perselingkuhan tidak semata dorongan bilogis, namun banyak sekali faktor eksternal yang justru melatarinya.


Perselingkuhan biasanya didorong atas dasar pencarian fantasi baru yang mungkin belum didapatkan dari hubungan sebelumnya. Mungkin juga disebabkan karena kegagalan membangun komunikasi, sebagian lainnya karena ketidakpuasan biologis, dan mungkin sedikit karena faktor ekonomi.


Yang juga biasa terjadi terkadang seseorang tidak terasa telah membangun kedekatan komunikasi dengan lawan jenis yang bukan pasangan mereka. Mereka terlalu nyaman dalam berbagi privasi, dan menjaga intensitas komunikasi yang dianggap biasa. Hal ini yang kadang tidak terasa menjerumuskan orang pada jurang perselingkuhan.


Siapapun yang berani menangkap sinyal godaan bisa dimungkinkan akan terjerembab dalam perselingkuhan. Ditambah lagi adanya kesempatan yang membuat hasrat untuk memuluskan perselingkuhan semakin kuat. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa perselingkuhan adalah tantangan yang menyenangkan meskipun menggelisahkan.


Meskipun selingkuh adalah fitrah, tapi ada nilai moral yang kita bangun dan membatasinya. Ikatan pernikahan, dan keberadaan seorang anak biasanya akan menjadi pertimbangan moral yang sangat besar. 


Sebagian orang yang berani selingkuh mungkin tidak pernah berfikir untuk benar-benar menghancurkan hubungan yang mereka bangun sebelumnya. Karena secara sadar seseorang yang melakukan perselingkuhan sudah pasti telah terfikir dampaknya. Pilihannya adalah berani atau tidak.


Dalam sisi yang positif, meskipun berat, perih, dan sakit, perselingkuhan juga harus dipandang sebagai ujian kesetiaan. Tentu bagi mereka yang berhasil melewatinya, atau bahkan menghindarinya. 


Akan tetapi perselingkuhan tetap menjadi dosa yang  tidak termaafkan. Seperti Tuhan yang memberikan ganjaran dosa besar bagi hamba yang mempersekutukannya.

***

 

Read More

Menjadi Ayah Asi


Sumber gambar: nextshark.com


Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga adalah anugerah dan dambaan bagi setiap orang. Di satu bisa menjadi penguat ikatan rumah tangga, namun di sisi lain juga menjadi tantangan dengan hadirnya tanggung jawab yang semakin berat.


Hadirnya anak dalam keluarga adalah babak baru dalam proses berkeluarga, karena itulah diperlukan adaptAsi secepat mungkin bagi suami istri. Karena sungguh proses ini tidak pernah diajarkan dengan baik di bangku sekolah dan bahkan di keluarga sendiri.


Dalam budaya kita, mengasuh anak menjadi satu dari sekian banyak daftar kerjaan domestik yang identik  dengan perempuan. Oleh karena itu, dengan adanya anak berarti bertambah daftar kerjaan domestik yang dibebankan pada perempuan.


Setelah melahirkan, menyusui menjadi tugas baru bagi perempuan yang sangat penting.  Lagi-lagi, proses menyusui ini sangat diidentikan dengan tugas perempuan semata.  Dalam tugas ini, kebanyakan suami merasa kikuk dan bahkan lepas tangan.


Bekal pengetahuan yang dimiliki kebanyakan seorang suami sangat minim. Minimnya bekal pengetahuan ini yang juga memiliki andil dari sikap acuh seorang suami.


Tentu kita tidak perlu pertanyakan lagi seberapa besar manfaat Asi (air susu ibu). Semahal apapun susu formula, sungguh tidak dapat menggantikan asupan nutrisi yang ada dalam Asi.


Yang disayangkan saat ini banyak wanita yang justru lebih memilih memberikan asupan susu formula dengan ragam alasan yang menyangkut waktu dan kecantikan. Dan ditambah lagi saat ini banyak dokter, bidan dan konsultan gizi yang tidak pro terhadap Asi. Dan dimungkinkan pula karena tidak adanya motivAsi dari seorang suami.


Ketika tidak ada halangan secara fisik maupun psikologis yang menyebabkan seorang wanita  tidak memungkinkan untuk menyusui, saya kira memenuhi Asi adalah hak mutlak bagi anak.


Saat awal menikah, saya dan istri berkomitmen untuk tidak menunda memiliki anak dan sepakat akan menjadikan Asi satu-satunya asupan susu bagi anak hingga usia dua tahun. Saya dan istri selalu membayangkan bahwa tidak pernah ada susu selain Asi. Hal ini kami lakukan sebagai motivasi dalam memenuhi hak-hak anak.


Meskipun pada tahun pertama menyusui, istri saya harus berjibaku dengan fibroadonema mamae (FAM) yang bersemayam dalam payudara kanannya. Sehingga harus menjalani oprasi dan selama beberapa hari harus beristirat penuh. Namun beruntung Asip yang ditabung mAsih cukup sembari menunggu fisik istri saya pulih.


Menyusui bukan hanya perkara memberikan air susu, namun di balik itu ada kedekatan jalinan seorang anak dan ibu terbangun dalam aktifitas ini, yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan karakter anak. Bagi seorang Ibu menyusui banyak mengandung pembelajaran, seorang Ibu dituntut untuk menjaga kualitas Asi dengan benyak mengkonsumsi makanan bergisi dan asam folat tinggi.  Menyusui juga melatih kesabaran seorang Ibu.


Di tengah aktifitas yang sangat intim antara anak dan Ibu ini, lalu di mana peran suami atau laki-laki?


Seorang suami seringkali bingung harus berbuat apa saat anak terbangun tengah malam karena ingin menyusu. Karena bingung akhirnya seorang suami pun memilih untuk melanjutkan tidur setelah bangun sejenak untuk memantau situAsi. Termasuk sayapun pernah demikian.


Tapi perlahan saya sadar bahwa dengan tetap terjaga saat istri menyusui di malam hari, sudah menjadi support yang sangat berharga bagi istri.


Yang penting digaris awahi adalah bahwa menyusi merupakan sebuah proses. Jangan hanya melihat pada satu aktifitasnya saja. Artinya aktifitas tersebut memiliki runutan yang saling memengaruhi.


Sebagai contoh, seorang Ibu yang menyusui sudah pasti memerlukan asupan makanan bergizi dan tinggi asam folat. Tugas seorang suami yang pro Asi harus dapat memastikan asupan makanan dan nutrisi terjaga dengan baik.


Seorang Ibu yang menyusui juga memerlukan tereatmen atau sentuhan agar peredaran darah menjadi lancar, sehingga kelenjar susu dapat memeroduksi Asi dengan maksimal. Dalam hal ini seorang suami pro Asi dapat menjadi seorang traspis dadakan yang bisa merileksasi  istri, terutama setelah menyusui.


Dalam hal psikologis, seorang suami juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas mental istri. Menyusui merupkan tugas mulia yang cukup melelahkan. Kondisi lelah ini yang terkadang dapat memberikan guncangan mental sehingga dapat memengaruhi kualitas Asi. Dengan meringankan pekerjaan domestik, paling tidak seorang suami sudah berperan penting dalam menjaga stabilitas mental itu.


Tentu mAsih banyak hal yang bisa dilakukan seorang suami dalam menunjang seorang istri dalam menyusui. Perlu diingat bahwa menyusui merupakan rangkaian aktifitas yang saling memengaruhi. Tentu ada bagian yang tidak dapat diambil oleh laki-laki, namun banyak bagian di mana suami dapat mengambil peran dalam mendukung pemberian Asi.

 

Wallahu'alam Bishawwab

 

 

 


Read More

Media Sosial dan Tren Sholawat di Masjid


Di awal tahun 2000-an masih teringat betul dalam benak saya betapa senandung sholawat Cinta Rasul karya Hadad Alwi dan Sulis begitu mencuri perhatian masyarakat Islam Indonesia. Lantunan sholawat yang fasih, suara yang merdu dan alunan instrumental yang harmoni membuat hanyut setiap pendengarnya. Tidak aneh kemudian jika album Cinta Rasul menjadi langganan daftar putar pada saat kegiatan hari besar Islam, atau sekedar menemani bapak-bapak pengurus masjid melakukan kerja bakti di lingkungan masjid.


Selain Hadad Alwi dan Sulis, Wafiq Azizah juga mencuri atensi penikmat sholawat di Indonesia dengan berbagai judul sholawatnya yang khas dengan iringan musik gambus dan qasidah. Meskipun tidak semahsyur album Cinta Rasul, namun senandung sholawat Wafiq Azizah cukup memengaruhi sajian senandung sholawat para peggiat seni Islam seperti qasidah dan marawis.


Satu kecenderungan genre sholawat yang juga muncul pada awal tahun 2000-an adalah nasyid (senandung) yang biasa dibawakan oleh sekelompok penyanyi yang biasanya laki-laki. Sholawat nasyid ini begitu baik diterima oleh para aktivis masjid dan kaum tarbiyah di kampus-kampus, terutama dengan lagu-lagu perjuangannya.


Sedikitnya tiga kecenderungan genre sholawat di atas tidak kalah booming dengan album-album cover yang saat ini dinyanyikan oleh Nisa Sabyan. Namun yang menarik adalah tren sholawat yang muncul di awal tahun 2000-an itu tidak banyak memengaruhi senandung sholawat yang biasa dibawakan menjelang shalat fardhu (biasanya menjelang maghrib). 


Seingat saya, dahulu hampir setiap daerah biasanya memiliki ciri khas sholawat tersendiri. Ada sholawat yang menggunakan lirik bahasa daerah, adapula sholawat yang mengadaptasi irama lagu khas daerah serta kekhasan lainnya yang membuat kita terkadang merasa de javu ketika mendengar shlawat yang khas itu, yang acapkali mengingatkan kita pada satu daerah dan kondisi tertentu. Artinya sholawat yang disenandungkan di masjid-masjid sejak lama tidak pernah memiliki tren tertentu.


Sholawat yang dibawakan di masjid-masjid  dahulu nampak terlepas dari hiruk-pikuk tren sholawat yang waktu itu tengah berkembang. Namun, dalam tiga tahun belakangan ini terasa betul bagaimana media sosial begitu memengaruhi sajian sholawat yang dibawakan di masjid-masjid kita. Baik sholawat yang disenandungkan menjelang sholat fardhu, hari besar Islam, maupun pengajian Ibu-ibu yang biasa digelar mulai Jumat pagi hingga Minggu siang.


Saat ini kita menyaksikan betapa media sosial membuat sholawat di masjid-masjid kita menjadi hampir seragam. Satu sholawat yang menjadi trening dalam platform media sosial seperti Youtube dan Tiktok sudah bisa dipastikan segera akan meramaikan senandung sholawat di masjid-masjid.


Misalnya pada tahun 2018 ketika sholawat Ya Habibal Qolbi menjadi salah satu sholawat yang banyak dilihat dalam platform Youtube dengan 343 juta kali ditonton. Segera setelah itu sholawat yang dibawakan oleh Nisa Sabyan itu menjadi tren di masjid-masjid.


Kemudian pada awal Agustus 2019 ketika Nisa Sabyan kembali meluncurkan cover sholawat Man Ana yang telah disaksikan hingga 53 juta kali dalam kanal Yutube, kembali sholawat tersebut menjadi tren di masjid-masjid.


Dan yang belum lama ini, di akhir tahun 2020 hingga awal 2021, kita menyaksikan betapa media sosial seperti Youtube dan Tiktok kembali memberikan pengaruh bagi  tren sholawat di masjid-masjid kita dengan ramainya sholawat berjudul Allahul Kahfi. Sedikitnya cover sholawat tersebut telah disaksikan lebih dari 120 juta kali, jika kita menggabungkan penonton dalam kanal Youtube Nisa Sabyan, Keluarga Nahla, dan Syakir Daulay.


Realita ini menjadi satu pertanda adanya peningkatan atensi masyarakat terhadap sholawat dengan genre pop, dibanding dengan sholawat dalam versi qasidah ataupun gambus yang sudah terlebih dahulu berkembang.


Namun di samping itu, ada kearifan sholawat yang khas dengan ciri atau identitas satu daerah yang perlahan tergerus. Sholawat khas tersebut mungkin tidak lagi dipandang ‘keren’ oleh kebanyakan remaja, anak-anak ataupun Ibu-ibu kita. Ini menjadi kenyataan yang unik, betapa media sosial saat ini punya andil besar dalam memengaruhi dan menentukan pernak-pernik keberagamaan kita. Tentu ini bukan problematika.


Wallahu'alam Bishawwab

Read More

Pelajaran Sejarah dan Amanat Seminar Sejarah Nasional (SSN) Tahun 2018



Belum lama ini terjadi diskursus di masyarakat kita tentang isu penghapusan mata pelajaran sejarah dalam kurikulum nasional. Entah dari mana mulanya, tapi isu ini menyebar begitu cepat dan mendapat kecaman dari para guru sejarah, sejarawan dan akademisi dalam ragam bentuk forum daring. Organisasi profesi kesejarahan pun seluruhnya kompak dengan tegas dan secara resmi menolak penghapusan mata pelajaran sejarah dari kurikulum nasional.

Jika benar adanya, entah kapan penyederhanaan kurikulum itu terjadi di mana mata pelajaran sejarah menjadi salah satu tumbalnya, tentu gejolak yang ada bukan hanya soal moral dari pelajaran sejarah itu sendiri, tapi jauh lebih luas, terutama tentang posisi guru sejarah, dan jurusan-jurusan yang memproduksi para guru sejarah dan sejarawan.

Isu ini segera mendapat tanggapan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Dalam video converencenya ia menegaskan bahwa pelajaran sejarah tidak akan dihapus karena dianggap sebagai tulang punggung identitas dan karakter bangsa.

Terlepas dari berbagai diskursus yang muncul di ruang publik, isu ini, ada baiknya juga menjadi bahan intropeksi bagi para pemangku kepentingan, guru sejarah dan sejarawan. Arti penting sejarah bagi bangsa tentu bukan hal yang harus didiskusikan lagi. Semua orang sadar bahwa bangsa kita yang beragam yang memiliki dinamika perjalanan pembentukan dan pembangunan yang panjang diikat erat oleh ingatan kolektif. Sedangkan ingatan kolektif itu hanya bisa tetap terjaga jika kita sadar dan belajar dari sejarah. Karena itulah sejarah menjadi bagian yang strategis dalam menjaga keutuhan berbangsa. Tentu masih banyak lagi kegunaan moral yang dapat diambil dari belajar sejarah.

Akan tetapi pada realitanya, kesadaran itu sulit dicapai. Entah harus bagaimana lagi mata pelajaran sejarah itu disampaikan oleh guru sejarah.Mata pelajaran sejarah sampai saat ini hanya menjadi penghias dari kurikulum kita. Sejarah tidak dianggap inti dan substantif bagi sekolah dan para peserta didik.

Mata pelajaran sejarah tidak bergengsi layaknya mata pelajaran eksak seperti IPA dan Matematika. Jumlah jam pelajaran yang diberikan pun sangat sedikit. Mata pelajaran sejarah seringkali tidak diminati oleh peserta didik dan dianggap membosankan, karena cenderung menghafal tahun, nama tokoh, nama tempat, peristiwa, dan informasi-informasi masa lalu lainnya.

Informasi masa lalu itu bertumpuk sesak sehingga memunculkan keengganan bagi peserta didik untuk mempelajarinya. Belum lagi soal guru sejarah yang menyampaikan materi dengan monotone dan ditambah dengan keterbatasan bahan referensi dan kelangkaan media pembelajaran yang menarik dan aplikatif.

Semua persoalan yang melingkupi mata pelajaran sejarah ini bukan tidak pernah di atasi. Guru-guru sejarah kita bukan tanpa upaya dalam mengatasi persoalan ini. Namun dalam banyak kasus upaya menyajikan sejarah yang dekat dan mengena dengan peserta didik acapkali dilakukan secara parsial dan perorangan. Artinya sosok guru lah yang menjadi penentu mata pelajaran sejarah itu dapat diterima dengan baik atau tidak.  Padahal pelajaran sejarah adalah hajat nasional. Ini adalah kepentingan bersama yang harus ditelaah bersama  dari hulu hingga ke hilirnya.

Upaya untuk mengevaluasi pelaksanaan pendidikan kesejarahan di Indonesia dan untuk memperbaiki pendidikan kesejaran di Indonesia sebenarnya pernah dirintis oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalaui Direktorat Sejarah bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Perhimunan Prodi Sejarah Seluruh Indonesia (PPSI).

Evaluasi ini diselenggarakan dalam bentuk kegiatan Seminar Sejarah Nasional (SSNI) yang mengusung tema “Paradigma dan Arah Baru Pendidikan Kesejarahan di Indonesia”. Seminar yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada ini dihadiri oleh 125 pemateri dari berbagai kalangan seperti guru, sejarawan dan para akademisi lintas studi.

Seminar yang diselenggarakan pada tanggal 3-4 Desember 2018 ini menyimpulkan bahwa pendidikan kesejarahan memiliki arti yang sangat penting untuk menumbuhkembangkan kesadaran kebangsaan, nasionalisme, cinta tanah air dan kebhinekaan di Indonesia. Kesimpulan itu kemudian diturunkan menjadi tujuh butir rekomendasi sebagai berikut:

1. Guru sejarah menjadi figur sentral yang akan menjadi subyek penting dalam pendidikan kesejarahan Oleh karena itu peningkatan kualitas guru sejarah harus menjadi prioritas penting dalam pendidikan kesejarahan kini dan masa depan. Peningkatan kualitas guru itu meliputi peningkatan kemampuan penguasaan substansi sejarah dan metode dan metodologi pembelajaran sejarah.

2. Perkembangan teknologi informasi telah mendorong transformasi  di berbagai bidang, termasuk dalam memahami peristiwa sejarah dan kesejarahan. Oleh karena itu pendidikan kesejarahan harus memanfaatkan semaksimal mungkin teknologi informasi dan sekaligus menghadirkan sejarah dalam berbagai bentuk.

3. Kurikulum Pendidikan Sejarah di sekolah menengah yang diterapkan saat ini memerlukan peninjauan ulang disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan baru dalam pemahaman kesejarahan masyarakat yang berubah.

4. Kurikulum sejarah harus merubah orientasi tematik dalam substansi pembelajarannya dari sejarah politik ke sejarah sosial, budaya dan sejarah intelektual/pemikiran. Hal ini untuk mengakomodasi peran-peran sejarah yang dimainkan oleh kelompok-kelompok sosial marginal / non elit dan juga untuk menampilkan tokoh-tokoh sejarah baru di bidang sosial, pemikiran/intelektualitas dan kebudayaan.

5. Penulisan buku induk Sejarah Nasional Indonesia dengan paradigma baru harus segera dilakukan dengan mengikutsertakan para sejarawan akademik bereputasi yang diwadahi oleh beberapa organisasi profesi seperti Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Perkumpulan Prodi-Prodi Sejarah Seluruh Indonesia (PPSI). Untuk itu perlu segera diadakan sebuah symposium khusus yang membahas penulisan buku baru Sejarah Nasional Indonesia.

6. Komunitas kesejarahan memiliki peran penting dalam membangun kesadaran sejarah masyarakat melalui berbagai kegiatan. Oleh karena itu perlu dikembangkan fasilitasi baik dalam bentuk dana, kemudahan akses ke berbagai situs sejarah dan pengembangan kualitas organisasi dan menejemen kegiatan.

7. Banyak individu, kelompok, lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang telah berjasa dalam pengembangan pendidikan kesejarahan, penelitian dan penelitian sejarah, penerbitan karya-karya sejarah yang bermutu, serta penyelamatan sumber-sumber, artefak dan situs sejarah. Oleh karena itu Negara perlu memberikan penghargaan yang layak terhadap mereka.

Butir-butir rekomendasi yang ditandatangani oleh Dr. Sri Margana selaku ketua pelaksana ini telah disampaikan langsung oleh Kepala Pusat Perbukuan dan Kurikulm (Puskurbuk) Kemdikbud yang kala itu dijabat oleh Awaludin Tjala, di mana beliau juga menjadi satu dari enam pembicara kunci dalam Seminar Nasional tersebut. Namun tindak lanjut dalam menyikapi berbagai rekomendasi tersebut nampaknya belum sepenuhnya terealisasikan. Inilah yang kemudian penting untuk didorong.

Butir-butir dari rekomendasi tersebut telah jelas, detail dan komprehensif membidik rongga-rongga yang perlu dilengkapi dari pembelajaran sejarah kita, mulai dari guru, media pembelajaran, kurikulum, penulisan buku induk, peran komunitas serta apresiasi bagi orang yang telah berjasa dalam bidang kesejarahan. Bahkan poin ketiga menegaskan perlunya peninajaun kembali terhadap kurikulum pembelajaran sejarah di tingkat Sekolah Menengah Atas. 

Artinya apa yang menjadi kegusaran insan kesejarahan saat ini sesungguhnya telah dibahas dan dirumuskan akar-akar persoalannya.  Rekomendasi ini sesungguhnya dapat menjadi pegangan para insan kesejarahan dalam menyikapi isu yang muncul belakangan ini. Rekomendasi SSN 2018 ini cukup menjadi koreksi kerja para guru sejarah, pemerintah dan sejarawan selama ini dalam menghadirkan pembelajaran sejarah yang layak guna. Artinya sanggahan-sanggahan normatif yang terus menerus digaungkan oleh insan kesejarahan tidak perlu dilajutkan.

Isu penghapusan mata pelajaran ini ada baiknya juga menjadi ruang jeda bagi para  insan kesejarahan untuk merumuskan dan menata kembali apa yang menjadi kekurangan dalam pembelajaran sejarah saat ini. Jika pelajaran sejarah memang bisa memberikan arti bagi masyarakat atau khususnya peserta didik, tentu kata penting itu akan dengan sendirinya disadari oleh masyarakat kita.

Wallahu'alam Bishawwab
***

 

 

Read More

SEJARAWAN YANG TIDAK LAGI MENULIS



Ada dua jenis sejarawan yang tidak lagi menulis, pertama adalah sejarawan yang telah wafat dan kedua sejarawan yang telah hilang hasrat. Yang kedua menarik, mungkin jumlahnya ratusan, atau bahkan ribuan di Indonesia.

Tentu menulis yang dimaksud bukanlah menulis yang secara harfiah diartikan sebagai menuangkan ide dan gagasan atau hasil riset dalam bentuk tulisan. Menulis di sini adalah upaya untuk mengasilkan karya dalam bidang kesejarahan apapun bentuknya.

Entah, saya belum tahu pasti berapa persisnya jumlah jurusan kesejarahan yang ada di Indonesia. Dalam data anggota Perkumpulan Perodi Sejarah se-Indonesia ada sejumlah 70 jurusan kesejarahan yang tergabung. Tapi yang pasti di universitas yang berada di kota-kota besar selalu ada jurusan kesejarahan, baik pendidikan sejarah, ilmu sejarah, sejarah kebudayaan Islam maupun sejarah peradaban Islam.

Para lulusan jurusan sejarah memang sebagian besar menolak disebut seorang sejarawan. Tidak beda dengan rumpun ilmu lain. Mislanya seorang lulusan Jurusan Seni, Arkeologi dan Antroplogi juga tidak selalu percaya diri ketika mereka harus dipanggil seorang seniman, arkeolog dan antropolog. Mungkin ini hanya dilema ketidakpercayaan diri.

Waktu di semester satu jurusan sejarah dulu saya diberi tahu oleh seorang dosen, bahwa seorang sejarawan adalah ‘kita’, yakni orang-orang yang dididik di jurusan sejarah. Tapi belakangan ternyata makna kata sejarawan yang saya pahami itu lebih kompleks.

Karena nyatanya jurusan sejarah hanya mencetak lulusan sejarah, bukan sejarawan. Ijazah yang diterima para lulusan sejarah tidak lebih dari sekedar tanda tamat belajar, bukan bukti kompetensi mereka sebagai ahli pendendang kearifan masa silam manusia. Skripsi yang menjadi karya akhir tidak lebih sebagai karya formalitas yang memadati ruang-ruang pustaka tanpa pengunjung.

Para lulusan sejarah yang hilang ditelan zaman itu kini perannya banyak tergantikan para penggiat sejarah. Para penggiat sejarah kini banyak tumbuh di tengah masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan jurusan kesejarahan.

Dan akhirnya domain masa lalu itu tidak lagi milik sejarawan atau lulusan sejarah, siapa saja yang berminat boleh berjibaku di sana. Saya jadi teringat apa yang dikatakan Pak Bondan Kanumoyoso, ‘sebenarnya sejarah ini profesi apa hanya kumpulan hobi-hobi saja sih’. Menggelitik, sungguh.

Ada benarnya juga memang apa yang dikatakan Pak Kuntowijoyo, bahwa seorang lulusan sejarah harus siap bekerja di mana pun, baik di pabrik sepatu, pengalengan ikan,  dan ragam tempat lainnya. Tentu pendapat ini didasari pada etos-etos kesejarawanan yang dianggap adaptif dalam beberapa bidang profesi lain. Selain itu juga, melihat lapangan kerja bagi sejarawan yang sangat sempit.

Tidak mungkin semua lulusan sejarah dapat ditampung sebagai dosen, guru, apalagi sebagai ASN di pemerintahan. Seorang yang bekerja dalam dalam intansi kesejarahan juga tidak menjamin mereka masih berhasrat dalam berkarya. Artinya apapun profesinya setelah lulus dari jurusan sejarah , tidak ada jaminan mereka akan terus atau berhenti berkarya.

Saya senada dengan apa yang disampaikan oleh Pak Jusuf Kalla, soal kurangnya pengusaha di negeri kita. Saya rasa jurusan sejarah saat ini jangan hanya sibuk mengidentifikasi keahlian kajian saja, penting juga memasukan mata kuliah kewirausahaan bagi para mahasiswa jurusan sejarah. Hal ini penting agar lulusan sejarah bisa beradaptasi pada ragam bidang yang lebih luas.

Pada akhirnya saya ingin katakan bahwa berkarya atau tidak adalah pilihan dan kebutuhan, hal tersebut mungkin saja adalah panggilan jiwa. Hanya saja disayangkan, ratusan atau bahkan ribuan lulusan sejarah yang lahir dari rahim jurusan sejarah, hanya timbul untuk tenggelam.

Wallahu'alam Bishawwab




Read More