Ada dua jenis sejarawan yang
tidak lagi menulis, pertama adalah sejarawan yang telah wafat dan kedua
sejarawan yang telah hilang hasrat. Yang kedua menarik, mungkin jumlahnya
ratusan, atau bahkan ribuan di Indonesia.
Tentu menulis yang dimaksud bukanlah
menulis yang secara harfiah diartikan sebagai menuangkan ide dan gagasan atau
hasil riset dalam bentuk tulisan. Menulis di sini adalah upaya untuk
mengasilkan karya dalam bidang kesejarahan apapun bentuknya.
Entah, saya belum tahu pasti
berapa persisnya jumlah jurusan kesejarahan yang ada di Indonesia. Dalam data anggota Perkumpulan Perodi Sejarah
se-Indonesia ada sejumlah 70 jurusan kesejarahan yang tergabung. Tapi yang
pasti di universitas yang berada di kota-kota besar selalu ada jurusan
kesejarahan, baik pendidikan sejarah, ilmu sejarah, sejarah kebudayaan Islam
maupun sejarah peradaban Islam.
Para lulusan jurusan sejarah
memang sebagian besar menolak disebut seorang sejarawan. Tidak beda dengan
rumpun ilmu lain. Mislanya seorang lulusan Jurusan Seni, Arkeologi dan Antroplogi
juga tidak selalu percaya diri ketika mereka harus dipanggil seorang seniman, arkeolog
dan antropolog. Mungkin ini hanya dilema ketidakpercayaan diri.
Waktu di semester satu jurusan
sejarah dulu saya diberi tahu oleh seorang dosen, bahwa seorang sejarawan
adalah ‘kita’, yakni orang-orang yang dididik di jurusan sejarah. Tapi
belakangan ternyata makna kata sejarawan yang saya pahami itu lebih kompleks.
Karena nyatanya jurusan sejarah hanya
mencetak lulusan sejarah, bukan sejarawan. Ijazah yang diterima para lulusan
sejarah tidak lebih dari sekedar tanda tamat belajar, bukan bukti kompetensi
mereka sebagai ahli pendendang kearifan masa silam manusia. Skripsi yang
menjadi karya akhir tidak lebih sebagai karya formalitas yang memadati
ruang-ruang pustaka tanpa pengunjung.
Para lulusan sejarah yang hilang
ditelan zaman itu kini perannya banyak tergantikan para penggiat sejarah. Para
penggiat sejarah kini banyak tumbuh di tengah masyarakat, terutama bagi mereka
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan jurusan kesejarahan.
Dan akhirnya domain masa lalu itu
tidak lagi milik sejarawan atau lulusan sejarah, siapa saja yang berminat boleh
berjibaku di sana. Saya jadi teringat apa yang dikatakan Pak Bondan Kanumoyoso,
‘sebenarnya sejarah ini profesi apa hanya kumpulan hobi-hobi saja sih’. Menggelitik, sungguh.
Ada benarnya juga memang apa yang
dikatakan Pak Kuntowijoyo, bahwa seorang lulusan sejarah harus siap bekerja di mana
pun, baik di pabrik sepatu, pengalengan ikan, dan ragam tempat lainnya. Tentu pendapat ini
didasari pada etos-etos kesejarawanan yang dianggap adaptif dalam beberapa
bidang profesi lain. Selain itu juga, melihat lapangan kerja bagi sejarawan
yang sangat sempit.
Tidak mungkin semua lulusan
sejarah dapat ditampung sebagai dosen, guru, apalagi sebagai ASN di
pemerintahan. Seorang yang bekerja dalam dalam intansi kesejarahan juga tidak
menjamin mereka masih berhasrat dalam berkarya. Artinya apapun profesinya
setelah lulus dari jurusan sejarah , tidak ada jaminan mereka akan terus atau berhenti
berkarya.
Saya senada dengan apa yang
disampaikan oleh Pak Jusuf Kalla, soal kurangnya pengusaha di negeri kita. Saya
rasa jurusan sejarah saat ini jangan hanya sibuk mengidentifikasi keahlian kajian
saja, penting juga memasukan mata kuliah kewirausahaan bagi para mahasiswa
jurusan sejarah. Hal ini penting agar lulusan sejarah bisa beradaptasi pada
ragam bidang yang lebih luas.
Pada akhirnya saya ingin katakan bahwa
berkarya atau tidak adalah pilihan dan kebutuhan, hal tersebut mungkin saja adalah
panggilan jiwa. Hanya saja disayangkan, ratusan atau bahkan ribuan lulusan
sejarah yang lahir dari rahim jurusan sejarah, hanya timbul untuk tenggelam.
Wallahu'alam Bishawwab
Wallahu'alam Bishawwab