Pride Flag
Sumber: Awereness Day
Beberapa hari terakhir
pembicaraan tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual atau LGBT kembali
ramai di media sosial. Di Instagram tagar #pride hampir menyentuh angka 25
juta. Di Twitter dalam beberapa hari belakangan tagar #LGBT juga masuk dalam trending topik.
Perbincangan LGBT di Indonesia
belakangan ini dipicu beberapa perusahaan internasional yang menyatakan secara
terbuka dukungannya terhadap kaum LGBT. Kebetulan beragam produk perusahaan
internasional itu telah menjadi kebutuhan sehari-hari kita. Tentu saya tidak
perlu menyebut merek.
Perbincangan tentang LGBT di
Indonesia memang selalu mengalami timbul dan tenggelam. Indonesia hingga saat
ini berada pada posisi yang abu-abu dengan tidak mendukung ataupun melarang. Sejauh
ini hukum Indonesia (KUHP) tidak mengenggap perbuatan homoseksual sebagai
sebagai tindakan kriminal, selama tidak melanggar hukum-hukum yang diatur
secara spesifik.
Sebagai negara dengan jumlah
penduduk muslim mayoritas, gelombang protes kerap muncul ketika kaum LGBT
muncul kepermukaan publik. Hal serupa juga terjadi di negara-negara mayoritas
Islam seperti di Arab Saudi dan Brunei Darussalam yang bahkan tidak segan-segan
mengganjar perbuatan LGBT dengan hukuman mati. Berbeda dengan kondisi di
beberapa negara di Eropa, Amerika Latin dan Afrika yang bahkan secara
kontitusional melegalkan pernikahan sesama jenis.
Lepas dari fakta dan ragam
perbincangan tentang LBGT, penting juga jika kita pahami orientasi seksual secara sederhana.
Manusia diciptakan laki-laki dan
wanita yang secara anatomi berbeda. Keduanya memiliki ketertarikan secara
biologis yang memungkinkan terjadinya perkawainan dan menghasilkan keturunan.
Siklus ini yang juga terjadi pada sebagian besar makhluk hidup lain seperti
hewan dan tumbuhan.
Artinya secara alami, untuk
menciptakan keturunan diperlukan proses dari dua jenis klamin yang
berbeda. Singkatnya, laki-laki yang mengawini laki-laki, dan perempuan dan
mengawini perempuan sampai kapan pun tidak dapat memiliki keturunan secara
biologis. Karena fungsi antomi tidak menghendaki itu. Kodok jantan yang
mengawini kodok jantan sampai kapan pun tidak akan menelurkan berudu. Saya rasa
sampai sini ilmu pengetahuan pun sepakat.
Laki-laki dan perempuan yang
secara anatomi dan bilogis komptibel untuk melakukan perkawainan dan menghasilkan
keturunan namun tidak selalu dibarengi dengan kecenderungan bilogis oleh
sebagian kecil orang. Kalainan kecenderungan inilah yang kemudian membentuk
seseorang memiliki ketertarikan tidak terhadap
lawan jenis, mekainkan terhadap sesama jenis atau bahkan kedua jenis.
Kelainan orientasi ini tentu terjadi
karena ragam faktor. Sebagian besar, kita harus akui adalah faktor lingkungan,
kedua adalah pola asuh dari masa kehamilan hingga pra pubertas dan ketiga sangat
kecil karena faktor genetik (dr. Boyke).
Setiap orang memiliki orientasi
seksual yang dinamis, artinya seorang yang hetero dapat menjadi homo, dan
seorang yang homo dapat menjadi hetero, tentu dengan kadar yang berbeda-beda. Jika memang faktor utamanya adalah pengaruh lingkungan dan pola asuh, artinya
kelainan orientasi seksual ini terbentuk atau dengan kata lain dapat dengan
sengaja dibentuk oleh pola pikir.
Sederhananya, kita punya andil
besar dalam menentukan kecenderungan seksual kita. Sama halnya dengan
menentukan kesukaan warna, jenis pakaian, hobi, pekerjaan, jurusan kuliah dan
sebagainya. Sampai sini saya rasa kita sepakat tidak perlu menyalahkan Tuhan.
Sebagian besar masyarakat kita
mengenggap bahwa LBGT atau terutama homoseksual adalah penyimpangan atau bahkan
penyakit. Karena itulah keberadaanya mendapat penolakan bahkan dimusuhi.
Dengan merundung, menghujat,
memaki dan memusuhi niscaya semua akan sia-sia. Banyak para homoseksual yang
lahir dari terauma kehidupan, rasa kecewa, rasa takut, kekerasan, ketidakadilan
dan sebagainya. Nestapa yang dialami itu tentu akan bertambah panjang jika kita
kita terus berstigma negatif dan memusuhi.
Di balik falsafah love is love yang digaungkan kaum homoseksual, ada sebagian dari mereka yang sebenarnya menganggap diri mereka ada pada petualangan yang belum selesai.
Mereka masih meragukan kecenderungan seksual mereka, entah karena stigma ataupun karena
secara natural mereka menyadari apa yang menjadi kecenderungan mereka tidaklah
tepat.
Mereka adiksi atau candu pada kenikmatan yang menjerat. Sebagian
juga mengalami kesulitan untuk keluar karena pengaruh lingkungan yang terlalu
kuat. Namun banyak pula dari mereka yang kemudian akhirnya kembali menjadi
hetero dan menjalani kehidupan normal.
Kaum homoseksual di Indonesia
menjalalani hubungan mereka dengan sembunyi, namun belakangan sebagian dari
mereka juga perlahan membuka diri, seperti misalnya pasangan Nino & Jeje
(Lihat: Youtube) dan masih banyak yang lain. Beruntung di Indonesia kaum LGBT
hingga saat ini masih dapat berlindung di balik Hak Asasi Manusia.
LGBT atau homoseksual khususnya
adalah tantangan bagi kita semua, baik pemerintah, pendakwah, pakar hukum,
psikolog, seksolog dan berbagai elemen lainnya. Bagi kita yang non-LGBT, yang
menganggap bahwa kita ada pada jalan yang benar, lakukanlah edukasi dan cari solusi. Atau diam jika tidak bisa bertindak. Keberadaan kaum LGBT bukan untuk dimusuhi, dan tentu juga bukan untuk didukung.