Gambar: lithub
Saya sebenarnya tidak begitu
ingat kapan mulanya saya suka membaca buku. Sedikit yang saya ingat, semuanya
berawal dari bacaan komik Naruto dan Dragon Ball yang saya dan kakak saya
koleksi sejak SMP. Kemudian secara perlahan saya menaruh minat pada buku-buku
keagamaan dan sejarah Islam.
Entah sampai saat ini sudah
berapa ribu buku yang teronggok berdebu dan berserakan di kamar saya.
Berkali-kali saya berfikir untuk menjualnya, tapi berkali-kali pula minat itu
saya urungkan.
Lebih dari sekedar bahan bacaan,
buku adalah identitas dan referensi intelektual bagi saya. Buku adalah guru
yang tidak pernah menggurui. Para cendikiawan, intlektual, teknokrat, politis
berpendidikan, pengusaha, sebagian besar adalah pembaca dan kolektor buku yang
baik.
Sejak zaman Yunani Kuno, hingga
kemunculan dinasti Islam seperti Umayyah, Abbasiah, Utsmaniah buku adalah
symbol kemajuan dan keagungan peradaban. Mungkin di negara-negara maju budaya
menaggungkan buku masih terus berlanjut. Tapi lain halnya dengan Indonesia
negeri kita tercinta.
Data UNESCO tahun 2012 menunjukan
bahwa minat baca di Indonesia adalah 0,0001, Artinya hanya 1 dari 1000 orang
penduduk Indonesia yang memiliki minat baca serius.
Pada tahun 2016 Indonesia harus
puas berada pada posisi ke-60 dari total 61 negara yang disurvei indeks
aktifitas membacanya oleh UNESCO. Sungguh miris. Meskipun pemerintah terus
menggiatkan gerakan literasi, namun nampaknya tidak berdampak signifikan bagi
budaya membaca buku di negara kita ini (World Most Literate Nations).
Gairah membaca buku kita sangatlah
lesu. Yang paling mungkin dikambinghitamkan adalah kemajuan dan derasnya arus
informasi dunia digital. Buku dianggap tidak lagi efisien dalam memberikan
informasi di zaman yang menuntut kecepatan akses.
Saat ini kebanyakan orang lebih
ingin mengetahui banyak hal tapi sedikit, ketimbang sedikit hal tapi banyak.
Dahulu orang rela membaca buku demi mendapatkan satu informasi secara mendalam.
Saat ini orang membaca caption postingan
saja terasa berat.
Menurunnya minat membaca buku
berdampak kepada para penerbit indie yang
kini satu demi satu gulung tikar. Dalam surevi IKAPI misalnya, hampir
sebagian besar penerbit hanya mampu menjual sekitar 50% buku yang diproduksi.
Penerbit raksasa sekaliber
Gramedia juga hanya berhasil meraup keuntungan 60% dari total penjualan bukunya
(IKAPI, 2015). Bahkan peneribit plat merah seperti Balai Pustaka kini juga
terengap-engap mengarungi perubahan zaman.
Berbagai upaya dilakukan untuk
mendongkrak penjualan buku. Seperti alihmedia buku ke dalam bentuk digital
seperti ebook, audio book, naskah film dan lain sebagainya. Namun upaya itu
juga belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Beragam media informasi digital
seperti video, podcast, poster, infografis lebih diminati. Beragam media itu
dianggap lebih kompetibel dengan apa yang dibutuhkan manusia saat ini, yakni pemahaman
yang cepat untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Kini kita tidak ingin direpotkan
dengan harus mengebet buku lembar demi lembar untuk mencari informasi yang kita
butuhkan. Cukup dengan menulis kata kunci pada mesin pencarian di internet dan
informasi yang kita dapatkan pun ditemukan.
Dan uniknya saat ini, penjualan
buku yang terus menurun berbanding terbalik dengan produksi beragam judul buku
yang terus meningkat. Saya tidak habis fikir, mengapa buku sebagai proyek rugi
selalu saja berlanjut.
Saya khawatir buku akan seperti
angkutan kota (Angkot), lebih banyak armadanya daripada penumpangnya. Buku-buku
kini tidak hanya dipasarkan oleh para marketing penerbitnya saja, bahkan para
penulisnya juga ikut membantu berjualan bukunya sendiri. Hal ini salah satunya
karena sulitnya penyerapan penjualan buku.
Sesekali penjualan buku meningkat
ketika memasuki tahun ajaran baru sekolah dan ketika tes seleksi CPNS dibuka.
Artinya buku akan dibeli saat ada tuntutan.
Menurunnya para pembaca buku memang
tidak dapat dikatakan hilangnya minat baca. Karena yang sesungguhnya terjadi
saat ini adalah beralihnya media dan kebutuhan membaca. Ini pernyataan husnuzon saya saja.
Meski bukan menjadi media yang
efektif dalam menyajikan kebutuhan informasi yang cepat, paling tidak buku akan
tetap menjadi hobi bagi penikmatnya.
Aroma dan suara gesekan lembar
kertas dianggap tidak akan tergantikan dengan apapun bentuk buku yang tidak
dapat tersentuh fisiknya.