Media Sosial dan Tren Sholawat di Masjid


Di awal tahun 2000-an masih teringat betul dalam benak saya betapa senandung sholawat Cinta Rasul karya Hadad Alwi dan Sulis begitu mencuri perhatian masyarakat Islam Indonesia. Lantunan sholawat yang fasih, suara yang merdu dan alunan instrumental yang harmoni membuat hanyut setiap pendengarnya. Tidak aneh kemudian jika album Cinta Rasul menjadi langganan daftar putar pada saat kegiatan hari besar Islam, atau sekedar menemani bapak-bapak pengurus masjid melakukan kerja bakti di lingkungan masjid.


Selain Hadad Alwi dan Sulis, Wafiq Azizah juga mencuri atensi penikmat sholawat di Indonesia dengan berbagai judul sholawatnya yang khas dengan iringan musik gambus dan qasidah. Meskipun tidak semahsyur album Cinta Rasul, namun senandung sholawat Wafiq Azizah cukup memengaruhi sajian senandung sholawat para peggiat seni Islam seperti qasidah dan marawis.


Satu kecenderungan genre sholawat yang juga muncul pada awal tahun 2000-an adalah nasyid (senandung) yang biasa dibawakan oleh sekelompok penyanyi yang biasanya laki-laki. Sholawat nasyid ini begitu baik diterima oleh para aktivis masjid dan kaum tarbiyah di kampus-kampus, terutama dengan lagu-lagu perjuangannya.


Sedikitnya tiga kecenderungan genre sholawat di atas tidak kalah booming dengan album-album cover yang saat ini dinyanyikan oleh Nisa Sabyan. Namun yang menarik adalah tren sholawat yang muncul di awal tahun 2000-an itu tidak banyak memengaruhi senandung sholawat yang biasa dibawakan menjelang shalat fardhu (biasanya menjelang maghrib). 


Seingat saya, dahulu hampir setiap daerah biasanya memiliki ciri khas sholawat tersendiri. Ada sholawat yang menggunakan lirik bahasa daerah, adapula sholawat yang mengadaptasi irama lagu khas daerah serta kekhasan lainnya yang membuat kita terkadang merasa de javu ketika mendengar shlawat yang khas itu, yang acapkali mengingatkan kita pada satu daerah dan kondisi tertentu. Artinya sholawat yang disenandungkan di masjid-masjid sejak lama tidak pernah memiliki tren tertentu.


Sholawat yang dibawakan di masjid-masjid  dahulu nampak terlepas dari hiruk-pikuk tren sholawat yang waktu itu tengah berkembang. Namun, dalam tiga tahun belakangan ini terasa betul bagaimana media sosial begitu memengaruhi sajian sholawat yang dibawakan di masjid-masjid kita. Baik sholawat yang disenandungkan menjelang sholat fardhu, hari besar Islam, maupun pengajian Ibu-ibu yang biasa digelar mulai Jumat pagi hingga Minggu siang.


Saat ini kita menyaksikan betapa media sosial membuat sholawat di masjid-masjid kita menjadi hampir seragam. Satu sholawat yang menjadi trening dalam platform media sosial seperti Youtube dan Tiktok sudah bisa dipastikan segera akan meramaikan senandung sholawat di masjid-masjid.


Misalnya pada tahun 2018 ketika sholawat Ya Habibal Qolbi menjadi salah satu sholawat yang banyak dilihat dalam platform Youtube dengan 343 juta kali ditonton. Segera setelah itu sholawat yang dibawakan oleh Nisa Sabyan itu menjadi tren di masjid-masjid.


Kemudian pada awal Agustus 2019 ketika Nisa Sabyan kembali meluncurkan cover sholawat Man Ana yang telah disaksikan hingga 53 juta kali dalam kanal Yutube, kembali sholawat tersebut menjadi tren di masjid-masjid.


Dan yang belum lama ini, di akhir tahun 2020 hingga awal 2021, kita menyaksikan betapa media sosial seperti Youtube dan Tiktok kembali memberikan pengaruh bagi  tren sholawat di masjid-masjid kita dengan ramainya sholawat berjudul Allahul Kahfi. Sedikitnya cover sholawat tersebut telah disaksikan lebih dari 120 juta kali, jika kita menggabungkan penonton dalam kanal Youtube Nisa Sabyan, Keluarga Nahla, dan Syakir Daulay.


Realita ini menjadi satu pertanda adanya peningkatan atensi masyarakat terhadap sholawat dengan genre pop, dibanding dengan sholawat dalam versi qasidah ataupun gambus yang sudah terlebih dahulu berkembang.


Namun di samping itu, ada kearifan sholawat yang khas dengan ciri atau identitas satu daerah yang perlahan tergerus. Sholawat khas tersebut mungkin tidak lagi dipandang ‘keren’ oleh kebanyakan remaja, anak-anak ataupun Ibu-ibu kita. Ini menjadi kenyataan yang unik, betapa media sosial saat ini punya andil besar dalam memengaruhi dan menentukan pernak-pernik keberagamaan kita. Tentu ini bukan problematika.


Wallahu'alam Bishawwab