Bangunin Saur Diomelin, Gak Dibangunin Kesiangan



Sumber gambar: Flaticon

Sayup-sayup saya dengan teriakan sekumpulan anak-anak yang menabuh gendang keliling kampung untuk membangunkan saur. Saya dengarkan dengan seksama untaian chant atau nyanyian yang tak lazim di telinga saya itu. “Bangunin saur diomelin, gak dibangunin kesiangan uwoo…uwoo…uwoo”. Kurang lebih demikian chant yang saya dengar sayup dalam senyap malam itu.

Paginya saya membuka instagram, dan saya lihat dalam beberapa postingan ternyata di beberapa tempat di Tangerang anak-anak remaja  membangunkan saur dengan menyanyikan chant serupa. Entah bagaimana awalnya. Namun dimungkinkan chant-chant kekecewaan itu merupakan bentuk respon dari beberapa warga yang merasa terganggu dengan hiruk-pikuk anak-anak yang membangunkan saur. Entah mungkin karena terlalu pagi membangunkannya, atau karena kegaduhan tabuh bedug dan kelontengan mereka. Atau faktor lain.

Membangunkan saur telah sejak lama menjadi semacam ritual rutin bagi anak-anak remaja di beberapa wilayah di Nusantara. Banyak dari mereka yang menyengaja begadang atau tidur di masjid atau mushola sembari menunggu waktu menjelang saur tiba. Rutinitas membangunkan saur dengan keliling kampung ini nampaknya tidak terganti, meskipun kita sudah menginjakkan kaki di era revolusi industri digital di mana cara kita membangunkan diri lebih modern, baik dengan weker maupun handphone.

Riuh tabuh bedung dan suara cempreng khas anak-anak itu kadang-kadang dirindukan juga. Beberapa kaum Ibu merasa apa yang dilakukan anak-anak ini cukup membantu memanggil balik nyawa yang terlena menikmati syahdu malam Ramadhan. Meskipun adapula segelintir orang yang merasa terganggu. Ini menjadi dilema, tentu bagi anak-anak yang berinisiatif membangunkan saur. Karena itulah kemudian mucul chant-chant yang bernada kecewa dari anak-anak remaja itu.

Namun tidak dipungkiri pula kadang-kadang di balik semangat anak-anak itu terselip keisengan. Masa-masa remaja tidak asik jika tidak terselip kenakalan memang. Terkadang sikap ini juga yang terbawa anak-anak saat keliling kampung membangunkan saur. Ada saja sikap usil yang dilakukan anak anak, seperti sengaja mengetuk-ngetuk gerbang, menyalakan petasan, atau sengaja menabuh bedug di depan gerbang atau pintu rumah warga. Hal ini tentu membuat beberapa warga gusar.

Saat saya berkecimpung dalam Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), membangunkan saur menjadi salah satu agenda rutin yang diprogramkan oleh DKM. Tentu ada pembinaan dan sedikit insentif bagi remaja-remaja yang bersedia menjalankan program ini. Karena itulah kegiatan membangunkan saur ini bisa dikatakan sebagai program resmi  DKM. Sehingga  jika ada warga yang memprotes, DKM serta Pengurus Lingkungan bersedia pasang badan.

Di samping itu, perlu juga kreatifitas dalam membangunkan saur. Hal ini penting, misalnya dengan mengubah suara gemuruh tabuh beduh dengan lantunan sholawat diiringi perkusi yang syahdu di dengar telinga. Atau dengan chant-chant yang kreatif lainnya. Dengan begitu, tengah malam yang senyap dapat dihiasi dengan lantunan suara yang tetap enak dinikmati. Meski mata sulit terbuka, tapi hati pendengarnya paling tidak ikut terhanyut dalam suasana riuh.

Membangunkan saur bagi anak-anak remaja tentu menjadi budaya yang tidak terpisahkan dalam malam-malam bulan Ramadhan. Ini menjadi semacam panggilan moral terutama bagi kampung-kampung atau desa di mana masyarakatnya hidup guyub, rukun dan religius. Untuk itulah budaya yang sudah mendaging ini akan lebih baik jika tetap lestari, tentunya harus dikemas dengan kreatif dengan tetap memperhatikan psikologi masyarakat. Pastinya hal ini bisa dilakukan hanya dengan pembinaan anak-anak remaja di masyarakat.

*Dirga