Perempuan dan Dapur yang Kosong



Ibu kita Kartini, iya Ibu aku, kamu dan kita semua, punya peran penting dalam mendobrak peranan kaum perempuan yang telah lama tersudutkan dalam alam domestik. Mencuci, memasak dan melayani laki-laki menjadi tugas utama yang menjadi agenda wajib kaum perempuan masa itu.

Tersudutkannya perempuan dalam alam domestik ini membuat perempuan tidak memiliki posisi yang sama dengan laki-laki, terutama di bidang pendidikan.

Lewat korespondensinya dengan teman-temannya di Belanda serta beberapa pejabat tinggi di Jawa Kartini mengeluhkan mengenai masalah yang ia hadapi itu. Persoalan utamanya adalah karena ia tidak bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi lagi. Bahkan harus merelakan beasiswa ke Belandanya untuk Agus Salim.

Kondisi ini sangat membuatnya kecewa. Belum lagi cintanya yang dipaksanakan pada Bupati Rembang. Tentu semua perempuan pun tidak ingin hal itu.

Jadi sebenarnya, yang dikecewakan Kartini adalah karena dirinya dan kaum perempuan Jawa kala itu tidak punya akses pendidikan yang sama seperti laki-laki. Bukan karena ditempatkannya perempuan Jawa dalam alam domestik.

Tentu penderitaan Kartini ini tidak bisa digeneralisir. Persoalannya kaum perempuan di beberapa wilayah Nusantara sebelum masa Kartini justru punya peran penting dalam beragam aspek kehidupan, tidak hanya domestik. Aceh, Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Banjar, Sulawesi Selatan, Maluku hingga Papua punya perempuan-perempuan tangguh itu.

Yang luput dari penulisan sejarah kita adalah, narasi perjuangan kaum perempuan yang sangat dalam itu banyak melupakan sisi keseharian kaum perempuan itu sendiri. Misalanya pertanyaannya begini, apakah Keumalahayati hanya bekerja sebagai seorang laksamana yang sibuk dengan angkatan perang Inong Balenya? Kita tidak pernah tahu, mungkin saja sebenarnya Keumalahayati adalah seorang perempuan yang handal masak?

Rahmah El Yunusiah, seorang tokoh pendidikan Padang Panjang. Apakah yang dikerjakan Rahma selama hidupnya hanyalah mengabdi pada Madrasah Diniyah? Tentu tidak. Sudah pasti perempuan-perempuan itu punya kehidupan domestik, yang mungkin sumber-sumber sejarah sulit menjangkaunya, karena terlalu mikro dan bersifat keseharian.

Tapi intinya begini, narasi sejarah yang heroik tentang keberhasilan kaum perempuan di masa lampau dalam mendobrak kekolotan tradisi telah memotivasi perempuan-perempuan modern untuk hidup bergerak maju. Mengejar apa yang menjadi ketertinggalannya di masa lampau, yakni akses pendidikan. Ambisi itu melahirkan yang pada 1960an di Indonesia disebut sebagai feminism movement.

Kaum perempuan kini terus berusaha mengejar ketertinggalannya dalam beragam aspek kehidupan modern. Dunia kerja, pendidikan, dan beragam bidang keahlian yang hingga kini masih didominasi laki-laki. Kecenderungan inilah yang banyak memotivasi perempuan untuk berimigrasi dari alam domestik.

Dengan konsekuensi yang demikian, alam domestik kini ditinggalkan oleh banyak perempuan. Artinya dia tidak lagi formal dan mendesak. Tidak semendesak ketika kita ingin kuliah di universitas ternama,  menjadi aparatur sipil negara atau pegawai di perusahaan ternama.

Beberapa perempuan beranggapan bahwa alam domestik adalah penjara. Sebagian lagi, yang sangat kecil jumlahnya berusaha bersikap moderat (menengah).

Alhasil hingga kini banyak perempuan yang diproduksi oleh dunia modern memiliki kecakapan di bidang keilmuan yang mumpuni, namun minim bekal kecakapan domestik. Sejak kecil motivasi yang tertanam pada perempuan zaman modern saat ini adalah menjadi mapan, utamanya dalam bidang ekonomi.

Perempuan remaja saat ini enggan mengambil ilmu dari kecakapan orangtuanya, misalnya memasak. Banyak perempuan saat ini yang takut dengan cipratan minyak panas, padahal hanya menggoreng krupuk.

Menjadi perempuan modern sutuhnya tidaklah salah. Perempuan yang mapan secara ekonomi penting agar kehidupannya tidak selalu bergantung pada laki-laki. Ketinggian intelektualitas juga perlu agar keputusan perempuan tidak melulu didominasi perasaan. Namun sayangnya, upaya mewujudkan itu semua nampaknya harus dilakukan sebagian perempuan dengan meninggalkan alam domestiknya.

Alam domestik yang kosong itu kini akhirnya banyak diisi oleh asisten rumah tangga. Dan yang mengejutkan lagi, banyak laki-laki dengan jiwa kedomestikannya turun mengebulkan dapur-dapur yang ditinggalkan itu. Jadi jangan heran jika kini banyak laki-laki yang pintar membuat sambal dan kentang balado yang enak.

Kecakapan domestik tidak melulu kaitannya dengan melayani keperluan perut laki-laki. Kadang-kadang yang membuat perempuan enggan berjibaku dalam alam domestik adalah stigma itu. Padahal kecakapan domestik sangat diperlukan ketika perempuan memiliki anak dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya di rumah, terutama saat liburan kerja.

Banyak perempuan-perempuan yang baru nikah canggung dalam memasak. Ia tidak sampai hati menawarkan pada pasangannya apa yang bisa ia masakan hari ini. Tapi Youtube dan Cookpad cukuplah membantu mereka dengan segala kegagapannya itu.

Kita kadang-kadang suka memuji bahwa masakan nenek atau ibu kita lezat, dan selalu membuat kita rindu rumah. ‘Nah’, bisa jadi di kemudian hari pujian itu tidak lagi terucap dari mulut anak-anak kita. Mungkin.

*Dirga

Sumber Gambar: Flaticon