Sumber Gambar: Kompilasi Flaticon
Semua media sosial kini diramaikan
dengan informasi yang kian hari semakin membuat kita paranoid dengan virus
covid-19. Stasiun televisi pun demikian, saban waktu menampilkan breaking news tentang covid-19 dengan
update korban positif dan meninggal yang terus meningkat dan tidak sebanding
dengan yang sembuh. Realita inilah yang justru membuat dada saya sesak,
tenggorokan serak dan badan panas dingin, seraya berkata lirih, ‘kayanya saya
corona, nih’.
Tentu sudah menjadi kewajiban
kita untuk sadar bahwa situasi saat ini memerlukan keseriusan dan kekompakan
banyak kalangan, termasuk kaum rebahan. Kita tidak bisa andalkan pemerintah
atau siapapun dalam kondisi saat ini. Dengan tetap di rumah atau menjaga jarak
saat terpaksa berpergian tentu tindakan kecil yang berdampak besar untuk
menyelamatkan bumi pertiwi kita tercinta ini.
Wabah ini telah memaksa berbagai
aspek dalam kehidupan bernegara kita untuk terlibat. Tidak hanya kesehatan,
tapi sosial, politik, ekonomi dan bahkan agama. Yang terakhir menjadi satu
diskusi yang menarik mengingat negara kita mayoritas beragama Islam yang punya
konservatisme cukup tinggi.
Dalam kondisi ini Majelis Ulama
Indonesia (MUI) harus turun tangan untuk memberikan pernyataan formal atau fatwa
sebagai upaya menguatkan kebijakan pemerintah serta turut andil mencegah
penularan yang lebih luas dengan memberikan alternatif ibadah dan aktivitas
keagamaan kita. Presiden Joko Widodo pun sudah mengintruksikan agar saat ini
kita belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Jadi lengkap, agama dan politik
satu suara melawan corona.
Namun realitanya tidak sepenuhnya
bisa demikian. Masih banyak para pekerja yang harus berjibaku dengan besarnya
resiko penularan covid-19 ini, seperti pekerja pabrik, pedagang, ojek daring
dan para tenaga medis yang bekerja di garis depan. Serta banyak profesi lainnya
yang tidak bisa dikerjakan hanya melalui tatap rupa, sumbang saran dan mendengar
via aplikasi Zoom.
Kondisi ini rupanya juga terjadi
dalam kehidupan beragama kita, umat Islam khususnya. Di Jakarta yang menjadi
episentrum covid-19 di Indonesia, masih banyak mereka yang harus tetap
beribadah berjamaah ke masjid, bahkan hanya untuk mengerjakan ibadah sunnah.
Ini kerena mereka takut tingkat keimanannya
menurun dengan meninggalkan ibadah berjamaah yang biasa mereka lakukan. Dan
yang miris lagi, masih ada umat Islam yang bermaulid ria menikmati senandung sholawat dan rebana sambil bersantap
nasi kebuli atau nasi uduk bersama-sama.
Bahwa keimanan itu penting dan kebersamaan
(jamaah) dalam ibadah itu utama. Sebagai penganut agama
yang cukup baik saya pun setuju. Tapi
persoalannya apa yang sedang kita hadapi dan harus kita relakan semuanya kasat
mata. Iman, pahala, ketaatan dan corona itu sama kasat matanya. Artinya hal-hal
itu tidak bisa kita lihat-ukur dan punya timbang-timbang urgensi yang kurang
lebih sama.
Tapi dari kesemua itu, tentu kita sebagai manusia yang sadar
harus memiilki pertimbangan kemanusiaan yang bijak. Maksudnya, kita boleh saja
memiliki ambisi beragama (fastabiqul
khairat) yang besar, tapi aspek kemanusiaan pun tidak boleh dikesampingkan.
Artinya ibadah mahdhoh (illahiyah)
dan ghair mahdoh (sosial) kita agar
berjalan selaras.
Sebenarnya kita yang berada di
wilayah beresiko masih bisa beribadah sesuai anjuran MUI, seperti bertaubat,
istigfar, dzikir, membaca qunut nazila, shalat fardhu, sholawat, dan sedekah
(Fatwa Corona MUI poin 8). Tentu jika hal ini dilakukan saya kira keimanan kita
insya Allah akan sama istiqomahnya. Dengan menjalankan ibadah yang dianjurkan
itu kita paling tidak dapat menghindari kemudharatan yang lebih luas lagi.
Sesuatu yang lebih baik daripada mencegah kemungkaran.
Kita mungkin masih segar bugar
dan tidak merasakan ada gejala yang mengindikasikan diri kita terinfeksi. Tapi
ingatlah bahwa corona itu kasat mata, dia bersemayam dalam diri kita layaknya
keimanan, tidak bisa diukur dan tidak terduga. Jika kita masih memaksakan untuk
melakukan aktivitas ibadah rutin di luar rumah, bukan tidak mungkin kita bisa
menjadi ‘pembunuh berjalan’ saudara-saudara kita seiman.
Bahwa Islam itu mudah, dan tidak
perlu lagi dimudah-mudahkan. Karena itulah agama ini dapat hidup hingga
sekarang dengan mempertahankan kemurnian nilai-nilai dasarnya di setiap hati
pemeluknya. Janganlah ambisi keagamaan yang bersanding dengan kebengalan sifat kita
membuat semuanya seakan-akan kaku.
Jika kita kompak mengacu pada
arahan pemerintah dan fatwa MUI saya rasa kehidupan beragama kita akan sangat
dinamis dan lentur. Tidak perlu lagi ada resistensi dan perdebatan tentang
hal-hal normative-keagamaan di masyarakat kita. Dengan begitu kita bisa fokus
melawan pandemi ini.
Jika biasanya kita gemar
mengatakan bahwa al-ulama warosatul
anbiya atau ulama adalah warisan para nabi, sementara apa yang kini dipertimbangkan
dan diputuskan oleh ulama saja kita bersikap apatis. ‘Jadi siapa yang mau kita
jadikan panutan sekarang?’ Kata teman saya di status Whatsappnya.
Jelas semua mau ibadah bersama,
mau tingkat keimanannya istiqomah, mau selamat dari corona juga. Tapi tentu,
selain berikhtiar kita juga harus bersabar. Untuk itulah pentingnya saat ini kita
tetap di rumah aja.
***