Anak-anak militan ISIS di Kamp Suriah timur laut.
Sumber gambar: nu.or.id
Satu malam saat menjelang tidur saya memandangi wajah anak saya yang sedang terlelap tidur. Raut wajah polosnya begitu membuat saya teduh dan tidak henti-henti memandanginya sambil tersenyum tipis. Saya bersyukur bisa berada didekatnya dan terus menemani dirinya tumbuh dan berkembang. Berulang kali saya kecup dahinya dan saya rangkul tubuh mungilnya.
Malam itu, fikiran saya seketika
terhanyut dengan berita pemulangan WNI eks ISIS yang kini tengah menjadi
perbincangan hangat. Pemerintah telah memastikan untuk tidak memulangkan para
eks ISIS dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketentraman 260 juta rakyat
Indonesia.
Di tengah perdebatan-perdebatan
antara memulangkan dan tidak memulangkan ada wajah bocah-bocah tidak berdosa
yang mereka tidak tahu mengapa bisa terjebak dalam padang gersang. Saat-saat
mereka bermain dan belajar harus tergantikan dengan kehidupan nestapa di
barak-barak pengungsian. Seharusnya
mereka berada dalam pelukan hangat keluarga besar yang selalu menjadi
pengayom mereka. Namun takdir membawa mereka pada sisi lain dunia yang penuh
dengan derita.
Mereka harus menanggung dosa
orang tua mereka yang dengan sangat ceroboh membawa mereka pada angan-angan ISIS.
Mereka juga harus menanggung kecaman masyarakat dan berada pada ombang-ambing
sikap pemerintah yang ragu-ragu dalam mengambil kebijakan. Semua dosa dan
kecaman itu mereka harus nikmati sementara mereka tidak tahu apa yang terjadi
pada mereka.
Banyak dari mereka yang sudah
menjadi yatim, bahkan yatim-piatu karena orang tua mereka mati dalam perang
atau sakit saat di pengungsian. Barak-barak pengungsian tentu bukanlah tempat
yang aman bagi tumbuh kembang fisik dan psikologis mereka.
Di tengah ketidakpastian keamanan
dan politik, jiwa mereka terus terguncang. Ancaman keamanan terus membayangi.
Dan sementara itu, manusia di belahan dunia lain masih berfikir untuk
memulangkannya atau tidak. Pemerintah seakan menutup mata akan keberadaan
anak-anak ini.
Sudah tidak ada waktu lagi untu
berfikir panjang saya kira. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris,
Jerman, Swedia dan Prancis sudah dengan cekatan memulangkan warga mereka mantan
simpatisan ISIS. Namun di Indonesia masih sibuk lempar tangan.
Anak-anak adalah golongan yang
paling rentan, semakin lama mereka dalam kamp-kamp pengungsian justru semakin
memperlebar kemungkinan terjadinya hal-hal buruk lain. Sel-sel baru ISIS terus tumbuh
dan membentuk kekuatan baru untuk bangkit. Dan anak-anak akan menjadi sasaran
paling rentan untuk direkrut kembali.
Selain itu, jika terus dibiarkan
anak-anak akan akan berhadapan dengan berbagai bentuk eksploitasi anak seperti perdagangan
manusia, belum lagi ancaman penyakit yang hingga kini masih menjadi momok yang menakutkan bagi anak-anak. Ancaman-ancaman ini harus mulai disadari risikonya. Kebaradaan
anak-anak dalam kamp-kamp pengungsian di Irak dan Suriah hanya akan menjadi bom
waktu.
Pemerintah Indonesia sebenarnya
bisa mengikuti apa yang disarankan oleh Sydney Jones dengan memulangkan para
kelompok paling rentan seperti para anak yatim yang berusia di bawah 15 tahun.
Setelah itu pendataan berikutnya dapat dilkukan bertahap. Jika menunggu hingga
datanya lengkap, ia yakin sampai kapanpun tidak akan ada WNI yang dipulangkan.
Pada intinya pemerintah harus memulai
melakukan profiling para eks ISIS tersebut dan membuat klasifikasi berdasarkan
kasus-kasus serta tingkatan radikalnya, setelah itu barulah diputuskan
kebijakannya. Pemerintah tidak bisa membiarkan mereka, anak-anak terutama hidup
tanpa Negara. Hal itu justru akan memunculkan masalah global baru di kemudian
hari.
Saya kira hal ini memang tidak
mudah. Memulangkan anak-anak sudah tentu memulangkan orang tua mereka pula.
Mereka tidak bisa serta merta dipisahkan dari orang tuanya. Hal ini justru
malah akan melanggar HAM.
Untuk itulah profiling penting
dilakukan untuk melihat secara jeli kasus demi kasus para eks ISIS ini. Bagi
yang sungguh-sungguh mengaku bersalah dan ingin bertaubat saya kira kesempatan
harus diberikan. Karena tidak seluruhnya dari mereka yang dengan rela hati
berangkat ke sana, bahkan banyak yang dijebak. Hal ini harus dicermati kasus
demi kasus.
Banyak pula di antara mereka yang
sudah sadar bahwa ISIS hanyalah utopia yang menyesatkan. Untuk itulah tidak ada
salahnya kesempatan diberikan pada mereka untuk kembali menjalani kehidupan
normal dan menjalani deradikalisasi secara alami. Namun tentu pemerintah perlu
memberikan pengawasan yang konsisten.
Ada satu pernyataan dari Ulil
Abshar Abadallah yang sungguh membuat saya terenyuh. Ia mengatakan, “Negara kita
sering disebut Ibu Pertiwi, salah satu watak seorang Ibu adalah menerima dengan
senang hati anak-anaknya yang ingin pulang, senakal apapun mereka”.
Wallahu’alam