Radikal Sejak dalam Fikiran




Kata radikalisme belakangan ini semakin sering mencuat. Hal ini tidak terlepas dari berbagai aksi teror yang terjadi belakangan ini. Bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya tahun 2018 dan yang belakangan adalah peristiwa penusukan mantan Menko Polhukam Wirnato dan kasus bom bunuh diri di Medan.

Agama Islam kerap kali menjadi tumbal bagi aksi-aksi teror yang dilakukan oleh kaum radikal. Tentu ini sangat menyinggung bagi para penganut agama Islam lain. Tapi persoalannya, kita juga tidak dapat pungkiri jika aksi-aksi teror dan kekerasan yang selama ini terjadi dilakukan oleh mereka yang memang berlatar belakang agama Islam. Paham radikal dianggap sebagai biangkeladinya.

Radikal dalam kamus Cambidge diartikan sebagai ekpresi dari keyakinan yang mengharuskan perubahan sosial atau politik yang hebat dan ekstrim. Sedangkan menurut kamus Oxford radikal diartikan sebagai perubahan atau tindakan yang berkaitan dengan memengaruhi sifat dasar sesuatu yang jangkauannya luas dan menyeluruh.

Dalam kamus kita, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal sendiri dipahami sebagai dasar, akar, prinsip atau yang menghendaki perubahan dengan amat keras. Dari tiga perbandingan terminologi itu saya rasa semua memberikan definisi yang hampir sama. Gerakan yang keras dan mendasar menjadi kata kunci dari kata radikal itu.

Jadi kita perlu pahami bahwa paham radikal merujuk pada mereka yang menghendaki perubahan mendasar secara keras dan cepat, dengan cara apapun. Tentu dalam banyak hal, tidak hanya agama, tapi juga politik, sosial, ekonomi dan aspek lainnya. Tapi yang paling ‘seksi’ dalam konteks Indonesia adalah radikalisme agama. Rasanya belum radikal jika belum bersanding dengan isu agama, Islam terutama.

Persoalan radikalisme sesungguhnya adalah persoalan kalam atau pemikiran dalam agama Islam. Dan sudah menjadi isu yang sangat klasik. Hampir di setiap zaman bahkan. Para penganut paham radikali adalah mereka yang rindu, candu, atau terlena dengan ajaran-ajaran awal Islam yang dianggap ideal untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga jalan satu-satunya adalah kembali ke dasar dengan memurnikan semurni-murninya ajaran Islam.

Oleh karena itulah, kaum radikal misalnya sangat diidentikan pada mereka kaum salafy, yang mengidealkan kehidupan pada masa-masa Nabi dan sahabat. Mereka yang dengan keras menolak praktik-praktik baru yang dianggap menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Hadis. Mereka yang suka membid-ah bid’ahkan. Mereka yang suka mengkafir-kafirkan (takfiri). Dan belakangan mereka diidentikan dengan para pendamba sistem khilafah. Bahkan lebih belakangan lagi mereka yang diidentikan menggunakan baju kurung (burqo), jenggot, dan celana cingkrang.

Meskipun saya kira tidak selalu demikian. Radikalisme sesungguhnya sangat ideologis, lebih dari sekedar simbol yang tampak. Jadi siapa yang Islam radikal? Adalah mereka yang ingin mengembalikan ajaran/tatanan Islam kembali ke dasar/akar, seperti pada masa Nabi Muhammad. Masa yang dianggap ideal dan menjadi solusi bagi berbagai persoalan saat ini. Jadi penting ditegaskan bahwa radikalisme sesungguhnya adalah persoalan pemikiran. Namun tidak dapat diremehkan, justru radikal sejak dalam fikiran inilah yang sesungguhnya mengkhawatirkan.

Dalam banyak kasus, memang para penganut paham radikal tidak selalu mengimplementasikan pemikiran mereka dalam bentuk fisik. Ada yang menyimpan idelisme radikal mereka dalam hati, ada yang diungkapkan melalui verbal. Dan adapula yang diimplementasikan dalam bentuk fisik. Dalam banyak kasus adalah dalam bentuk kekerasan. Yang kedua dan terakhir inilah yang sangat mengkhawatirkan.

Membuat kaum radikal melunak menjadi moderat (wasatiyah) bukanlah jalan pilihan. Dalam banyak kasus, orang yang berpaham radikal sangat sulit untuk diajak berdialog. Sekalipun berdialog dan argumen mereka terbantahkan, mereka akan memilih pergi namun tetap teguh pada keyakinannya. Hal ini tidaklah aneh, karena ideologi adalah bentuk akhir dari pembenaran keyakinan, sehingga menjadi ruang privat bagi setiap individu untuk memeliharanya dan sangat sulit direduksi dengan paham lain.

Misalnya dalam kasus pelarangan Hizbutahrir di Indonesia. Pelarangan ini sudah tentu  tidak akan serta mereta menghapuskan ideologi yang telah dipelihara dalam diri para pengikutnya. Mereka tentu masih menyimpannya dengan rapih, namun bedanya hanya tertutup rapat. Dan menunggu kesempatan untuk membukanya kembali.

Dalam persoalan radikalisme Islam di Indonesia saat ini. Ideologi dan ruang gerak para radikalis sangat sulit direduksi. Pun dengan membatasi ruang gerak mereka misalnya dengan mencegah mereka diterima di Universitas Negeri atau masuk sebagai Aparatur Sipil Negara. Saya kira ini belum tentu efektif dan bahkan cenderung menimbulkan ledakan dendam di kemudian hari.

Dalam pemahaman yang lebih luas, radikalisme sesungguhnya memiliki banyak akar. Ada yang berangkat dari pemikiran, namun banyak pula yang disebabkan karena faktor politik atau tepatnya political pressure dan kekecewaan politik. Kasus ini misalnya bisa kita lihat dari sejarah munculnya gerakan DI/TII yang kecewa dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Contoh lain adalah munculnya kombatan-kombatan alumni perang Afganistan asal Indonesia yang merasa simpati dengan aneksasi Amerika terhadap Afganistan. Serta beberapa kasus political pressure di beberapa negara minoritas Islam seperti di Philipina Selatan dan Thailand Selatan.

Saya kira dengan menebarkan paham Islam wasatiyah dengan memperbanyak dai moderat tidaklah cukup. Karena para penganut paham radikal sudah tentu akan bersifat defensif dengan apa yang disampaikan oleh para dai moderat. Yang sangat mungkin dilakukan saya kira untuk mencegah semakin merebaknya pemikiran radikalisme adalah dengan memperkaya pembelajaran agama di bangku sekolah dan universitas. Pemahaman agama yang komprehensif dan komparatif amat penting bagi para remaja yang sedang haus ilmu dan gagap belajar agama. Mereka yang memahami ilmu dan kebenaran agama secara tunggal inilah bibit-bibit radikalisme susungguhnya.

Selain itu yang penting juga dilakukan adalah mencegah evolusi pemikiran radikal menjadi tindakan radikal adalah dengan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Negara harus mampu menciptakan iklim politik yang baik dan kondusif. Para tokoh bangsa harus memberikan contoh yang baik. Sehingga hal ini dapat menjadi edukasi para panganut paham radikal yang banyak di antara mereka juga menaruh kekecewaan terhadap negara dan tokoh bangsa. Jalan yang juga mungkin adalah kita yang menganggap diri kita sebagai bukan kaum radikalis, harus dapat memberikan teladan yang humanis dalam segala tindakan kita, baik di masyarakat maupun dalam benegara.

Wallahu’alam Bishawwab
Dirga Fawakih

Sumber gambar: Flaticon