Tentu saya tidak bicara tentang
mereka yang dipaksa dan direbut, tapi mereka yang mengikhlaskan keperawanannya
dengan tanpa ikatan pernikahan. Tentu bukan hanya perempuan, tapi juga
laki-laki.
Seberapa pentingkah keperawanan?
Tentu setiap individu dan bahkan budaya memiliki pandangannya sendiri. Ada yang
menganggapnya tabu adapula yang membebaskannya. Di Indonesia, di mana nilai dan
ajaran agama masih cukup kuat dipelihara, sebagian besar masih menganggap bahwa
keperawanan adalah ‘pusaka’. ‘Dia’, tidak akan diberikan pada siapapun, kecuali
pasangan mereka yang sah lewat ikatan pernikahan.
Meskipun di belahan dunia lain,
semisal di Amerika, Eropa dan negara Asia Timur seperti Jepang memiliki
idelaisme yang berbeda tentang keperawanan. Ketiga wilayah tersebut cenderung
memiliki kebebasan soal keperawanan di banding Indonesia.
Jika menjaga keperawanan dalam
setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda, tentu semuanya balik kembali ke
individu masing-masing. Bagimana kita, terutama sebagai manusia Indonesia,
menafsirkan arti keperawanan itu.
Semakin bebasnya gaya hidup dan
dijual bebasnya berbagai jenis alat kontrasepsi tentu menjadi faktor pendorong
yang memengaruhi pertimbangan individu melepasnya keperawanan. Ada pergeseran anggapan
saat ini dalam masyarakat kita, bahwa hubungan seksual di luar nikah tidaklah tabu,
selama dapat dirahasikan dan tidak hamil.
Hubungan seksual, memang menjadi
privasi siapapun, selama tidak ada paksanaan dan tidak untuk dipertunjukan pada
publik. Dengan kata lain hubungan seksual di luar nikah adalah hak setiap
individu. Kecuali bagi mereka yang memegang teguh prinsip agama dengan ketat. Norma-norma
agama mungkin akan menjadi batasan gerak dan memunculkan perasaan takut serta
bersalah.
Baiklah, jika hubungan seksual
sebelum menikah menjadi hak setiap individu, berarti segala risiko baik
kesehatan maupun sanksi sosial pun menjadi tanggung jawab individu. Dan tidak
perlu saya uraikan dampak kesehatan, psikologis dan sosialnya, karena jelas ini
sudah menjadi keumuman yang dirahasiakan.
Tapi ada satu aspek yang penting
yang kita lupakan. Pastinya bagi mereka yang mendambakan hubungan rumah tangga
yang baik. Jika kita telah merelakan keperawanan, dan aspek fisik tidak lagi
menjadi pertimbangan. Ketahuilah bahwa kita telah menodai ingatan kita.
Jika kita telah merelakan
keperawanan dan menjalin hubungan rumah tangga dengan pasangan sah yang
diidamkan, segala dampak fisik yang ada dari hilangya keperawanan kita tentu
bisa kita kesampingkan dan kita sembunyikan dalam-dalam. Tapi berbeda dengan
ingatan, ia itu akan terus mengakar kuat dalam otak kita dan hidup.
Ingatan itu mungkin bisa bangkit
kembali sewaktu-waktu. Dan celakanya jika itu terjadi ketika kita telah
memiliki pasangan yang sah. Mungkin sebagian bisa menerima jika pasangannya
sudah tidak perawan. Tapi ketahuilah bahwa di dalam sanubari setiap manusia
pasti mendambakan hubungan yang bersih; yang belum terkontaminasi baik lahir
maupun batin.
Mungkin kita bisa menyimpannya
dalam-dalam, tapi tidak bisa menghapusnya secara permanen. Apalagi jika keperawanan
kita dilepas dengan orang yang kemudian tidak menjadi pasangan kita. Perasaan
bersalah bisa saja muncul jika kita mendapatkan pasangan yang sepenuhnya
menjaga diri. Karena kita tidak bisa memberikan seutuhnya diri kita baik fisik
maupun batin.
Oleh karena itu, bagi saya perawan
atau tidaknya seseorang bukan saja perkara apa yang tampak dari fisik kita,
tapi soal ingatan, bagian terdalam yang hanya Tuhan dan diri kita yang
mengetahui. Tapi tentu penting atau tidaknya keperawanan sesungguhnya adalah
tafsir setiap individu. Kita bebas menafsirkan dan bebas memilih jalan. Tulisan
ini tentu bagi ingatan yang mendambakan keaslian, bukan kebebasan.
Dirga