Layang-layang Hilang Melayang

Ilustrasi: Dirga

Sore di musim kemarau adalah masa-masa yang paling menyenangkan bagi saya, dan tentu bersama kawan-kawan. Tanah lapang dan persawahan jadi medan bermain yang membahagiakan. Karena di situlah kami berinteraksi, bercengkrama, melepas lelah dan penat setelah pulang sekolah.

Sore itu langit biru yang perlahan menguning dihiasi layang-layang berbagai bentuk yang terbang melambai ke kanan dan ke kiri. Sambil menatap awan yang beriring, saya memandangi layang-layang ditemani hembusan angin sore dan aroma rumput. Sungguh menjadi suasana yang tidak ternilai.

Tapi sekarang langit kita sepi. Musim kemarau bukan menjadi medan bagi anak-anak berbahagia memainkan layang-layang. Layang-layang perlahan menghilang. Hanya satu dua saja yang masih menghiasi awan sore kita, atau mungkin tidak ada lagi. Angin sore kini berhembus sepi tanpa dirmaikan gemulai lambaian layang-layang.

Anak-anak sudah enggan memainkannya, atau mungkin sudah disibukan dengan alam maya dan game portable. Kondisi ini sungguh ironi. Anak-anak kini lebih memilih menyendiri di sudut ruang untuk menikmati bermain game selama berjam-jam ketimbang turun ke tanah lapang untuk menerbangkan layang-layang atau bermaian permainan tradisional lainnya.

Perubahan ini sangat disayangkan. Padahal bermain layang-layang sungguh menyimpan berbagai makna. Bukan hanya menerbangkan rangkaian bambu yang terbungkus kertas minyak dengan seutas benang, tapi banyak nilai penting yang tersimpan dari layang-layang yang hilang itu.

Pengetahuan tradisional yang tersemat di dalamnya sungguh penting dalam penumbuhan kretaifitas, ketangkasan dan kecerdasan kita. Untuk merangkai layang-layang tentu kita harus mengetahui berbagai hal yang melingkupinya.

Mulai dari pemilihan bambu, cara mengukirnya, mengatur keseimbangan, mengatur beban dan kreatifitas dalam menghiasnya. Tanpa sadar ini adalah proses berlatih yang melibatkan kepekaan rasa, kepiawaian tangan dan jiwa seni.

Tidak hanya proses membuatnya yang penuh makna. Menerbangkannya pun demikian. Kita harus peka dalam merasakan arah angin, peka dengan kondisi sekitar yang dapat menyebabkan layang-layang kita tersangkut, serta kesabaran dalam mengulurnya agar arah terbangnya selaras dengan hembusan angin.

Pengalaman tersebut hanya bisa kita dapat dari proses membuat dan menerbangkan layang-layang. Tapi sayang, pengalaman itu mungkin sudah sulit didapat seiring dengan hilangnya layang-layang. 

Entah kapan layang-layang kembali akan menghias dan melambai di sore kita. Kasihan langit sore kita sepi, hanya angin dan aroma rumput saja yang menyeruak.

***

Dirga