Dilema Si Gadis Senja



Menikah tentu bukan hanya simbolik untuk melegalkan hubungan seks semata. Karena semanis apapun hubungan seksual tidak akan dapat mengalahkan peliknya persoalan berumah tangga. Jika kita masih berfikir bahwa menikah sama dengan seks, sebaiknya kita berpuasa saja dulu.

Menikah adalah membangun dan membina keluarga. Idelanya membangun yang harus dilakukan adalah perencanaan yang matang. Begitupun dengan menikah. Hal inilah yang kemudian membuat kebanyakan wanita sangat berfikir ketat untuk menentukan pilihan hidupnya.

Dalam banyak kasus wanita adalah objek yang akan ‘dibawa’oleh seorang laki-laki. Oleh karena itu wanita tentu butuh jaminan kecukupan lahir-batin yang diharapkan berujung ketenangan dalam berumah tangga.

Tentu banyak hal yang menjadi faktor wanita menunda menikah, seperti masih ingin bermain, melanjutkan studi atau karir, ketakutan menjadi seorang istri dan ibu, trauma dengan lawan jenis, salektif memilih pasangan dan masih banyak yang lain yang bisa anda uraikan dalam hati sendiri.

Alasan-alasan tersebut tentu sangat pribadi dan tidak membuka ruang untuk dikomentari. Karena menikah adalah pilihan setiap individu. Meskipun, di lain sisi ada kebiasaan iseng kita, manusia Indonesia yang suka bertanya misalnya, ‘kenapa si cewe itu belum juga kawin ya, padahal usianya sudah...’(isi sendiri).

Pertanyaan yang dianggap menyebalkan itu acapkali dilontarkan saat momen-momen tertentu seperti kumpul keluarga dan teman. Memang tidak ada kesepakatan tentang idelanya kapan kita harus menikah. Meskipun secara medis ada beberapa ketentuan tentang kapan idealnya seorang wanita memiliki anak. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia rata-rata wanita di Indonesia menikah pada usia 22-25 tahun.

Angka tersebut tentu bukan patokan yang rigit. Karena menikah adalah kesiapan lahir dan batin. Menikah bukan hanya perkara fisik sesuatu yang terlihat mata seperti kemapanan harta dan raga, tapi juga yang kasat mata seperti kedewasaan akal.

Penting juga untuk diketahui bahwa hampir sebagian besar, mungkin, mereka yang menentukan untuk menikah pun dalam keadaan ragu terhadap pasangan mereka. Tentu apa yang terihat secara fisik bukanlah jaminan kebahagiaan. Justru yang kemudian diharapkan adalah ketenangan batin apapun yang melandasinya. 

Tentu sangat memusingkan jika kita telanjangi a,b,c, d dan seterusnya tentang pernikahan. Tapi sebenarnya ada hal sederhana yang terlewatkan dari mereka yang memilih untuk menunda menikah sementara aspek lahir dan batin seperti kemapanan dan kedewasaan akal sudah dimiliki. Adalah keyakinan.

Bagaimana bisa kita menyembah Tuhan, mencintainya dan meyakini sifat-sifatnya sementara zatnya saja kita tidak pernah lihat. Tentu untuk menengahkannya adalah dengan meyakininya. Dengan keyakinan kita dapat mereduksi berbagai pertanyaan akal yang meragukan kita untuk bertindak dan mencari jawaban yang menguatkan keberadaan Tuhan dalam akal kita lewat apa yang ada di sekitar.

Menikah bukanlah matematika. Tidak ada rumus pasti yang dapat digunakan dalam menikah. Menikah dengan orang kaya tidak ada jaminan bahagia, menikah dengan orang miskin tidak mesti jadi miskin dan seterusnya. Karena menikah adalah perjalanan dan pengalaman dalam membuktikan keyakinan.

Banyak ‘gadis senja’ tentu berfikir hal-hal yang logis tentang menikah. Mereka melupakan keyakinan, dan lebih memilih menikmati semunya senja karena takut melewati gelapnya malam. Padahal pagi hanya bisa ditemui di ujung malam. Tapi memilih untuk menikmati senja selamanya adalah pilihan yang tetap harus dihargai.

***
Dirga Fawakih