Bersahabat dengan Si Kafir

Sumber ilustrasi: Flaticon


Malam itu aku singgah di masjid di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan untuk shalat maghrib. Sudah lewat waktunya memang, dan masjid saat itu dipadati oleh para penuntut ilmu yang sedang mendengarkan kajian. 

Alangkah terenyuhnya hati saya ketika mendengar kajian yang diikuti oleh lintas usia itu mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa dipenuhi dengan perkataan “kafir” (takfiri) oleh sang dai. Sependengaran saya saat itu materi yang disampaikan tentang tauhid (mengesakan Allah). 

Dalam penyampainnya, di tegaskan secara berulang-ulang oleh sang dai bahwa, “kita harus memusuhi orang-orang kafir. Haram bagi kita sebagai seorang muslim untuk berkerjasama dalam hal apapun dengan orang-orang kafir. Wajib bagi kita memerangi mereka” Kurang lebih demikian cuplikan pernyataan yang saya dengar. 

Sungguh tersayat hati saya; di tengah ruang publik, dengan jamaah lintas usia, pernyataan menggelora mengkafirkan orang lain bahkan untuk memusuhinya begitu lantang diucapkan. Umat Islam seharusnya punya cara-cara dakwah yang elegan dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang rahmatan lil a’lamin, yang jauh dari ungkapan kecaman. Sebaik apapun ajaran atau paham, percuma bila disampaikan dengan cara yang tidak baik. Sehingga, sampai kapanpun “Si Kafir” hanya akan jadi objek kecaman, bukan objek bagi kita, umat Islam untuk menebarkan kebaikan. 

Tentu saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kata kafir baik secara harfiah maupun istilah secara panjang lebar. Kata kafir sesungguhnya adalah hal yang biasa didengar oleh orang-orang Islam, terutama bagi mereka yang mempelajari tauhid. Dan bagi kebanyakan non-Islam pun, sepengetahuan saya sebutan ini tidak begitu menjadi masalah. 

Mengutip Buya Yahya, istilah kafir sendiri tentu bukanlah sebutan penghinaan untuk non-muslim. Meskipun banyak yang menghindarinya karena menganggapnya tabu. Pernyataan ini biasa untuk menyebut suadara non muslim atau orang-orang Islam yang tidak menunaikan kewajiban agama (kafir batin). 

Yang menjadikan permasalahan kemudian adalah ketika kata kafir itu disandangkan pada kata kerja seperti, diperangi, dimusuhi dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an sendiri memang jelas tidak dapat dipungkiri banyak penyebutan kata-kata kafir. Pernyataan ini biasa disandangkan pada suatu golongan yang dianggap menutupi atau mengingkari kebenaran Nabi Muhammad. 

Tidak dipungkiri pula banyak juga ayat yang menyerukan untuk memeranginya. Tapi ketahuilah bahwa, al-Qur’an itu kontekstual (mengikuti perkembangan dan kebutuhan) di setiap zaman. Karena itulah ayat-ayat al-Qur’an itu perlu kita pahami dan maknai lebih dari teksnya saja. 

Gunanya kita membaca asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan tafsir adalah untuk memperluas pemahaman kita tentang suatu ayat, sehingga fikiran kita tidak sempit. Dalam sejarah Islam awal, sudah jelas, perpecahan dalam tubuh umat Islam sendiri disebabkan karena saling kafir-mengkafirkan. 

Peristiwa arbritase dalam Perang Siffin cukuplah kiranya menjadi pelajaran kita, bahwa kafir-mengkafirkan bukanlah suatu penyelesain persoalan. Ali bin Abi Thalib wafat terbunuh karena hunusan pedang Ibnu Muljam, seorang Khawarij (golongan yang keluar), yakni sekte dalam Islam yang menganggap pengikut Ali dan Muawiyah sebagai golongan kafir karena telah mengikuti perundingan damai (arbritase). 

Dalam sejarah Indonesia misalnya, DI/TII baik pada masa ketika, maupun pasca matinya Kartosoewirjo, yang kemudian digawangi oleh mantan pengikut seperti Aceng Fikri, juga telah banyak merenggut ratusan nyawa rakyat karena paham takfiri ini. Ledakan bom di berbagai pelosok negeri yang menyebabkan ratusan ribu korban juga dalam banyak kasus didasari pada paham kafir-mengkafirkan ini. 

Cukup kiranya sejarah jadi guru yang arif bagi kita. Keterpurukan masa silam karena egoisme satu golongan masih perlukan kita ulangi lagi di masa akan datang? Semua agama jelas punya pandangan masing-masing dalam memandang golongan non-agama mereka. Biarlah doktrin ajaran agama kita terima semurni-murnimurninya, apapun agama yang kita anut. Tapi ingatlah kita hidup berdampingan dengan manusia lain. 

Apa yang kita yakini dan kita pahami tidak seharusnya kita paksakan pada orang lain. Manusia sudah tentu punya cara masing-masing dalam meyakini sesuatu yang dianggapnya sebagai ketenangan dan kebaikan. Pada bagian inilah sebuah paham tidak dapat dipaksanakan. Bukankah tugas kita sebagai manusia hanya saling mengingatan saja? 

Jika seorang tidak sepaham dengan kita lantas bukan kita harus saling bermusuhan. Tentu kebaikan yang dimiliki setiap agama/golongan akan selalu ada jalan temu jika kita mengedepankan humanisme. Kadang logika sempit kitalah yang membuatnya runcing dan saling-silang. 

Tuhan tentu menciptakan kita bukan untuk saling bermusuhan atau berperang dan membunuh. Jelas Tuhan sabdakan, bahwa diciptakannya kita, manusia yang fana ini, untuk saling kenal-mengenal (Al Hujurat, 13), dan menghormati.

Wallahu'alam Bishawwab
***

Dirga Fawakih