Kartini dan Cita-cita Kesetaraan Wanita yang Kebablasan


Kartini dan saudara perempuannya Roekmini, Kartinah dan Soemarti. 
Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl

Kartini tidak sebatas kebaya dan seremoni. Kartini adalah simbol kemajuan kaum wanita, pejuang kesetaraan gender, dan benih nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, Wage Rudolf Supratman menyanjungnya sebagai “Pendekar Bangsa”.

Setiap tahun kita selalu menyemarakkan Hari Kartini dengan berbagai ekspresi, seperti memakai pakaian adat, mengadakan apel, penyelenggaraan seminar dan lain sebagainya, tapi pertanyaan sederhana yang muncul kemudian adalah, apa yang dapat kita maknai dari seorang Kartini dan cita-citanya?

Kartini adalah jiwa yang gelisah. Kegelisahannya itu dituangkan dalam korespondensi dengan sahabat penanya di Belanda. Dalam surat-surat Kartini kita dapat mengetahui betapa besar keinginan Kartini untuk memanusiakan wanita.

Wanita pada masanya terdomestifikasi pada kegiatan-kegiatan rumah tangga semata. Perempuan dianggap hanya sebagai pemain belakang yang tidak memiliki peran signifikan. Mereka tidak diperbolehkan sekolah, tidak mendapatkan akses kesehatan yang baik, tidak diperhitungkan pendapatnya dan lain sebagainya.

Seratus empat puluh tahun telah berlalu sejak terlahirnya Kartini yang gigih memikirkan kesetaraan hak kaum wanita. Kondisi kaum wanita sekarang jelas sudah tidak bisa disamakan dengan kondisi wanita pada masa Kartini. Sekarang, hak-hak kaum wanita yang dicita-citakan Kartini dahulu perlahan sudah terwujud.

Wanita dan laki-laki hampir-hampir telah memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di dunia perkantoran, pendidikan, kesehatan, dan dunia usaha wanita sudah dapat menjadi aktor utama. Mereka tidak lagi jadi pemain belakang dan terdomestifikasi di ‘ruang dalam’ yang menyempitkan peran mereka.

Tapi, apakah kesetaraan itu yang sesungguhnya ideal bagi kaum wanita? Apakah dengan setara dari laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan sudah cukup mengangkat derajat kaum wanita? Apakah dengan kesetaraan yang telah dicapai saat ini sudah cukup memanusiakan kaum wanita? Apakah itu yang hendak dicita-citakan?

Dari semua hiruk-pikuk kesetaraan yang sedang diperjuangkan kaum wanita hingga saat ini, ada ‘ruang dalam’ yang mulai diabaikan. ‘Ruang dalam’ yang sempit itu kini gelap dan tidak banyak diminati kaum wanita. Banyak dari mereka yang berimigrasi ke ‘ruang luar’ dan meninggalkan ‘ruang dalam’ mereka dalam kondisi porak poranda.

Dalam banyak kasus, kesetaraan yang diperjuangkan malah menjadikan wanita serupa laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Justru bukan memperkaya kemahiran wanita dalam menguasai apa yang menjadi kemahiran dasar mereka sebagai seorang Ibu. Kemahiran dasar mereka sebagai seorang Ibu malah ditinggalkan dan sebagai gantinya mereka mengerjakan apa yang dikerjakan laki-laki.

Jangan aneh jika saat ini kita melihat wanita yang bahkan sudah menikah tidak bisa masak. Yang lebih parah bahkan sebagian dari mereka hilang sudah hasrat untuk memasak hingga enggan untuk belajar memasak.

Kemahiran memasak dalam budaya kita adalah kemahiran dasar yang selayaknya dimiliki kaum wanita. Kemahiran ini tidak lantas menempatkan mereka pada ruang dapur semata. Kemahiran memasak ini sudah sepatutnya menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Tapi yang terjadi sekarang adalah kemahiran ini terabai hanya untuk mengejar kesetaraan.

Contoh lain misalnya. Wanita secara alami akan menjadi seorang Ibu dari anak-anak mereka. Mereka secara alami memiliki kemampuan menyusui, mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Tapi apa yang terjadi, susu formula telah mengisi setiap relung tulang dan gumpalan daging dari anak-anak mereka, pengasuh telah menjadi sahabat terbaik dari anak-anak mereka, dan tempat penitipan anak menjadi solusi untuk mendidik anak-anak mereka.

Semua kemahiran dasar itu ditinggalkan hanya untuk menuntut hak dan menjadi setara dengan laki-laki. Bukankah ini kebablasan? Dua contoh di atas hanya sebagian kecil imigrasi kemahiran yang terjadi dari kaum wanita. Sisanya anda renungkan sendiri.

“Perempuan sebagai pembawa peradaban! …Karena dari perempuanlah orang menerima pendidikan yang pertama - di pangkuan perempuan, seorang anak belajar merasa, berfikir, dan bicara – dan saya semakin lama semakin sadar bahwa pendidikan dini bukan tanpa arti penting dalam kehidupan seterusnya. Tapi bagaimana kaum Ibu pribumi dapat mendidik anak-anak mereka jika mereka sendiri tidak terdidik?.  Tulis Kartini.

Kartini mencita-citakan kesetaraan bukan untuk menjadikan wanita sederajat dengan laki-laki. Tapi justru menjadikan wanita lebih tinggi dejaratnya dari laki-laki. Kesetaraan yang hendak diperjuangkan tidak harus membuat wanita hengkang dari ‘ruang dalam’ yang sesungguhnya menjadi bakat alami mereka. Kesetaraan yang diperjuangkan seharusnya memperkaya kemahiran wanita dalam menguasai ‘ruang dalam’ dan ruang luar’.

Kesetaraan itulah yang membuat kaum wanita terlena dan amnesia, bahwa wanita adalah pembawa peradaban. Dari sentuhan tangan dinginnya di ‘ruang dalam’ itulah pondasi-pondasi peradaban dibangun. Lantas, jika mereka hengkang ke ‘ruang luar’ siapa yang hendak merekatkan pondasi peradaban bangsa ini?