Santrinisasi, Jilbab dan Konformitas Beragama



Ada suatu pemandangan unik saya saksikan ketika mengajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Tangerang. Saat itu saya melihat para siswi serentak menggunakan jilbab. Padahal tidak ada peraturan sekolah yang mewajibkan peserta didik perempuannya untuk menggunakan jilbab.

Fenomena yang sama saya saksikan di beberapa sekolah dasar di Kota Tangerang, Kecamatan Larangan. Kurang lebih terdapat lima Sekolah Dasar yang terletak dalam kompleks sekolahan tersebut. Saya melihat para siswi sebagian besar juga serentak menggunakan jilbab. Fenomena serupa juga saya saksikan di sekolah-sekolah negeri di Jakarta.

Dan ternyata fenomena tersebut juga dapat kita saksikan di ruang-ruang publik, seperti di stasiun kereta, pusat pebelanjaan, terminal, halte, kantor-kantor pemerintah bahkan kampus umum. Apakah fenomena ini mengindikasikan mulai tumbuhnya kesadaran beragama, alias gejala santrinisasi pada masyarakat Islam Indonesia?

Santrinisasi atau meningkatnya kesadaran beragama sangat erat kaitannya dengan faktor psikologis individu dan budaya kelompok masyarakat. Artinya religiusitas sebenarnya bersifat esensial dan tertutup. Meskipun begitu, secara fisik religiusitas yang paling sederhana dapat dilihat melalui simbol-simbol keagamaan yang digunakan oleh individu atau kelompok, salah satunya adalah jilbab.

Jilbab menjadi indikasi yang paling sederhana untuk melihat kesadaran beragama umat Islam pada lapisan terluar. Meskipun secara esensial tidak selalu demikian. Artinya jilbab yang sedang menjalar luas kini bisa jadi adalah fenomena konformitas beragama dan bukan meningkatnya kesalehan umat Islam.

Pada kasus lembaga pendidikan misalnya, norma-norma keislaman memang tidak tertuang secara resmi dalam peraturan sekolah. Namun secara tersirat norma-norma keislaman tersebut diadopsi dan dibudayakan pada masyarakat sekolah, khususnya di sekolah-sekolah negeri.

Sekolah-sekolah negeri kini banyak mengakomodri aktifitas keagamaan di sela-sela aktifitas belajar mengajar. Misalnya seperti menggelar tadarus bersama sebelum pelajaran dimulai, sholat duha berjamaah, kajian keputrian pada hari Jum’at, memakai pakaian koko pada hari Jumat dan lain sebagainya.

Hal ini yang kemudian dengan sendirinya membentuk suatu budaya religius di sekolah. Dengan diakomodirnya berbagai aktifitas kegamaan di dalam sekolah dapat mendorong siswa kemudian perlahan beradaptasi pada kondisi lingkungan sekolah yang ada.

Ketika lingkungan sekolah perlahan membudayakan norma-norma keislaman, masyarakat sekolah, siswa dalam hal ini terdorong untuk menyesuaikan dengan norma-norma yang diakomodir oleh sekolah. Hal inilah yang kemudian tanpa sadar membentuk simbol-simbol religiusitas pada peserta didik secara perlahan.

Menjamurnya budaya jilbab di ruang publik kini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan fasion dunia Islam. Berbagai kemudahan dan keindahan ditawarkan dalam menggunakan jilbab. Jilbab kini sudah beranjak dari perspektif normatifnya “hanya” sebagai anjuran agama. Kini jilbab dianggap sebagai simbol kekolotan atau tradisionalisme, tapi sebagai kesolehan yang dapat dipersolek.

Oleh karena itu, jilbab kini menemukan momentum untuk membumi pada masayarakat Islam di Indonesia, karena fasion yang berkembang saat ini dapat memadukan antara syariat dan keelokan penampilan.

Di samping itu, jilbab kini mulai ramah pada perusahaan-perusahaan swasta yang sebagian besar miliki investor asing. Kini kita dapat mudah menemukan pegawai-pegawai muslimah yang bebas menggunakan hijab di restoran-restoran khas Amerika di Indonesia.

Artinya jlbab bukan lagi penghalang bagi wanita dalam dunia kerja. Hal senada juga terjadi misalnya pada pengawai TNI dan Polri yang kini dapat dengan bebas mengabdi tanpa menanggalkan jilbabnya.

Fakta-fakta di atas adalah sebagian kecil faktor sosial yang dapat menjadi pendorong maraknya penggunaan jilbab. Namun pada akhirnya, jilbab tidak selalu menjadi indikasi meningkatnya kesadaran beragama.

Seorang individu yang hidup di tangah masyarakat di mana budaya religiusnya kuat tidak menjamin seorang akan tumbuh menjadi pribadi  yang religius. Artinya, religiusitas tidak selalu berbanding lurus dengan lingkungan di mana seorang individu berada, apalagi simbol-simbol keagamaan yang digunakan. Seorang yang gemar memakai gamis, peci baju koko ataupun jilbab tidak selalu menjamin dirinya seorang individu yang religius.

Mengukur religiusitas dapat dilakukan dengan melihat seberapa selaras antara praktik keagamaan yang dijalankan, simbol-simbol keagamaan yang digunakan, dengan perilaku sosial yang diterapkan di tengah masyarakat. Karena norma-norma kegaramaan selalu berimplikasi pada perilaku sosial penganutnya di tengah masyarakat.

Yang dikhawatirkan kemudian, gejala santrinisasi yang ditandai dengan maraknya pengguna jilbab hanya fenomena konformitas beragama. Artinya pengguaan simbol-simbol agama hanya didasari oleh faktor kecenderungan lingkungan, alias ikut-ikutan. Akhirnya penggunan simbol tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial di tengah masyarakat.

Fenomena ini, di satu sisi menjadi indikasi yang baik. Namun di sisi lain juga dapat menjadi bomerang, jika kesadaran berjilbab, yakni pakaian kehormatan yang menjadi ciri identitas wanita muslimah, tumbuh dan marak tidak selaras dengan norma-norma keislaman yang mendasari anjuran penggunaan jilbab ini. Artinya, sangat disayangkan jika berjilbab namun tidak diiringi dengan meningkatnya kesadaran beragama dan saleh secara sosial.

Dirga Fawakih