Sore itu saya melintasi kawasan
Jalan Joglo, Jakarta Barat, terlihat sekumpulan anak remaja sedang membawa
kotak kardus sambil mendendangkan sholawat diiringi dengan tabuhan hadroh.
Mereka tampak senang menjalani apa yang sedang mereka lakukan, menyapa hangat
para pengendara yang berhenti di persimpangan lampu merah itu.
Awalnya saya kira mereka sedang
menggalang dana untuk bantuan koban bencana, namun setelah saya tegaskan bacaan
yang tertera pada sisi depan kardus adalah kurang lebih “sumbangan untuk
tabligh akbar”.
Apa yang dilakukan oleh remaja
tersebut sesunggunhya adalah perbuatan mulia. Namun saya melihat ada dua hal
yang dalam renungan pribadi saya nampaknya sangat disayangkan. Pertama, saya
sangat menyayangkan gema sholawat, puji-pujian terhadap Allah dan Rasulullah
yang dibawakan dipinggir-pinggi jalan. Hal ini juga pernah saya saksikan ketika
sedang berolahraga di Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta.
Apa yang disenandungkan
sesunggunya bukan saja untaianya nyanyian, namun di dalamnya terdapat
nilai-nilai pujian yang sifatnya normatif. Sholawat punya persepsi positif dan suci di
tangah masyarakat Islam. Hal ini dikhawatirkan akan mengundang persepsi negatif
yang dapat menurunkan marwah sholawat itu sendiri. Sholawat akan lebih baik
jika disenandungkan di tempat yang semestinya, seperti di majlis ilmu atau
masjid.
Kedua, urgensi menggalang dana
untuk penyelenggaraan tabligh akbar. Tabligh akbar menjadi kesempatan yang
strategis memang dalam menyampaikan dakwah Islam. Namun jika penyelenggaraannya
cenderung memaksakan dengan menggalang dana “receh” yang melibatkan masyarakat
luas nampaknya ini yang sangat disayangkan. Maksudnya, tabligh akbar bisa
dilakukan dengan cara-cara sederahana tanpa memaksakan penggalangan dana “receh”.
Saya jadi teringat dengan para
penggalang dana untuk bantuan pembangunan masjid yang biasanya menggalang dana
di pinggir-pinggi jalan. Yang mereka lakukan sesungguhnya adalah kebaikan. Namun
dengan cara menggalang dana di pinggir-pinggir jalan dikhawatirkan dapat
memunculkan anggapan bahwa umat Islam tidak berdikari dengan cara-cara yang
elegan. Alangkah lebih baik, jika niat tulus kita dalam memajukan Islam
dilakukan dengan cara yang tidak hanya baik dan sah, namun elegan.
Dirga Fawakih