Berdamai dengan Sejarah
Ilustrasi oleh Penulis |
Lima puluh dua tahun berlalu nampaknya belum cukup bagi Indonesia untuk bangkit dari luka sejarah. Peristiwa 30 September 1965 yang menjadi luka dalam sejarah Indonesia tidak hanya mengorbankan nyawa sederet jenderal, perwira dan bocah cilik saja, namun ratusan ribu rakyat Indonesia pasca kejadian itu. Indonesia dilanda perang saudara, tidak melihat tetangga, kerabat mapun saudara, berbeda idelogi menjadikan mereka kala itu manusia yang buas dan haus darah. Hanya ada dua pilihan kala itu, membunuh atau dibunuh.
Banyak sisi
kelam dari peristiwa tersebut yang belum terungkap. Dan dampaknya hingga kini
masih sangat kuat dirasakan. Berbagai perdebatan dan dialog dilakukan, namun
belum juga dapat menutup luka yang kian menganga itu. Sejarah Gestapu (Gerakan
September 30) memang sebuah kajian sejarah yang hingga kini belum sepenuhnya
terungkap. Upaya riset juga terus dilakukan, berbagai fakta-fakta baru mulai banyak
ditemukan. Tulisan-tulisan dari berbagai sudut pandang banyak beredaran. Namun puzzle sejarah itu nampaknya belum juga
tersusun rapih.
Para peneliti
hingga kini masih berjibaku mencari “si dalang”, siapa yang paling bersalah,
siapa yang paling bertanggung jawab dan siapa yang harus meminta maaf. Itu saja
yang jadi diskusi publik dan rumusan masalah setiap tahunnya. Perdebatan
kontraproduktif yang menegangkan urat saraf dan menghabiskan tenaga.
Peristiwa besar
yang kompleks sudah pasti melibatkan banyak pihak dibaliknya. Untuk memoderasi,
bagaimana kalau kita mengacu pada pidato Nawaksara Sukarno pada tahun 1967 yang
mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan pertemuan tiga sebab;
kebelingernya pemimpin PKI, subversi Nekolim dan adanya oknum-oknum yang tidak
benar. Bukan berarti mengkultuskan satu argumen, namun memahami sejarah dalam
banyak sisi nampaknya akan lebih arif. Sementara riset mencari “si dalang”
terus berlanjut.
Menjelang
tanggal 30 September publik selalu dibuat “latah” dengan isu-isu tentang Partai
Komunis Indonesia (PKI). “Kelatahan” itu makin menjadi dengan kurangnya
pemahaman publik terhadap sejarah. Di berbagai daerah diadakan “nobar” alias
nonton bareng film “Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI” yang disutradarai
oleh Arifin C. Noer ini. Dengan dalih memberikan edukasi terhadap masayarakat,
film tersebut diputar di berbagai daerah dan disaksikan oleh berbagai kalangan.
Tua, muda dan anak-anak dengan seksama menyaksikan adegan-adegan demoralitas; penculikan,
pembunuhan, penyiksaan, histeris, tari erotis, isak air mata dan benci berpadu
dalam satu layar.
Pemutaran film
yang dinilai berbagai kalangan sebagai film propaganda tersebut malah kembali
membuka luka dan membuatnya semakin menganga alih-alih memberikan edukasi.
Masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai sejarah akan
kembali menjadi “latah”, takut dengan bahaya laten PKI. Generasi muda yang baru
saja pertama kali menyaksikan dibentuk pemikirannya lewat film propaganda yang
menyajikan banyak adegan memilukan. Dengan embel-embel tagline “JASMERAH (Jangan sekali-sekali melukapan sejarah)” menjadi
motivasi untuk menikmati adegan-adegan demoral itu.
Masyarakat yang
terdiri dari aktivis dan kaum muda progresif terdidik yang merasa enggan
dibodohi dengan film propaganda tersebut, mengimbangi perspektif mereka melalui
pemutaran film “Senyap” karya Joshua Oppenheimer. Film tersebut menyajikan sudut
pandang korban yang merupakan simpatisan PKI atau “yang katanya terduga PKI”.
Namun sikap ini nyatanya tidak juga memperbaiki kelatahan masyarakat dalam menyikapi sejarah
G30S.
Film sebagai
wahana internalisasi nilai-nilai sejarah memang penting peranannya. Namun esensinya
bergeser, ketika film sejarah tidak lebih sebagai alat propaganda, saling rebut
pengaruh dan saling perang opini. Sementara keluarga korban sibuk membenahi hubungan
dengan melakukan islah, rekonsiliasi dan mengubur hidup-hidup ingatan lalu itu,
masayarakat malah asik berdebat dan saling propaganda.
Sejarah memang tidak
hanya menyajikan keindahan, kejayaan dan romantisme masa lalu. Hikmah sejarah
bisa datang dari berbagai peristiwa, bahkan peristiwa yang sangat kelam dan
mengerikan sekalipun. Namun yang jadi pertanyaan, apakah kita bisa ambil hikmah
dari kelamnya peristiwa G30S itu? Bukankah yang muncul setiap tahunnya hanyalah perdebatan kontraproduktif, ketakutan, dan kecaman?
Ketakutan
terhadap PKI tidak diimbangi dengan meningkatnya pemahaman mengenai ideologi
PKI tersebut. Sehingga Kita hanya sibuk mencari pembenaran, sementara kebenaran
itu sedang dipangku oleh Tuhan. Kenapa kita tidak berfikir dekati saja kearifan
dan sambut masa depan.
Kita jangan
lupakan, namun juga tidak perlu menghabiskan waktu mencari siapa yang maminta
maaf dan memaafkan. Adakalanya kita harus berdamai dengan sejarah, memaklumi
sebuah peristiwa yang telah terjadi dan menganggapnya sebagai sebuah tragedi. Biar
“generasi tua” yang rasakan luka. Kita sebagai generasi muda belajarlah dari
luka dan belajar menyembuhkan luka. Biar bangsa ini tegap menyambut masa depan
dan berjalan gagah tanpa luka lama yang menganga.
Wallau’alam Bishawwab