Prahara Menuju Baitullah: Kisah “Haji Singapura” dalam Sejarah Indonesia

Prahara Menuju Baitullah: Kisah “Haji Singapura” dalam Sejarah Indonesia

 
 Kedatangan Jamaah  dari Mekah di Pelabuhan Tandjoeng Priok di Jakarta Tahun 1948
Sumber: media-kitlv.nl (akses: 11 Agustus 2017)

Haji merupakan rukun Islam ke-5 yang pelaksanaan ibadahnya unik dan cukup “rumit”, oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah haji ini disarankan bagi mereka yang mampu dan siap. Mampu dan siap bukan saja secara materil, namun juga mental, fisik, nonfisik, kesadaran diri, semangat keagamaan, keihlasan, ketulusan hati dan pengorbanan.

Meskipun terbilang ibadah yang cukup berat, namun tidak menyurutkan semangat umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Indonesia adalah salah satu penyumbang jamaah haji terbesar. Tidak kurang satu juta jiwa berangkat ke Baitullah setiap tahunnya.

Haji bukan hanya persoalan ibadah semata, namun menyangkut banyak aspek yang bergeliat di belakangnya. Unsur sosial, politik dan budaya menjadi unsur yang mewarnai geliat perhajian di Indonesia. Unsur sosial yang melekat dalam haji ialah terjalinnya silaturahmi di dalam lingkungan. Di Indonesia, ritual keberangkatan haji begitu unik dan kaya. Sebelum keberangkatan biasanya calon jamaah haji menyelenggarakan tasyakuran atau walimatusaffar dengan mengundang para tetangga dan sanak saudara. Saat jamaah haji tiba di tanah suci, lantunan ayat suci, senandung doa dan untaian ratib terus terpanjat dari sanak saudara yang berada di rumah. Hal tersebut tanpa sadar dapat memperkuat jalinan silaturahmi antar tetangga dan saudara.

Unsur politik yang melekat dalam penyelenggaraan haji sangatlah luas yang mencakup hubungan luar negeri dan kesiapan administratif di dalam negeri. Pemerintah dalam hal ini memiliki andil besar dalam suksesi penyelenggaraan haji. Unsur budaya dalam hal ini menjadi fenomena yang sangat unik. Orang yang telah melaksanakan haji dalam masayarakat memiliki status berbeda di tengah masayarakat. Dengan gelar haji dan kopiah putihnya mereka seakan “naik kelas”. Menurut M. Saleh Putuhena, secara kultural, haji juga dapat menjadi alat transformasi kesadaran yang berpengaruh terhadap relasi sosial-keagamaan di lingkungannya.

Haji di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Perjalanan haji dari Nusantara ke Mekkah (Hijaz) diperkirakan telah berlangsung sekitar abad ke-15.  Menurut M. Saleh Putuhena kebanyakan para pelancong haji Nusantara kala itu adalah para pedagang, utusan sultan dan para musafir yang menyengaja menuntut ilmu di Tanah Hijaz. Mekkah kala itu bukan hanya sebagai kiblat sujud umat Islam saja, melainkan sebagai pusat keilmuan yang banyak dirujuk oleh mereka yang haus akan ilmu pengetahuan, keagamaan khususnya. Oleh karena itu, Makkah dituju bukan hanya kesakralannya, namun juga karena poisisnya yang strategis, baik secara ekonomi maupun politik.

Pada masa kolonial Belanda, meskipun sudah menggunakan tekhnologi kapal laut, namun perjalanan menunaikan ibadah haji tetap memerlukan waktu yang cukup lama, menguras tenaga dan biaya. Tidak sedikit dari masyarakat Nusantara kala itu yang cenderung “memaksakan” dalam mewujudkan cita-citanya ke Tanah Suci. Baik memaksakan kondisi fisik maupun materi mereka. Banyak dari mereka yang rela menjual tanah, perhiasan, rumah untuk berhaji. Tidak sampai disitu, permasalahan dalam menunaikan ibadah haji juga dijumpai saat perjalanan. Banyak jamaah haji yang terlantar di berbagai tempat sepanjang rute perjalanan haji akibat kekurangan makanan, kehabisan uang maupun karena ditipu oleh oknum syaikh.

Banyak dari jamaah haji yang terpaksa tidak meneruskan perjalanan ke Mekkah dan hanya sampai ke Singapura. Mereka yang perjalanan hajinya hanya sampai Singapura diberi julukan “Haji Singapura”. Banyak dari mereka yang sebenarnya adalah korban penipuan dari para oknum Syaikh yang menjanjikan keberangkatan namun nayatanya hanya mengeruk keuntungan dari para calon jamaah Haji. Namun banyak pula dari mereka yang sebenarnya kehabisan bekal dan batal melanjutkan perjalanan.

Sudah pasti menjadi gengsi tersendiri bagi mereka yang dari tanah airnya telah disanjung-sanjung dalam keberangkatannya, namun nyatanya perjalanan haji mereka tidak sesuai dengan keinginan. Mimpi mereka sembah sujud di dua kota suci dan mencium harum Hajar Aswad sirna, karena sandal mereka hanya menapak sampai “Tanah Tumasik”.

Menurut M. Dien Madjid, untuk mengatasi kekecewaan mereka dan malu saat pulang ke tanah air biasanya para Haji Singapura membeli surat keterangan haji di Singapura sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Dengan begitu, para Haji Singapura dapat pulang dengan wajah tegap ke tanah air dengan kopiah putih, meskipun pada kenyataannya perjalanan haji mereka tidaklah sampai ke Tanah Suci.

Namun adapula Haji Singapura yang menemukan keberuntungan. Mereka yang berhasil mengumpulkan uang dengan bekerja di perkebunan kelapa sawit mili orang Arab dapat melanjutkan perjalannya ke Tanah Suci dengan uang hasil kerja mereka, meskipun  memerlukan waktu yang lama untuk mengumpulkan uang.

Haji Singapura menjadi fenomena yang unik dalam sejarah perhajian di Indonesia. Fenomena ini menjadi catatan pinggir yang seharusnya menjadi renungan, bahwa haji sesungguhnya bagi yang mampu dan tidak harus dipaksakan, namun harus tetap diperjuangkan. Kasus yang reflektif dari kasus Haji Singapau yang hingga kini masih berlangsung adalah keberadaan oknum-oknum travel haji “abal-abal” yang kerap menipun para calon jamaah haji hingga kini terus tumbuh bak cendawan di musim hujan. Haji seakan menjadi komiditi yang menggiurkan bagi mereka para oknum travel haji “abal-abal”.

Secara mental-spiritual semangat menunaikan haji harus tetap dibarengi dengan kemampuan materi dan fisik. Allah telah memberikan rukhsoh (keringanan) dengan memberikan kata “bagi yang mampu” dalam rukun iman yang ke-5 ini. Meskipun berat dan rumit, namun pelaksanaan ibadah ini juga harus tetap diperjuangkan. Telah banyak contoh dari mereka yang hidup paspasan, namun dengan memperjuangkan niat mereka pada akhirnya mereka mendapatkan kata “mampu” itu. Dan tidak lupa juga, bahwa haji adalah “panggilan”, jadi tidak cukup hanya dengan kata “mampu”.

Wallahu'alam Bishawwab

Dirga Fawakih