Kearifan Sejarah di Sudut Pasar Lama

Kearifan Sejarah di Sudut Pasar Lama

Gapura Masuk Kawasan Pasar Lama. (Sumber: Koleksi Pribadi Penulis)

Kendaraan yang berjajar padat, hiruk pikuk aktivitas perdagangan, peluh para penarik becak yang semuanya lansia menjadi pemandangan yang sangat khas Pasar Lama. Pasar Lama adalah  pasar tradisional yang terletak di utara Pusat Pemerintahan Kota Tangerang. Meski kondisinya tidak senyaman pasar modern, namun tempat tersebut masih menjadi destinasi yang sangat diminati. Hal tersebut dapat dilihat dari pengunjung pasar yang sangat ramai.
 
          Tidak jauh melangkah, sekitar seratus meter ke dalam pasar, terlihat sebuah gang yang dipadati para penarik becak, pedagang sayur mayur, buah-buahan, sate babi dan perlengkapan sembahyang umat Konghucu. Masuk sekitar lima puluh meter ke dalam gang terlihat sebuah bangunan merah dengan aroma dupa yang khas dan menusuk. Adalah Kelenteng Boen Tek Bio, sebuah kelenteng yang berdiri sekitar abad ke-16. Terletak di tengah kawasan Pasar Lama Kelurahan Sukasari, Kota Tangerang.

Kelenteng Boen Tek Bio. Salah Satu Kelenteng Tertua di Kota Tangerang. (Sumber: Koleksi Pribadi Penulis)

         Matanya sipit, kulitnya hitam, usianya tampak sudah tidak muda lagi, namun berdirinya masih kokoh, bicaranya masih lancar dan logat Betawinya kuat. Oey Tjin Eng atau akrab disapa Engkong Cin Eng adalah sosok “Cina Benteng” yang menyembut saya ketika masuk ke dalam Kelenteng Boen Tek Bio. Engkong, begitu saya memanggilnya, tampak sangat ramah dan hangat menyambut kedatangan saya.
       “Ada yang bisa dibantu dek?” tukasnya. “Saya sedang penelitian Kong, tentang tragedi Tangerang tahun 1946”, jawab saya. Lelaki yang lahir pada masa Revolusi ini tampak antusias menceritakan sejarah Tangerang yang penuh abu dan darah. Matanya berlinang ketika menceritakan sejarah masa lalu kaum Tionghoa yang merasakan kesengsaraan saat terjadinya tragedi pada Juni 1946. Dia enggan untuk melanjutkan ceritanya lebih jauh, dan memberikan beberapa sumber yang cukup representatif bagi penelitian saya untuk saya baca di perpusakaan kelenteng yang memiliki luas sekitar tiga kali tujuh meter. “Udah lu baca aja dulu, nanti sambil tanya-tanya aja kalau ada yang bingung” kata dia sambil menyambangi mahasiswa yang nampaknya juga ingin mendapat keterangan darinya. 
         Sesekali saya lontarkan pertanyaan yang disambut antusias. Sekita dua jam kami berdiskusi kemudian saya pamit. Sebelum pamit saya diberikan beberapa buku rujukan dan sumber-sumber digital.   “Makasih Kong, nanti saya maen lagi ya” kata saya menutup diskusi siang itu.
           Cerita pendek itu mengawali perjalanan saya menjelajahi kawasan Pasar Lama. Siapa tahu, di balik hiruk pikuk dan beceknya pasar tersimpan kearifan lokal yang masih tetap terjaga hingga kini. Adalah peradaban “Cina Benteng” yang hingga kini masih terjaga. Berbeda dengan kebanyakan orang Tionghoa pada umumnya, Cina Benteng memiliki cirri-ciri fisik matanya sipit, kulitnya coklat, dan berbahasa betawi. Sudah sekitar empat abad lalu orang-orang Tionghoa mendiami kawasan Pasar Lama, mungkin sudah berpuluh-puluh turunan. Kebudayaan mereka pun sudah berakulturasi dengan kebudayaan lokal.
          Peradaban mereka kini masih tersisa, rumah-rumah khas Tionghoa yang berbentuk plana kuda masih terawat dengan baik, meskipun beberapa di antaranya sudah mengalami renovasi. Namun tidak mengurangi suasana bak di “little China”. Terdapat pula sebuah museum yang menyimpan berbagai benda bersejarah. Adalah Museum Benteng Heritage yang merupakan rumah peninggalan orang Tionghoa yang kini difungsikan untuk menyimpan benda-benda bersejarah. Bentuk fisik bangunanya masih berasitektur klasik, meskipun telah mengalami renovasi di sana sini. Selain bangunan khas Tionghoa, di sisi barat Pasar Lam tepatnya di tepi kali Cisadane terdapat masjid tua yang sudah berusia ratusan tahun, namanya Masjid Jami' Kalipasir. 
Masjid Jami' Kalipasir. Salah Satu Masjid Tertua di Kota Tangerang (Sumber: Koleksi Pribadi Penulis)

         Masjid tersebut masih terjaga bentuk aslinya meskipun sudah mengalami perombakkan di beberapa tempat guna menunjang fungsi. Empat tiang masjid yang terbuat dari kayu jati bertengger kokoh  di tengah masjid. Atap masjid yang menggunakan atap tumpang masih terjaga keasliannya. Kubah masjid berbentuk atap tumpang, ujung atapnya terbuat dari tembikar yang betuknya persis dengan kubah masjid Agung Demak.  
          Kebanyakan “Cina Benteng” tidak menguasai bahasa mandarin. Mereka lebih akrab dengan bahasa Indonesia, sunda dan betawi. Sekalipun di antara mereka ada yang menguasai bukanlah terbentuk secara alami, melainkan melalui kursus. Kebiasaan mereka menggunakan bahasa mandarin di keluarga sudah tidak hidup lagi, ini yang cukup disayangkan. 
         Selain kearifan yang bisa kita lihat secara fisik berupa peninggalan bangunan, terselip pula kearifan immaterial masa lalu yang dapat dijadikan pelajaran. Tragedi Tangerang 1946, merupakan tragedi lokal yang berdampak nasional. Peristiwanya tidak dapat dikatakan kecil. Bahkan harian Sin Po menyebutnya sebagai “Naroka Tangerang”. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menyebutkan ratusan orang Tionghoa di bunuh, rumah-rumah mereka dibakar, ribuan orang Tionghoa tereksodus ke beberapa wilayah seperti Karawang, Bogor dan Bekasi.
          Persitiwa tersebut merupakan bentrok yang terjadi antara masyarakat lokal Tangerang dengan golongan Tionghoa. Dampaknya sangat pahit dirasakan, meskipun motifnya hingga kita belum dapat dijelaskan secara pasti. Parmoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia mengatakan bahwa, peristiwa tersebut merupakan ulah tentara Belanda yang ingin mengadu domba masayarakat lokal dengan masayarakat Tionghoa. Berhasilah tentara Belanda membuat debu dan darah berserak di Tangerang.
          Persitiwa tersebut merupakan bentrok yang terjadi antara masyarakat lokal Tangerang dengan golongan Tionghoa. Dampaknya sangat pahit dirasakan, meskipun motifnya hingga kita belum dapat dijelaskan secara pasti. Parmoedya dalam bukunya Hoakiau di Indonesia mengatakan bahwa, peristiwa tersebut merupakan ulah tentara Belanda yang ingin mengadu domba masayarakat lokal dengan masayarakat Tionghoa. Berhasilah tentara Belanda membuat debu dan darah berserak di Tangerang.
         Sejarah kelam itu kini telah lama berlalu, masayarakat Tionghoa khususnya Cina Benteng dapat kembali merajut kehidupan dengan masyarakat lokal Tangerang yang kebanyakan beragama Islam. Segregasi tidak pernah lagi terjadi, hal ini disebabkan kedua kebudayaan ini yang saling mengormati dan menghargai.  Pasar Lama tempat kebanyakan Cina Benteng tinggal menjadi kearifan immaterial yang dapat dijadikan pelajaran. Bahwa harmoni dapat tumbuh subur dan berkembang di tengah runcingnya perbedaan ras dan keyakinan. 

Wallahu'alam Bishawwab

Dirga Fawakih