Khilafah: Antara Semangat Keislaman dan Semangat Kekeluargaan
Sumber gambar: www.salafynews.com |
Usaha untuk membangkitkan
khilafah setelah runtuhnya Turki Usmani pada 1924 hingga kini terus
berlangsung. Usaha sebelumnya pernah dilakukan, mulai dari Jamaludin Al Afghani,
Taqyudin An-Nabani hingga sekarang Abu
Bakr Al-Baghdadi. Romantisme masa lalu tentang keagungan, kemegahan, kemajuan
khilafah rupanya masih tumbuh berkembang dan seakan tidak pernah padam di dalam
fikiran sebagian umat Islam.
Diskursus mengenai keidealan
khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam terus diperbincangkan. Khilafah
dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai sistem perpolitikan yang ideal dalam
bernegara. Karena hukum-hukum dalam sistem pemerintahan ini dianggap bersumber
dari Tuhan, sehingga dianggap luput dari kesilapan.
Meskipun tidak dapat dipungkiri
bahwa perjalanan sejarah khilafah tidak seromatis yang dibayangkan para pengangumnya.
Layaknya sistem pemerintahan lainnya, khilafah juga tidak luput dari berbagai khilaf.
Khilafah yang digadang
sebagai “sistem tuhan” nyatanya tidak terlepas dari jatuh bangun, tumbang dan
demoralitas para pejabatnya. Dalam hal ini, kebobrokan sistem khilafah yang
pernah terjadi pada dinasti-dinasti Islam bukan sebagai bahan mencari-cari
kesalahan. Namun lebih melihat bagaimana sebuah sistem pemerintahan, apapun itu,
tidak luput dari berbagai kekurangan.
Pada masa Nabi memang tidak
pernah dirumuskan tatacara pemlihan seorang khalifah (pemimpin). Tidak ada
sistem yang baku inilah yang membuat pada masa khalifah empat tidak terdapat
tatacara pengangkatan seorang khalifah (pemimpin) atas dasar pertimbangan kecakapan. Masa-masa setelah peninggalan khilafah
empat pun tidak dapat terhindar dari kerancuan dalam pengangkatan seorang khalifah.
Dalam sejarah politik Islam,
khilafah merupakan narasi besar yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban
Islam. Jika kita telisik lebih dalam, keberadaan khilafah yang dianggap
sebagai wujud dari semangat keislaman justru tidak selalu demikian. Dalam
sejarah panjang khilafah, khilafah lebih cenderung menunjukkan semangat
kekeluargaan dan sekterian dibanding semangat keislaman.
Khilafah adalah sistem politik
yang lahir dengan latar belakang semangat kekeluargaan yang sangat kental.
Sebelum kelahiran nabi Muhammad sesungguhnya sifat kekeluargaan bangsa Arab
sudah sangat besar. Namun setelah nabi diutus kekentalan semangat kekeluargaan
itu perlahan mencair (detribalisasi). Hal ini misalnya bisa kita lihat saat Nabi
mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Pasca wafatnya Nabi kekentalan
sifat kekeluargaan ini kian membesar.
Misalnya dalam penentuan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama. Abu Bakar dipilih sedikitnya berdasarkan dua
pertimbangan besar, yakni karena kedekatan dengan nabi dan karena kequraisannya
(di samping beberapa pertimbangan penting lainnya). Quraisy dijadikan tolok
ukur seorang sebagai seorang khalifah. Bahkan tolok ukur itu hingga kini
dijadikan sebagai acuan para pengagum khilafah dalam menentukan seorang
khalifah.
Pasca wafatnya Usman dan pecahnya
Perang Siffin, umat Islam terus dilanda kemelut sekterian dan teribalisme.
Arbitrase antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib tidak menyelesaikan masalah,
dan justru menjadi babak baru perselisaihan umat Islam. Pasca Perang Siffin, Muawiyah
mendeklarasikan diri sebagai Khalifah dan memimpin penuh Dinasti Umayyah yang
dideklarasikannya secara sepihak.
Pada masa Muawiyyah iniliah tribalisme
dalam diri umat Islam kian mengental. Tidak ada lagi musyawarah dalam penentuan
seorang pemimpin seperti masa khalifah empat. Karena sistem yang dianut oleh
dinasti Umayyah adalah sistem monarki yang berdasarkan garis keturunan keluarga.
Sebuah sistem yang saat itu lumrah digunakan oleh negara-negara klasik di
berbagai belahan dunia.
Dinati Umayyah tidak mampu lama
mempertahankan eksistensinya. Lagi-lagi pertumpahan darah kerap mewarnai saling
tarik ulurnya kekuasaan dalam dunia Islam. Sentimen tribalisme dan sekterianisme
acapkali mewarnai perselisihan antara umat Islam. Perpindahan tampuk
kepemimpinan dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiah juga tidak terlepas
dari pertumpahan darah. Setelah Dinasti
Umayyah runtuh dan digantikan oleh keluarga Abul Abbas As-Saffah sistem
kepemimpinan khilafah juga masih menganut sistem monarki yang berdasarkan garis
keturunan keluarga. Sistem politik berdasarkan garis keturunan terus
berlangsung hingga akhir masa Kesultanan Turki Usmani tahun 1924.
Pada masa dua kekhilafahan besar,
Umayyah dan Abbasiah, khilafah sesungguhnya tidak pernah benar-benar sukses
mempersatukan dunia Islam. Pada masa Abbasiah saja terdapat dinasti-dinasti
kecil yang mecoba memisahkan diri, seperti Dinasti Thahiriyah di Khurasan,
Shafariyah di Fars, Amaniyah di Transoxania, Sajiyah di Azerbaijan, Thuluniyah
di Mesir, Ghaznawiyah di Afghanistan, Dinasti Seljuk dan beberapa
dinasti-dinasti kecil lain yang tersebar di penjuru Jazirah Arab, Afrika Utara
dan Asia Tengah. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Islam pernah mencapai masa
golden age pada masa Abbasiah dan
Umayyah di Spanyol. Kala itu Islam di Baghdad dan Spanyol menjadi center of excellence bagi para cerdik
pandai di berbagai belahan dunia.
Sejarah perjalanan khilafah
sebagai sebuah narasi politik besar Islam tidak pernah luput dari berbagai
kekurangan layaknya sistem politik lain. Dalam sejarahnya, khilafah memang
mengampu dua fungsi, yakni spiritual dan politik. Namun yang disayangkan khilafah sebagai sebuah sistem perpolitikan sesungguhnya tidak pernah lepas dari
egoisme sekterian dan tribalisme. Dinasti-dinasti Islam acapkali didirikan atas
dasar semangat kekeluargaan (tribalisme) dan semangat aliran (sekterian).
Dari hal terkecil saja misalnya,
nama-nama yang digunakan oleh Dinasti-dinasti Islam selalu mengacu kepada
keluarga besar si pemilik tampuk kepemimpinan. Misalnya Dinasti Umayyah mengacu
kepada keluarga Muawiyyah bin Abu Sufyan, Dinasti Abbasiah dari keluarga Abul
Abbas As-Saffah, Dinasti Seljuk dari keluarga Seljuk, Dinasti Ayyubiah dari
keluarga Salahudin Al Ayyubi dan lain sebagainya.
Yang jadi pertanyaan sekarang,
khilafah yang seperti apa yang ingin kembali digaungkan? Apakah Khilafah
Islamiyaah yang berkedok semangat kekeluargaan seperti khilafah dalam sejarah
masa silam? Atau khilafah yang didirikan atas dasar semangat sekterian? Sejarah
mencatat bahwa khilafah sebagai sistem politik transnasional tidak selalu
berhasil mempersatukan umat Islam di seluruh dunia.
Kini khilafah kembali lagi ingin dibangkitkan. Sayangnya para pengaggum hanya hanya terpaku pada romantisme keemasan khilafah masa silam saja, jarang sekali dari mereka yang melihat bagaimana khilafah sebagai sebuah sistem berasaskan Islam juga berhias dengan demoraslitas para pejabatnya, nepotisme dan egoisme sekterian.
Kini khilafah kembali lagi ingin dibangkitkan. Sayangnya para pengaggum hanya hanya terpaku pada romantisme keemasan khilafah masa silam saja, jarang sekali dari mereka yang melihat bagaimana khilafah sebagai sebuah sistem berasaskan Islam juga berhias dengan demoraslitas para pejabatnya, nepotisme dan egoisme sekterian.
Khilafah memang pernah berkilau,
namun jangan lupa bahwa khilafah juga pernah gelap pada zamannya. Khilafah
sebagai produk zaman nampaknya lebih tepat ketimbang sebagai produk Tuhan. Nilai-nilai
ketuhanan yang teraplikasikan dalam khilafah pada akhirnya juga tetap ternoda
dengan ketamakan manusianya. Pada akhirnya Islamlah yang menjadi kambing hitam
dari ketamakkan itu. Yang terpenting sekarang ialah menyisipkan, mengawinkan
dan memadukan nilai-nilai Islam, seperti egaliter, keadilan, musyawarah, welas
asih, kejujuran, rendah hati, amanah dengan berbagai sistem politik. Karena
esensi nilai-nilai Islam jauh lebih penting kerimbang simbol-simbol tuhan yang
dilukiskan di atas kain putih dan hitam. Tidak lelahkan kita terus menggaungkan
keromatisan masa lalu berupa emas yang berlumur darah dan air mata? Yang bahkan
tidak pernah menjanjikan keidealan.
Wallahu'alam Bishawwab