Kartini-kartini Lain dalam Arus
Sejarah Indonesia
Ilustrasi oleh penulis |
Kartini, namanya kian membumi di benak setiap generasi anak negeri. Setiap
tahun, tepat di tanggal 21 April diperingati hari kelahirannya. Berbagai seremonial sepesial pun
diselenggarakan guna menyemarakkan hari kelahirannya.
Kartini
bukan sekedar Pahlawan Nasional, namanya sudah sangat erat dengan simbol
perjuangan wanita Indonesia. Melalui surat-suratnya yang menggugah ia banyak
melakukan kritik terhadap etiket-etiket Jawa yang sangat mengkebiri peranan
wanita yang kala itu dianggap tidak lebih dari “pemain belakang” atau
“pelengkap hidup” kaum laki-laki. Kartini menuntut kesetaraan derajat antara
laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek, terkhusus dalam bidang
pendidikan.
Kartini
yang usianya tidak lebih dari 25 tahun banyak mengemukakan gagasan baik lisan
maupun tulisan yang bersifat membangun. Siapa sangka, kumpulan surat-surat
hasil korespondesni Kartini dengan teman-temannya yang berkebangsaan belanda
kini dapat dinikmati dan terus hidup
menginspirasi.
Kartini
memang tidak berjalan menuju medan perang dengan menggunakan senjata lengkap
dan gugur dalam berjuang seperti kebanyakan para pahlawan, namun ternyata
penanya jauh lebih tajam dari bayonet, gagasannya jauh lebih mengelegar dari
meriam. Melalui goresan penanya ia dapat menggugah dunia dan memberikan
inspirasi bagi kaum wanita. Oleh karena WR Supratman memujinya sebagai “Pendekar
Bangsa, Pendekar Kaumnya”.
Kartini dianggap
sebagai wanita yang telah melampaui zamannya. Di kala semua wanita
tertunduk pada sebuah keajegan adat-istiadat yang baik sadar maupun tidak
mendiskriminasikan peran kaum wanita, Kartini telah tergerak untuk mendobrak
tradisi usang yang mendiskiminasikan peran wanita itu. Pada masa itu
wanita dianggap tidak lebih hanya sebagai "pelengkap hidup" kaum laki-laki, atau
istilah lain “pemain belakang”. Tidak banyak wanita yang dapat mengenyam dunia
pendidikan. Mereka terkungkung dalam keajegan adat yang mengkebiri potensi diri
mereka.
Di
tengah ketatnya kungkungan adat dan tradisi, Kartini menyempatkan untuk saling berkorespondensi dengan
teman-temanya yang berkebangsaan Belanda. Setelah ia meninggal, surat-suratnya
kemudian dibukukan oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 dengan
judul Door Duisternis Tot Licht,
dan kemudian diterjemahkan oleh Armjn Pane dalam bahasa Indonesia dengan
judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Surat-surat
Kartini mempresentasikan sebuah pemikiran orisinil wanita pribumi yang telah
berfikir jauh ke depan. Andai saja Kartini tidak pernah menulis surat dan
tidak mengungkapkan kegelisahan jiwanya, mungkin hingga kini namanya tidak
akan dikenang. Memang semasa hidupnya belum banyak yang dapat dilakukan Kartini
untuk mewujudkan cita-cita mulianya. Namun melalui surat-suratnya kita dapat
melihat sebuah cita-cita agung seorang anak bangsa berusia 20 tahun yang kala
itu bahkan belum mengenal nama Indonesia, namun telah memikirkan jauh
ke depan nasib kaumnya.
Sebagai
apresisi terhadap buah cita dan pemikirannya, Kartini juga diangkat sebagai
pahlawan nasional. Terlebih lagi namanya diabadikan menjadi nama jalan, sekolah
dan instiusi/lembaga. Bahkan hari kelahirannya diperingati secara khusus setiap
tanggal 21 April. Berbagai bentuk apresiasi masyarakat tersebut telah
menunjukan bahwa Kartini telah dianggap sebagai simbol yang menginspirasi.
Untuk
menyongsong kemajuan, masyarakat, Indonesia khusunya memerlukan simbol yang
dapat menjadi pedoman. Kartini adalah simbol pembebasan dan kemajuan kaum
wanita Indonesia. Namanya nampak tidak tergantikan dan bertengger kokoh sebagai
simbol yang menjadi pedoman kaum wanita.
Kartini telah menjadi simbol
yang membumi. Namanya kian harum mewangi bak kasturi. Namun
sesungguhnya dalam sejarah Indonesia telah lahir banyak Kartini-kartini lain
yang nama harumnya tidak tercium. Kita lupa atau bahkan tidak tahu atau mungkin
sengaja mengesampingkan peranan Kartini-kartini lain dalam arus sejarah
Indonesia.
Sebelum
Kartini lahir, Nusantara telah melahirkan wanita-wanita perkasa yang telah
berperan dalam berbagai aspek kehidupan. Sudut pandang yang melihat bahwa
wanita adalah pemain belakang dan pelengkap hidup kaum laki-laki nampaknya
tidak selalu berlaku di beberapa belahan daerah lain di Nusantara. Mulai dari
Tanah Rencong sampai Bumi Cendrawasih terlahir puteri-puteri pribumi yang
bersumbangsih dalam memajukan kaumnya dalam berbagai aspek, seperti pendidikan, agama, politik, sosial dan kebudayaan.
Tanah
Rencong telah melahirkan puteri-puteri perkasa yang berdaulat sebagai kepala
negara, salah satunya adalah Sultanah Safiatudin. Sultanah Safiatudin
memerintah selama 34 tahun (1641-1675). Pada masa pemerintahannya ia banyak
memfokuskan pada kemajuan pendidikan, keagamaan dan perekonomian. Ia
mensponsori penulisan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan.
Pada
masanya pula ia menerbitkan mata uang emas dan memeberlakukan cukai bagi
pedagang asing yang berdagang di Aceh. Yang lebih mengesankan lagi adalah pada
masa pemerintahannyalah lahir para ulama-ulama sekaliber Abdurrauf
As-Singkili, Hamzah Fansury dan Nuruddin Ar-Raniry. Keberadaan mereka tida
terlepas dari kebijakan Sultanah Safiatudin dalam memberikan kebebasan bagi
para cendikiawan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik kegamaan maupun
ilmu pasti. Selain Sultanah Safiatuddin Tanah Rencong telah melahirkan banyak puteri-puteri
perkasa, di antaranya, Ratu Nur-Ilah, Ratu Nahrasiyah, Laksamana Keumalahayati,
Sultanah Nurul Alam, Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, Pocut Baren dan Pocut Meurah
Baren.
Selain
wanita perkasa dari Tanah Rencong, Sumatera Barat juga melahirkan “Kartini
Lain”. Semasa dengan Kartini lahir Rohana Kudus di Kota Gadang, Agam, Sumatera
Barat pada 20 Desember 1884. Rohana Kudus adalah jurnalis wanita pertama di
Indonesia. Ia adalah wanita yang tekun menggeluti dunia tulis menulis.
Ia
menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama “Sunting Melayu” pada 10
Juli 1912. Rohana Kudus juga salah satu tokoh yang berkhidmat dalam dunia
pendidikan. Hal ini diwujudkan dengan pendirian Sekolah Kerajinan Amai Setya
sebagai sekolah keterampilan wanita. Di sekolah tersebut kaum wanita diajarkan
keterampilan seperti menyulam, menjahit, merenda dan merajut.
Selain Rohana Kudus, di wilayah yang sama, Rahmah
El Yunusiah. Ia adalah salah satu tokoh wanita asal Padang Panjang yang
berkhidmat dalam bidang pendidikan, khusunya untuk kaum wanita. Wanita
kelahiran Padang Panjang 20 Desember
1900 berjasa mendirikan madrasah Diniyah Puteri yang hingga kini madrasah
tersebut masih berdiri kokoh dan melahirkan banyak lulusan-lulusan yang cerdas.
Di
Sulawesi Selatan juga lahir “Kartini Lain” yang berkiprah dalam dunia perpolitikan
di Sulawesi Selatan. Adalah Siti Aisyah We Tenriolle, adalah seorang kepala
negara kerajaan Ternate pada tahun 1856. We Tenriolle tidak hanya mahir dalam
dunia pemerintahan, ia juga seorang ahli kebudayaan Sulawesi Selatan yang cukup
mumpuni dalam penguasaan sastra Bugis. Selain berpengaruh dalam bidang
pemerintahan dan sebagai peggiat budaya, Tenriolle juga mempelopori pendirian
sekolah pertama di Ternate pada tahun 1908.
Masih
di Sulawesi Selatan, terdapat tokoh wanita fenomenal yang sangat teguh
pendiriannya. Adalah Opu Daeng Risaju yang lahir di Palopo pada tahun 1880. Opu
Daeng Risaju terlahir dari dari keluarga bangsawan. Ia adalah tokoh wanita pemberani yang dengan
tegas menentang pemerintah Konial Belanda. Ia bahkan rela melepaskan gelar
kebangsawannya demi perjuangannya.
Ia
bersama teman-temannya di PSII bersikap nonkooperatif terhadap pemerintah
Kolonia Belanda. Hal ini yang akhirnya membuat ia dijebloskan ke dalam
penjara. Opu Daeng Risaju adalah sosok perempuan yang mengedepankan makna
kosisten dalam perjuangan. Meskipun ancaman dari pihak Kolonial dan Keluarga
datang, namun ia tidak pernah surut untuk melanjutkan perjuanganya.
Di
Jawa, juga lahir “Kartini Lain”, kita mengenal R.A Lasminingrat, Dewi Sartika
dan beberapa tokoh wanita lainnya. Di Bali ada “Kartini Lain”, adalah Ida I Dewa Agung Istri Kanya yang pernah
memerintah Kerajaan Klungkung (1809) dan I Gusti Ayu Rapeg yang merupakan
aktivis Putri Bali Sedar yang banyak bergelut dalam memperjuangkan hak-hak kaum
wanita di Bali dan Inna Bala Wattimena salah seorang aktivis emansipasi wanita di
Maluku. Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari sekian banyak “Kartini
Lain” yang dilahirkan di Bumi Nusantara.
Kini gugatan muncul menghujani Kartini. Beberapa kalangan menilai bahwa ia
adalah tokoh yang inkonsisten. Melalui surat-suratnya kepada Steela
Zeehandelaar Kartini banyak menceritakan mengenai kebenciannya pada tradisi
poligami yang berkembang di masyarakatnya. Namun pada kenyataannya Kartini
tidak memegang teguh pendiriannya. Ia malahan menikah dengan Bupati Rembang
yang jelas-jelas kala itu telah memiliki tiga orang istri.
Selain
itu, banyak kalangan menilai bahwa perjuangan Kartini tidak lebih dari sekedar
surat-menyurat. Khidmatnya di dalam dunia pendidikanpun tidak memberikan
pengaruh yang besar. Lebih jauh, pemikiran Kartini cenderung mengeneralisasikan
keadaan wanita kala itu. Padahal kondisi wanita di belahan wilayah lain tidak
selalu seperti apa yang ia gambarkannya; terkungkung dan terbelakang.
Sejarawan
Harsja W. Bachtiar bahkan mengatakan bahwa Kartini adalah simbol kepahlawanan
wanita bentukan Belanda. Indonesia tidak
menciptakan simbol pahlawan wanitanya sendiri. Lebih lanjut Harsja
mengungkapkan bahwa masih banyak wanita pribumi yang perjuangan dan
pengabdiannya telah melampaui Kartini. Kartini bukanlah tokoh emansipasi awal.
Apa gerakan pembebasan yang telah dilakuakan Kartini? Pembebasan terhadap
siapa? Dari apa hendak wanita Indonesia dibebaskan. (Harsja W. Bachtiar. 1990) Memang
pertanyaan tersebut terdengar menohok bagi para pengagung Kartini.
Namun
terlepas dari gugatan yang muncul, Kartini sesungguhnya tidak pernah
menginginkan dirinya dipahlawankan atau menjadi simbol inspirasi. Yang
dilakukan adalah berfikir bagaimana mewujudkan kesetaraan kaumnya. Pemikirannya
yang orisinil dan visioner patut dijadikan inspirasi dan terus dihidupkan. Sekarang
yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kita dapat mengangkat sejarah
perjuangan wanita inspiratif lainnya, mengenalkannya kepada masayarakat, agar
nilai kearifan yang terdapat dalam perjuangannya dapat menjadi inspirasi bagi
anak negeri.
Memunculkan
para tokoh pejuang juga penting agar Kartini tidak nampak sebagai tokoh sentral
dalam perjuangan kaum wanita. Bukan untuk menyaingi nama Kartini, karena simbol
nama Kartini terlanjur membumi, atau menambahkan tokoh baru ke daftar pahlawan
nasional, yang hanya membuat makna pahlawan nasional semakin tidak berarti jika
semakin banyak. Melainkan agar masyarakat Indonesia dapat mengambil lebih
banyak nilai inspiratif dari sekian banyak “mutiara kinasih” di Bumi Pertiwi.
Memunculkan
kisah sejarah inspiratif para “Kartini Lain” paling tidak dapat memperkaya
tokoh-tokoh inspiratif wanita di Nusantara. Selanjutnya kisah hidup mereka
dapat membuka mata kita bahwa wanita sesungguhnya bukan hanya pemain belakang dan
pelengkap hidup kaum laki-laki saja, mereka tidak hanya terkungkung di dalam dapur,
sumur dan kasur. Wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai
aspek, mereka juga berhak mengeyam pendidikan, mengembangkan potensi diri dan
berkarir layaknya laki-laki.
Setelah
emansipasi dan kesetaraan dalam berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya,
agama, politik dan militer tercapai, kesadaran pembagian tugas antara laki-laki
dan perempuan sesungguhnya yang menjadi hal yang sangat penting. Meskipun
wanita dan laki-laki telah sederajat dalam berbagai aspek kehidupan, namun
tidak selalu dalam hal kewajiban. Hakikat wanita seperti mengandung, melahirkan,
menyusui, menjadi ibu rumah tangga, menjadi istri juga tidak bisa
dikesampingkan. Karena sesungguhnya emansipasi tidak lantas melepas kodrat yang
sudah melekat dalam diri seorang wanita sejak lahir, melainkan memperkayanya.
Wallahu’alam Bishawwab.
Dirga Fawakih
Dirga Fawakih
Daftar Referensi
Abdullah, Taufik (ed). Tokoh Pemikir Karakter Bangsa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2015.
Alfian, T. Ibrahim. Manita Utama Nusantara. Jakarta: Jayakarta Agung, 1994.
Bachtiar, Harsja W.. “Kartini dan Pernana Wanita
dalam Masyarakat Kita”. Dalam Satu Abad
Kartini 1879 – 1979. Jakarta: PT Sinar Angape Pers, 1990.
Soeroto, Siti Soemandari. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung, 1977.
Sutrisno, Sulastin. Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsa. Jakarta:
Djambatan, 1985.