"Zuhud Virtual"

"Zuhud Virtual"
Ilustrasi gambar oleh penulis

Dalam satu dekade terakhir perkembangan penggunaan internet kian meningkat di Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 pengguna jasa internet di Indonesia mencapai 132,7 juta orang. Data tersebut menunjukan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia telah menggunakan jasa layanan internet. Perkembangan jasa layanan internet selanjutnya diiringi dengan murahnya harga smartphone dan menjamurnya beragam aplikasi media sosial.

Di era kemajuan teknologi yang tidak terbendung ini kita disajikan berbagai produk-produk aplikasi media sosial yang sudah tidak terhitung lagi jenis dan fungsinya. Puluhan aplikasi media sosial diciptakan untuk menunjang aktivitas kita, baik aplikasi media sosial yang berguna untuk menunjang pekerjaan, maupun aplikasi media sosial yang bersifat hiburan. Lusinan di antaranya mungkin melengkapi gadget kita.  Kemajuan teknologi ini sejatinya berdampak positif di tengah mobilitas manusia yang kian tinggi, dengan catatan media sosial dapat digunakan dengan bijak.

Namun tak ayal kemajuan teknologi yang melahirkan beragam aplikasi media sosial ini membuat kita semakin adiksi dengan dunia virtual (tidak nyata). Bisa jadi tanpa sadar kebanyakan waktu kita dihabiskan untuk dunia virtual saja. Setiap hari terus berulang tanpa disadari bahwa kita telah terjerembab dalam fantasi dunia vitual yang sebenarnya hanya semu belaka. Dalam waktu bersamaan kita telah kehilangan waktu-waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih manfaat, karena fikiran sudah kadung adiksi untuk terus membuka jendela aplikasi yang hampir setiap menit menderingkan notifikasi.

Salah satu dampak negative yang muncul dalam budaya virtual adalah maraknya penyebaran “informasi burung”. Setiap menit atau bahkan setiap detik “informasi burung” berselancar bebas di dalam aplikasi media sosial kita. Berapa banyak “informasi burung” yang tersebar itu bernada ancaman, profokasi, hujatan, hinaan, dan cercaan.  Budaya menyebarkan “informasi burung” ini bukan saja merambah pada anak-anak remaja, namun sampai pada bapak dan ibu rumah tangga, tokoh politik, pejabat negara, artis, guru, dosen bahkan setingkat professor pun nampaknya tidak mampu menahan ibu jarinya untuk menyebarluaskan “informasi burung” itu.

Selain itu, budaya “curhat virtual” juga semakin membumi. Apapun yang menjadi persoalan kita di dunia nyata belum puas nampaknya jika belum dicurahkan lewat update status. Beragam curahan bernada kebahagian, kekecewaan, maupun kemarahan seringkali menghias di dinding media sosial kita, setiap menit bahkan setiap detik. Entah apa yang mendorong, namun “curhat virtual” nyatanya dapat membuat sebagian orang puas. Meskipun yang didapat hanya simbol-simbol belaka atau komentar khalayak maya yang sebenarnya tidak solutif.

Tanpa sadar lusinan aplikasi jejaring sosial telah menyita waktu kita untuk melakukan aktifitas-aktifitas nyata yang lebih berdampak nyata. Kita lebih banyak menghabiskan waktu untuk bercurhat ria, memandangi pesan-pesan atau bahkan mengintip beranda tetangga maya. Sadarkah kita berapa waktu yang kita habiskan untuk berbagi keluh kesah kita kepada khalayak maya? berapa banyak waktu kita terbuang untuk sekedar mengintip beranda tetangga maya? Dan apa manfaatnya? Hanya adiksi belaka bukan?

Dengan mobilitas kehidupan manusia yang semakin tinggi dan budaya masyarakat urban yang tidak bisa terlepas dari akses informasi, penggunaan gadget dengan aplikasi penunjang di dalamnya tidak mungkin untuk dihindari. Namun penting bagi kita untuk  memfilter apa-apa saja media sosial yang lebih bijak digunakan dan pastinya lebih berdaya fungsi untuk menunjang kegiatan sehari-hari.

Zuhud virtual menjadi langkah paling bijak di tengah sajian aplikasi media sosial yang tumbuh bak cendawan di musim hujan. Penting bagi kita untuk berzuhud; menahan diri untuk berselancar bebas di dunia virtual dan memilah aplikasi yang lebih berdaya fungsi. Hal ini penting guna memanfaatkan waktu kita yang terbuang sia-sia hanya untuk memandangi beranda jejaring sosial.

Bukankah waktu adalah harta yang paling berharga dan tidak mungkin dapat diputar kembali? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa waktu yang berharga ini begitu sayang jika hanya habiskan untuk menyapa khalayak dan bercurhat ria di dunia maya. Adiksi media sosial memang bukan perkara mudah untuk dihilangkan, dan memang tidak harus dihilangkan karena udah kadung menjadi kebutuhan.  Namun akan lebih bijak jika kemajuan dunia virual ini dimanfaatkan sebaik mungkin dan diarahkan sesuai kebutuhan.

Wallahu'alam Bishawwab

Dirga Fawakih