Al-Barzanji: Pekik ‘Genderang Perang’ di Bumi Nusantara

Al-Barzanji: Pekik ‘Genderang Perang’ di Bumi Nusantara

Sumber Gambar: bingregory.com

Al-Barzanji, namanya mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Adalah syair puji-pujian yang meriwayatkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang dikarang oleh Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim bin Muhammad al-Barzanji.

Syair Barzanji secara garis besar menceritakan silsilah Nabi Muhammad SAW, kehidupan masa kecil, aktivitas perniagaan, pernikahan dengan Khadijah, penurunan wahyu pertama dan pengangkatan sebagai rasul serta Nabi tutup usia.

Sejarah syair Barzanji tidak bisa dilepaskan dari sejarah peringatan Maulid Nabi. Perang Salib (1095) yang berlangsung lama banyak mengorbankan jiwa, tenaga, dan materi yang sangat besar, baik dari umat Islam maupun kaum Salibis.  

Semangat juang Umat Islam perlahan kian memudar, hal disebabkan karena hilangnya semangat persatuan dan motivasi perjuangan. Secara politis hal ini berdampak pada lepasanya Masjid Al-Aqsa dari genggaman umat Islam.

Umat Islam kala itu memang dinaungi oleh Dinasti Abbasiah sebagai sentral dan basis politis bagi kerajaan-kerajaan Islam kecil (chiefdom) di berbagai wilayah, namun nampaknya Abbasiah tidak lagi gagah secara politik. Keberadaanya tidak lain hanya sebagai simbol spiritual saja.

Untuk membangkitkan semangat juang umat Islam, Muzaffarudin Gerbuki seorang atabek (setingkat gubernur) Irbil, Suriah yang merupakan ipar dari Salahuddin Al-Ayubi (Saladin), menggagas sayembara pembuatan sayair puji-pujian kepada Nabi Muhammad. Ia beranggapan bahwa dengan kembali mengingat sejarah Nabi Muhammad dapat kembali menyatukan motivasi, semangat juang dan persatuan umat Islam.

Gagasan ini kemudian dilanjutkan oleh Salahudin Al-Ayubi kepada khalifah Abbasiah di Bahdad untuk meminta legitimasi. Mengingat perayaan Maulid Nabi kala itu bukan hal yang lumrah di dunia Islam. Perdebatan untuk mensahkanpun tidak terhindarkan kala itu.

Beberapa ulama kala itu menganggap hal ini merupakan bid’ah, sesuatu yang dibuat-buat yang tidak dilakukan Nabi. Namun ulama lain melihat bahwa peringatan ini boleh saja, dengan mempertimbangkan esensi dari Maulid yang bertujuan untuk kembali mempersatukan umat Islam yang kala itu sedang tercerai berai.

Dari Sayembara yang dilaksanakan oleh Salahuddin, terpilih syair Muhammad al-Barzanji sebagai pemenangnya. Seketika sebuah sayair laksanakan pekik genederang perang. Benar saja, bahwa dengan kembali mengingat sejarah dakwah Nabi yang dikemas dalam syair indah dapat menyulut semangat juang umat Islam.

Dengan semangat perjuangan yang kembali tergugah akhirnya pada 2 Oktober 1187 suara azan kembali berkumandang di Masjid Al-Aqsa menggantikan suara denting lonceng. Setelah 91 tahun al-quds (Masjid Al-Aqsa) berada di tangan kaum Nasrani, akhirnya pada masa Salahuddin kembali ke pangkuan umat Islam dan dikembalikan menjadi masjid.

Atas persetujuan An-Nashir Lidinillah (1180-1225), khalifah Abbasiah yang menjabat kala itu, Salahudin kemudian mengintruksikan kepada para Jamaah Haji agar peringatan Maulid Nabi dan syair Al-Barzanji ini disebarluaskan di kampung halaman para jamaah haji.

Oleh jamaah hajilah kemudian peringatan  Maulid Nabi dan pembacaan sayir Al-Barzanji kemudian hadir dan membumi di Nusantara. Setiap menjelang “bulan maulid” 12 Rabiu’l Awal, syair Al-Barzanji kerap disenandungkan di berbagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bahkan sebenarnya tidak hanya pada peringatan maulid, namun berbagai walimah.

Peringatan Maulid Nabi sendiri sudah mentradisi dan mengakar kuat pada masayarakat Indonesia, sehingga menjadi agenda rutin yang tidak bisa terlewatkan. Umat Islam Indonesia dengan semangat, bersuka cita bercampur haru menyenandungkan syair al-Barzanji, bahkan tidak jarang air matapun ikut mengucur.

Pembacaan syair Barzanji (Rawi-an) biasanya didahului dengan pembacaan surah Yasin atau Al-Waqiah, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan syair Barzanji. Pembacaanya terkadang juga diiringi oleh alat-alat tepuk seperi rebana, hadroh maupun marawis. Yang membuat pembacaan syair Barzanji semakin terasa khidmat dan mengugah semangat.

Pembacaan syair Barzanji dalam peringatan Maulid Nabi sebenarnya tanpa sadar telah mengugah semangat persaudaraan di kalangan umat Islam. Dengan peringatan Maulid Nabi umat Islam dapat menghayati sejarah perjuangan Nabi Muhammad.

Namun yang disayangkan perdebatan mengenai peringatan Maulid Nabi Muhammad tidak kunjung usai di kalangan umat Islam, Indonesia khususnya. Umat Islam masih terjerembab pada perdebatan-perdebatan normative yang kontraproduktif, seperti perdebatan menganai masalah bid'ahnya peringatan Maulid.

Peringatan Maulid Nabi sudah kadung mentradisi pada umat Islam Indonesia. Seharusnya yang lebih penting adalah bagaimana agar peringatan Maulid Nabi ini dapat memperkuat jalinan silaturahmi di kalangan umat Islam dan menambah kecintaan terhadap Nabi Muhammad SAW, bukan malah mencerabutnya.

Seyogyanya memang peringatan Mulid Nabi dan pembacaan syair Barzanji bukan hanya sekedar seremonial belaka. Penting jika umat Islam dapat memaknai sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam syair Barzanji yang kemudian direfleksikan dalam kehidupan umat Islam masa kini. Semangat perjuangan, dakwah, toleransi, persatuan, persaudaraan dan kemajuan itulah yang harus direfleksikan.

Merefleksikan nilai nilai tersebut jauh lebih penting, ketimbang berdebat pada tatar normative yang kontraproduktif. Syair Barzanji layaknya pekik gendering perang yang seharusnya dapat menyulut semangat persatuan dan kemajuan umat Islam, selayaknya Perang Salib terdahulu. Namun bukan lagi perang fisik, namun perang melawan kemiskinan dan perang melawan kebodohan dan perpecahan di kalangan umat Islam.


Wallahu’alam Bishawwab.