Umat Bergerak: Mobilisasi Damai dan Agenda Kebangkitan Islam Indonesia


Umat Bergerak: Mobilisasi Damai dan Agenda Kebangkitan Islam Indonesia




Akhir-akhir ini kita dihangatkan dengan aksi masa yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Fenomena ini menjadi pemandangan yang menarik. Pemicunya adalah pidato Gubernur DKI Jakarta yang membawa surat Al-Maidah ayat 51  di Kepulauan Seribu. Pidatonya yang dianggap menistakan Al-Qur’an sontak menimbulkan respon dari kalangan umat Islam.

Awalanya banyak pengamat yang mengatakan bahwa persoalan ini adalah bagian dari bumbu politik menjelang Pilkada DKI Jakarta. Namun belakangan ternyata masa umat Islam yang menuntut Gubernur DKI Jakarta untuk ditahan bukan hanya orang-orang Islam Jakarta, melainkan dari seluruh Indonesia. Faktor kepentingan politis jelas saja telah terbantahkan.

Kata ‘meradikal’ terlalu berlebihan untuk menggambarkan kondisi saat ini, begitupun dengan makar. Penulis lebih tertarik melihat mobilisasi Umat Islam ini sebagai sebuah fenomena sosial. Mobilsasi jutaan masa umat Islam tidak lain karena doktrin keagamaan yang dipegang teguh. Keyakinan dalam hal ini adalah ranah hakiki yang tidak dapat diperhitungkan secara matematis. Misalkan, meskipun ketua PBNU telah melarang anggotanya untuk hadir dalam aksi masa tersebut, namun tetap saja banyak anggota NU yang hadir menyemarakan aksi tersebut. Hal ini juga terjadi pada organisasi Islam arus utama sekaliber Muhammadiyah. Dalam hal ini ranah keyakinan tidak dapat dinafikan, titah pimpinanpun tidak menjadi halangan.

Ulama dalam memobilisasi masa juga memiliki andil besar. Mengingat ke belakang, berbagai perang dan pemberontakan yang terjadi dalam arus sejarah Indonesia juga terdapat ulama sebagai motor penggeraknya. Misalnya dalam kasus Pemberontakan Petani Banten 1888 dan Perang Sabil di Aceh, dimana ulama memiliki peran yang sangat sentral dalam menggerakkan masa. Perannya bukan saja dalam pengajaran keagamaan, namun sampai pada menyusun strategi, menguasai psikologi masa, bahkan modal sosial. Pada fenomena aksi damai belakangan ini kita juga dapat melihat betapa belum hilangnya pengaruh ulama di tengah masayarakat. Mereka tetap karismatik meskipun tidak memiliki jabatan politik.

Umat Islam Indonesia yang selalu digambarkan dengan berbagai perbedaan paham dan atribut, dalam aksi pada tanggal 4 November dan 2 Desember 2016  dipersatukan dalam balutan kain putih.  ‘Siradikal’ dan ‘Siliberal’ nampak mencair, meskipun ‘Simoderat’ tetap menengah dan cenderung tidak ambil sikap.  Pendapat kalangan moderat kerap kali malah membuat suasana memanas dan menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif di kalangan umat Islam sendiri.

Yang juga unik dalam hal ini adalah mengenai fatwa Majlis Ulama Indonesia - MUI. Fatwa MUI sebenarnya adalah penunjang dari program-program pemerintah. Namun belakangan ini tercetus fatwa-fatwa MUI yang dianggap kontroversi dan berseberangan dengan pemerintah, misalkan dalam kasus haramnya BPJS. Lebih ke belakang lagi kita bisa melihat bagaimana fatwa MUI bisa memiliki pengaruh yang besar. Misalnya dalam kasus fatwa kesesatan Ahmadiyah. Setelah MUI memproklamirkan fatwa kesesatan Ahmadiyah tersebut sontak terjadi bentrok warga yang menimbulkan korban jiwa, misalkan dalam kasus sweeping pengikut Ahmadiyah di Serang.  

Rakyat yang menganut fatwa MUI secara membabi buta lantas merasa bahwa aksi anarkisnya telah dibenarkan agama dan ulama. Proses produksi fatwa ini harus dilakukan secara hati-hati dengan penjabaran yang jelas. Persoalannya juga pada kapasitas masayarakat dalam menyikapi fatwa tersebut. Oleh karena itu penting pula pencerdasan ilmu keislaman di masayarakat dan kehati-hatian MUI dalam memberikan fatwa, karena fatwa dapat menggerakkan masa. Namun pada aksi super damai MUI ternyata dapat bersikap bijak dengan menjadi fasilitator antara masayarakat dan pemerintah.

Aksi “Super Damai” yang dilaksanakan pada tanggal 2 Desember telah membuktikan bahwa umat Islam Indonesia telah ‘naik peringkat’. Aksi yang dikhawatirkan akan rusuh bahkan isu makar namun tidak terbukti. Barisan umat yang berbalut kain putih berdiri kokoh melantunkan takbir bergerak menggetarkan hati setiap yang melihat. Jutaan umat yang bebaris rapih dan tangguh dalam guyuran hujan menunjukan bahwa mereka masih satu pedoman dan satu hakikat perjuangan.

Aksi ‘Super Damai’ ini telah membuktikan bahwa umat Islam Indonesia semakin mesra dengan demokrasi. Tanda tersebut senada dengan apa yang diramalkan oleh Azyumardi Azra, John L. Esposito dan Fazlur Rahman tentang agenda kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Salah satu tandanya adalah semakin mesranya umat Islam dengan demokrasi. Memang terlalu premature untuk membanggakan kebangkitan, karena setumpuk agenda masih menunggu umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kebangkitan itu.

Persoalan ‘penistaan agama’ ini seyogyanya bukan saja hanya menjadi tuntutan hukum untuk memenjarakan satu orang saja. Alangkah indahnya jika pergerakan jutaan umat Islam ini menjadi momen untuk bangkit bersatu merapatkan barisan dan titik balik untuk kembali kepada Al-Qur'an serta merefleksikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bukan hanya ayat-ayat politik saja, namun ayat-ayat pendidikan, ekonomi, kesejarteraan, humanisme, kebersamaan dan keberagaman juga penting mendapatkan kajian lebih mendalam guna menjemput kebangkitan yang diramalkan itu.

Wallahu'alam Bishawwab