Lantunan suarat takbir menggema
saling bersautan, suara tabuh bedug menambah kesemarakan, petasan dan kembang
api menghiasi awan, tawa canda anak-anak melukiskan kebahagiaan. Surau,
mushollah, dan masjid kian ramai dipadati kaum tua dan kaum muda. Tidak peduli
usia, bersama mereka melantunkan kata untuk membesarkan nama sang maha kuasa.
Demikain gambaran kecil malam takbir di bumi Nusantara.
Hingga fajar menjelang suara takbir kian berkumandang lantang. Sampai
pagi tiba, masyarakat berbondong bersama mendatangi surau, mushollah, dan
masjid. Seraya bersama, laki, perempuan, tua, muda mengumandangkan takbir.
Sambil duduk bersimpuh menengadahkan wajah ke kiblat dengan khidmat, semua
melaksanakan sholat dan mendengarkan nasihat.
Senandung sholawat menghiasai
saling rangkul, cium, dan bersalaman. Berharap semua dosa dan kesalahan diampunkan.
Lepas ,menghadap sang Illahi, semua pergi ke rumah masing-masing. Keluar
kembali dengan baju koko, gamis, kerudung baru. Dan tak jarang cincin dan
gelang emas juga menghias.
Pintu rumah dan gerbang dibuka,
pertanda siapa saja boleh bertandang. Kembali saling rangkul, cium dan bersalaman mewarnai. Dan
disertai ucapan maaf memaafkan.Tidak peduli usia dan agama, semua orang “me-lEbar”
keliling kampung. Yang muda yang bertandang, yang tua yang dikandang. Demikain
tradisi saling menghormati yang masih terpelihara dengan baik.
Sambil tersenyum dan sorak
gembira anak-anak menggengam uang hasil pemberian. Biasanya orang tua yang cukup mapan memberikan uang lembaran
dengan nilai yang sedang kepada anak-anak. Hal tersebut bertujuan untuk
menyenangkan anak-anak kecil, meskipun jumlahnya tidak seberapa.
Hingga siang menjelang, tradisi
bertandang dilanjutkan ke tempat sanak saudara yang lebih tua. Di rumah orang
tua, saudara tertua, atau orang yang dituakanlah biasanya “kumpul-kumpul”
kembali dilakukan. Belasan toples berisi kue “tar-nanas”, castengel, astor,
kacang mede, dan beberapa cemilan khas hari raya juga disuguhkan.
Ketupat, lontong, lemang menjadi
suguhan yang tidak ketinggalan. Di tambah kuah kari, semur, dan rendang yang semakin menggugah. Tawa dan canda tak
pelak menghiasi santap makan. Riang dan rengek anak juga semakin meramaikan
suasana.
Demikian gambaran hari nan fitiri
di bumi Nusantara pertiwi, Desa Larangan, Tangerang tepatnya. Hingga kini tradisi masih membumi dan
terpelihara di benak dan sanubari setiap generasi. Meski usang dimakan zaman,
namun tetap kokoh dan kuat terpatri dalam diri.
Dirga Fawakih