Mengenal yang Nusantara dan yang
Berkemajuan
Azyumardi Azra dan Komaruddin
Hidayat dalam beberapa tulisan mutakhirnya kerap menggunakan Istilah “Islam
Nusantara yang Berkemajuan” untuk menggambarkan Islam Indonesia yang bersifat
akomodatif dan pro-kemajuan. Istilah Islam Nusantara yang berkemajuan sebenarnya merupakan fusi
dari visi kedua organisasi Islam arus utama Indonesia, yakni, Nahdatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah.
Istilah “Islam Nusantara” yang diusung oleh kalangan Nahdiyin (NU) merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan Islam kultural khas Indonesia yang
ramah, toleran, dan akomodatif. Agama Islam yang beradhesi dengan budaya lokal
Indonesia membentuk sebuah konsep Islam khas yang scara tradisi berbeda dengan
Islam Timur Tengah maupun Islam di belahan dunia lain. Meskipun beberapa
kalangan, puritan terutama, menyebut adhesinya Islam dengan budaya lokal
sebagai “peripheral” atau “Islam pinggiran”, karena dianggap berbeda dengan
bentuk Islam “murni”.
Istilah “Islam Nusantara” yang
digunakan oleh NU dalam Muktamar ke-33 juga tak pelak menuai perdebatan.
Beberapa kalangan, terutama golongan puritan, menganggap bahwa penggunaan istilah tersebut telah mencoreng
pemaknaan Islam yang “murni” bahkan ada yang menyebutnya sesat. Hal ini disebabkan karena ada embel-embel kata
Nusantara dibelakang kata Islam. “Islam ya Islam”, demikian ungkapan yang kerap
dikemukakan kalangan puritan. Meskipun selalu ditegaskan bahwa, “Islam Nusantara”
bukanlah Islam dalam pengertian
ideologis.
Meskipun menuai kontroversi,
namun nampaknya istilah “Islam Nusantara” telah menjadi istilah yang mendunia,
dan sangat identik dengan Islam Indonesia. Nahdatul Ulama telah berhasil
mengambil bagian dalam memberikan pemaknaan Islam khas Indonesia, yang oleh
Azra disebut “the flowerly Islam”.
Selain NU sebagai salah satu dari
dua organisasi Islam arus utama, Muhammadiyah juga memiliki sebuah visi dakwah,
yakni “Islam Berkemajuan” atau istilah lain “Islam Progresif”. Dengan visi progresifnya
Muhammadiyah berusaha menawarkan konsep Islam yang visioner yang berorientasi
pada kemajuan.
Pendidikan menjadi salah satu
media Muhammadiyah dalam membumikan ide progresifnya. Sejak awal pendiriannya
Muhammadiyah memang menjadi salah satu organisasi Islam pertama yang menerapkan
konsep pendidikan modern, dengan penerimaanya terhadap konsep pendidikan model
Barat.
Hingga kini Muhammadiyah
menunjukan konsistensinya dalam berkhidmat dalam dunia pendidikan dengan wujud
pendirian ribuan lembaga pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.Muhammadiyah telah memberikan sumbangsi yang sangat berarti
dalam mencerdaskan bangsa melalui dunia pendidikan.
Antara yang akomodatif dan yang
progresif, keduanya sebenarnya saling melengkapi. Dalam kenyataannya penulis rasa sangat cair
kedua visi tersebut. Dalam artian yang NU juga sebenarnya bersifat progresifi
dan yang Muhammadiyah juga bersifat akomodatif. Oleh karena itu para
cendikiawan Islam cenderung mendamaikan kedua visi dua organisasi arus utama
ini untuk membentuk sebuah konsep Islam khas Indonesia yakni, satu sisi bentuk Islam
yang tetap mengakar pada tradisi lokal dengan tidak mengesampingkan esensi
nilai keislaman murni dan di sisi lain Islam Indonesia juga sebagai Islam yang pro
terhadap kemajuan, tidak kolot pada perkembangan zaman.
Menyongsong Kebangkitan Islam
Indonesia
Fazlur Rahman dalam kunjungannya
ke Indonesia dan Malaysia memberikan tanggapan yang positif terhadap dinamika
Islam di Indonesia dan Malaysia. Ia memprediksikan bahwa di tanah Nusantaralah
kebangkitan Islam akan muncul.
Senada dengan Fazlur Rahman, John
L. Esposito dan Bruce Laurence juga memberikan tanggapan positif terhadap dinamika
Islam di Indonesia. Pendapat para islamicist tersebut memang tidak bisa
kita anggap sebagai omong kosong, karena yang pasti ungkapan tersebut muncul
berdasarkan studi komparatif dari berbagai negara berpenduduk Muslim lain.
Penulis kira kita harus sambut
gembira optimisme para islamicist tersebut. Meskipun menurut Azyumardi
Azra terlalu prematur untuk menyandangkan kata “kebangkitan” pada Islam Asia
Tenggara, Indonesia khususnya (Azyumardi Azra, 2000). Karena terdapat beberapa
prasyarat yang harus terpenuhi, seperti kestabilan ekonomi dan politik yang menjadi
benchmarking sebuanh kebangkitan.
Peranan NU dan Muhammadiyah
sebagai dua organisasi arus utama penting dalam menyokong kebangkitan Islam di
Indonesia. Pada tahun 2014 diperkirakan 42 persen dari penduduk Muslim Indonesia
berafiliasi dengan NU dan 12 persen berafiliasi dengan Muhammadiyah. Jumlah
tersebut sekaligus menjadikan kedua organisasi arus utama tersebut menjadi
organisasi Islam terbesar di dunia saat ini (Martin van Bruinessen, 2014: 50).
Dengan masa yang sedemikian
banyak tersebut menjadikan NU dan Muhammadiya berperan sentral dalam
perkembangan Islam di Indonesia. Yang Nusantara dan yang Berkemajuan harus
dapat berjalan beriringan dalam memajukan umat. Kontestasi dalam memajukan umat
harus menjadi tradisi, yang pasti dengan menaggalkan perdebatan-perdebatan
normatif yang kontraproduktif.
Kebangkitan Islam tidak perlu
menunggu berdirinya sebuah Negara Islam, karena Menurut Syafi’i Ma’arif, untuk
Islam Indonesia yang plural negara Islam tidak lagi diperlukan, yang terpenting
moral Islam dapat menyinari masyarakat luas melalui perkawinan perangkat hukum
Islam dengan system hukum nasional melalui proses demokratisasi. (Kmaruddin
Hidayat, 2014).
Peranan kedua organisasi arus
utama tersebut pastinya tanpa mengensampingkan peranan oragnisasi Islam arus
utama lainnya yang juga senada dengan konsep “Islam Nusantara yang Bekemajuan”
seperti Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Persis, Mathla’ul Anwar dan beberapa
organisasi Islam lainnya yang juga telah bersumbangsih dalam proses pendewasaan
dan memajukan umat Islam di Indonesia.
Benar apa yang dikatakan Azra
bahwa prematur untuk mengatakan Islam Indonesia bangkit. Masih banyak pekerjaan
rumah yang harus diselesaikan umat Islam untuk membangun Indonesia. Perhatian
terhadap perkembangan dunia pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik menjadi
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ketimbang harus berdebat pada persoalan
normatif yang malah tidak berujung dan kontraproduktif.
Wallahu’alam Bishawwab