Belajar dari Sejarah Kamboja
Tentara Khmer Merah saat memasuki ibukota Phnom Penh sesaat setelah menggulingkan Rezim Lon Nol
Sumber gambar: http://www.museumsyndicate.com/item.php?item=73963
Sebagian dari kita mungkin pernah
menyaksikan film Killing Fields karya David Puttnam yang menceritakan mengenai
kondisi Kamboja saat dipimpin oleh Rezim Komunis. Kita dapat menyaksikan tumpukan tengkorak di lubang-lubang pembantaian, jerit manusia yang sedang meregang nyawa, peluh keringat manusia yang tersiksa, dan tangis anak yang menggema. Begitulah gambaran mengenai kondisi Kamboja saat diperintah oleh Khmer Merah. Meski hanya seketika, namun kondisi tersebut bak petaka. Bahkan Haing Ngor dalam novelnya menyebut kondisi tersebut sebagai "neraka Kamboja".
Pada hari ini tepat
memperingati 41 tahun Kamboja di bawah rezim Komunis. Kamboja pernah mengalami
sejarah kelam ketika negera tersebut dipimpin oleh Khmer Merah di bawah Pol
Pot. Meskipun kepemimpinan Khmer Merah
terbilang singkat, yakni hanya 4 tahun (1975-1979) namun masa-masa tersebut
telah meninggalkan luka yang cukup mendalam bagi masyarakat Kamboja khususnya.
Khmer Merah adalah sebutan untuk
organisasi politik berhaluan komunis radikal. Sedangkan partainya lebih dikenal
dengan nama Communist Party of Kampuchea (CPK).
CPK berhasil merebut Kamboja dari tangan Lon Nol dengan serangkaian
pemberontakan yang panjang. Akhirnya
pada 17 April 1975 CPK mengambilalih pemerintahan. Sejak saat itulah sejarah
kelam Kamboja dimulai.
Awalnya rezim Khmer Merah
disambut baik oleh sebagian masyarakat Kamboja karena program-programnya yang
pro-rakyat. Namun harapan dan angan-angan manis masayarakat Kamboja dengan
cepat menjadi petaka dan neraka. Rezim Khmer Merah sering kali bertindak
semena-menan demi memuluskan cita-citanya dan menyebarluaskan ideologinya. Bahkan
tak segan mereka melakukan pembunuhan bagi siapa saja yang bersebrangan
pemahaman dengan mereka.
Pada masa awal berkuasa di
Kamboja, mula-mula Khmer Merah menerapkan kebijakan memutuskan komunikasi
dengan dunia internasional. Seketika Kamboja menjadi negara yang penuh dengan
rahasia. Karena persoalan-persoalan dalam negeri tidak bisa diakses. Wartawan
manca negarapun tidak diperkenankan untuk meliput di dalam wilayah Kamboja.
Selanjutnya Rezim Khmer Merah
mengevakuasi masyarakat dan dipindahkan ke pedesaan. Alasannya adalah untuk
menghindari serangan Amerika, walaupun motif sebenarnya adalah untuk menjadikan
masyarakat kota sebagai petani di pedesaan. Mereka semua yang dievakuasi selama
masa Khmer Merah tidak dapat pulang ke rumahnya.
Mereka dipaksa untuk bekerja di
ladang dan sawah-sawah serta membuka lahan pertanian baru. Hal ini membuat
masyarakat semakin tersiksa. Di samping pekerjaannya yang diluar batas
kemempuan, pasokan makan juga tidak diperhatikan. Pada akhirnya banyak dari
mereka yang mati kelaparan dan dibunuh karena berusaha melarikan diri.
Nampaknya keinginan rezim Khmer Merah untuk menjadikan Kamboja sebagai negri
agraris cenderung dipaksakan, sehingga rakyat yang menjadi korban. Menurut
laporan Mc Govern pada tahun 1976 saja sudah sekitar 2,5 juta rakyat Kamboja
yang mati kelaparan dan dibunuh dalam kamp konsentrasi S-21 (Tuol Sleng).
Selain itu Rezim Khmer Merah juga
melakukan kebijakan penghapusan etnis dan agama serta melakukan Khmersisasi.
Rezim Khmer Merah menginginkan etnis Khmer sebagai etnis resmi masyarakat
Kamboja. Maka dari itu, etnis-etnis lain seperti Cam, Lao, China, dan Melayu
mengami diskriminasi dan keberadaannya tidak diakui. Bahkan tak jarang mereka
yang tidak mau menanggalkan identitas etnisnya dideportasi dan lebhi parah lagi
dibunuh.
Khmer Merah juga menolak
keberadaan agama. Meraka ingin menjadikan negara Kamboja sebagai negara Komunis
yang bersih dari agama. Agama-agama yang telah berkembang di Kamboja seperti
Buddha, Islam, dan Kristen dihapuskan. Bahkan diskriminasi banyak dialami oleh
umat Islam Kamboja. Karena mereka dituduh sebagai kaum reaksioner. Tempat
ibadah meraka dihancurkan, kitab suci mereka dibakar, dan para tokoh agama
diburu dan dibunuh.
Selain itu Rezim Khmer Merah juga
menerapkan kebijakan nasionalisasi Bank. Sehingga tidak ada Bank Swasta yang
beroprasi. Rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan penghapusan uang. Mereka
menganggap bahwa uanglah yang membawa kesengsaraan dan menimbulkan stratifikasi
sosial di dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi, Rezim Khmer
Merah melakukan perburuan kepada para ilmuan, doctor, dan ahli bahasa asing.
Kebanyakan dari mereka yang ditangkap kemudian dibunuh. Karena keberadaan
mereka dianggap sebagai ancaman dan dapat membocorkan kondisi negara. Sebagai
symbol kesetaraan masyarakat dipaksa untuk mengenakan baju berwarna hitam.
Pada masa Khmer Merah, melihat
anak-anak memegang senjata adalah hal yang lumrah. Khmer Merah mempercayakan
para anak-anak dan pemuda untuk mengisi pos-pos strategis. Meraka beranggapan
bahwa para pemuda masih jernih untuk mereka doktrin, ketimbang kaum tua yang
mereka anggap pemikirannya telah terkontaminasi.
Empat tahun laksana neraka,
itulah yang dirasakan oleh masyarakat Kamboja. Pada akhir tahun 1978
pemerintahan Khmer Merah mulai goyah. Hal ini disebabkan karena permasalahan
yang terjadi di internal elit. Selain itu target dari program yang diterapkan
oleh pmerintah; seperti target pencapaian hasil panen beras 3 ton per hektar
tidak tercapai. Banyak rakyat yang mati kelaparan dan riak-riak pemberontakan
mulai bermunculan. Terlebih lagi, terjadi perang saudara antara Komunis Kamboja dan
Komunis Vietnam. Hal tersebut membuat pemerintahan semakin goyah dan diambang
kehancuran. Akhirnya pada 7 Januari 1979 Rezim Khmer Merah tumbang. Para
pemimpinnya melarikan diri ke Thailand.
Masa Khmer Merah menjadi masa
terkelam dalam sejarah Kamboja. Dari sekitar tujuh juta rakyat Kamboja, hampir
setengahnya mati karena kelaparan, kelelahan saat bekerja, dan dibunuh. Ribuan
etnis non Khmer dideportasi keluar Kamboja. Banyak juga dari mereka yang
menjadi manusia perahu dan mencari dunia ketiga.
Sejarah memang tidak lebih dari
sekedar masa lalu. Namun esensi dari nilai sejarah tersebut penting untuk terus
dihidupkan guna pembelajaran bagi manusia masa kini dan masa depan.
Begitupun dengan “tragedi kelam” yang dialami oleh masyarakat Kamboja.
Memaparkan sejarah kelam Kamboja bukan saja dalam rangka membuka luka dan
mencari siapa yang salah. Karena menjustifikasi siapa yang salah bukanlah tugas
sejarah. Dari sejarah masa lalu yang kita anggap sebagai sejarah kelampun dapat
kita ambil pelajaran.
Ideologi yang dipaksakan,
ketiadaan kebebasan berpendapat, ketertutupan pemerintahan, dan tidak
dijunjungnya nilai demokrasi telah memporakporandakan Kamboja. Bukan saja aspek
ekonomi, namun politik, sosial, dan psikologi masyarakat. Maka dari itu,
penting nampaknya bagi kita untuk mengambil ibrah atau pelajaran dari “tragedy
kelam” tersebut. Agar peristiwa serupa tidak terjadi di Bumi Pertiwi yang kita
cintai khsusnya, dan umumnya di seluruh belahan dunia.
Wallahu’alam Bishawwab.
Wallahu’alam Bishawwab.
Penulis:
Dirga Fawakih, S.Hum.
Alumni Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam Konsentrasi Asia Tenggara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penulis saat ini bekerja sebagai
staf di Direktorat Sejarah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kontak: 08970086773