Belajar dari Sejarah Kamboja


Belajar dari Sejarah Kamboja


Tentara Khmer Merah saat memasuki ibukota Phnom Penh sesaat setelah menggulingkan Rezim Lon Nol

Sebagian dari kita mungkin pernah menyaksikan film Killing Fields karya David Puttnam yang menceritakan mengenai kondisi Kamboja saat dipimpin oleh Rezim Komunis. Kita dapat menyaksikan tumpukan tengkorak di lubang-lubang pembantaian, jerit manusia yang sedang meregang nyawa, peluh keringat manusia yang tersiksa, dan tangis anak yang menggema. Begitulah gambaran mengenai kondisi Kamboja saat diperintah oleh Khmer Merah. Meski hanya seketika, namun kondisi tersebut bak petaka. Bahkan Haing Ngor dalam novelnya menyebut kondisi tersebut sebagai "neraka Kamboja".

Pada hari ini tepat memperingati 41 tahun Kamboja di bawah rezim Komunis. Kamboja pernah mengalami sejarah kelam ketika negera tersebut dipimpin oleh Khmer Merah di bawah Pol Pot.  Meskipun kepemimpinan Khmer Merah terbilang singkat, yakni hanya 4 tahun (1975-1979) namun masa-masa tersebut telah meninggalkan luka yang cukup mendalam bagi masyarakat Kamboja khususnya.

Khmer Merah adalah sebutan untuk organisasi politik berhaluan komunis radikal. Sedangkan partainya lebih dikenal dengan nama Communist Party of Kampuchea (CPK).  CPK berhasil merebut Kamboja dari tangan Lon Nol dengan serangkaian pemberontakan yang panjang.  Akhirnya pada 17 April 1975 CPK mengambilalih pemerintahan. Sejak saat itulah sejarah kelam Kamboja dimulai.

Awalnya rezim Khmer Merah disambut baik oleh sebagian masyarakat Kamboja karena program-programnya yang pro-rakyat. Namun harapan dan angan-angan manis masayarakat Kamboja dengan cepat menjadi petaka dan neraka. Rezim Khmer Merah sering kali bertindak semena-menan demi memuluskan cita-citanya dan menyebarluaskan ideologinya. Bahkan tak segan mereka melakukan pembunuhan bagi siapa saja yang bersebrangan pemahaman dengan mereka.

Pada masa awal berkuasa di Kamboja, mula-mula Khmer Merah menerapkan kebijakan memutuskan komunikasi dengan dunia internasional. Seketika Kamboja menjadi negara yang penuh dengan rahasia. Karena persoalan-persoalan dalam negeri tidak bisa diakses. Wartawan manca negarapun tidak diperkenankan untuk meliput di dalam wilayah Kamboja.

Selanjutnya Rezim Khmer Merah mengevakuasi masyarakat dan dipindahkan ke pedesaan. Alasannya adalah untuk menghindari serangan Amerika, walaupun motif sebenarnya adalah untuk menjadikan masyarakat kota sebagai petani di pedesaan. Mereka semua yang dievakuasi selama masa Khmer Merah tidak dapat pulang ke rumahnya.

Mereka dipaksa untuk bekerja di ladang dan sawah-sawah serta membuka lahan pertanian baru. Hal ini membuat masyarakat semakin tersiksa. Di samping pekerjaannya yang diluar batas kemempuan, pasokan makan juga tidak diperhatikan. Pada akhirnya banyak dari mereka yang mati kelaparan dan dibunuh karena berusaha melarikan diri. Nampaknya keinginan rezim Khmer Merah untuk menjadikan Kamboja sebagai negri agraris cenderung dipaksakan, sehingga rakyat yang menjadi korban. Menurut laporan Mc Govern pada tahun 1976 saja sudah sekitar 2,5 juta rakyat Kamboja yang mati kelaparan dan dibunuh dalam kamp konsentrasi S-21 (Tuol Sleng).

Selain itu Rezim Khmer Merah juga melakukan kebijakan penghapusan etnis dan agama serta melakukan Khmersisasi. Rezim Khmer Merah menginginkan etnis Khmer sebagai etnis resmi masyarakat Kamboja. Maka dari itu, etnis-etnis lain seperti Cam, Lao, China, dan Melayu mengami diskriminasi dan keberadaannya tidak diakui. Bahkan tak jarang mereka yang tidak mau menanggalkan identitas etnisnya dideportasi dan lebhi parah lagi dibunuh.

Khmer Merah juga menolak keberadaan agama. Meraka ingin menjadikan negara Kamboja sebagai negara Komunis yang bersih dari agama. Agama-agama yang telah berkembang di Kamboja seperti Buddha, Islam, dan Kristen dihapuskan. Bahkan diskriminasi banyak dialami oleh umat Islam Kamboja. Karena mereka dituduh sebagai kaum reaksioner. Tempat ibadah meraka dihancurkan, kitab suci mereka dibakar, dan para tokoh agama diburu dan dibunuh.

Selain itu Rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan nasionalisasi Bank. Sehingga tidak ada Bank Swasta yang beroprasi. Rezim Khmer Merah juga menerapkan kebijakan penghapusan uang. Mereka menganggap bahwa uanglah yang membawa kesengsaraan dan menimbulkan stratifikasi sosial di dalam masyarakat.

Lebih jauh lagi, Rezim Khmer Merah melakukan perburuan kepada para ilmuan, doctor, dan ahli bahasa asing. Kebanyakan dari mereka yang ditangkap kemudian dibunuh. Karena keberadaan mereka dianggap sebagai ancaman dan dapat membocorkan kondisi negara. Sebagai symbol kesetaraan masyarakat dipaksa untuk mengenakan baju berwarna hitam.

Pada masa Khmer Merah, melihat anak-anak memegang senjata adalah hal yang lumrah. Khmer Merah mempercayakan para anak-anak dan pemuda untuk mengisi pos-pos strategis. Meraka beranggapan bahwa para pemuda masih jernih untuk mereka doktrin, ketimbang kaum tua yang mereka anggap pemikirannya telah terkontaminasi.

Empat tahun laksana neraka, itulah yang dirasakan oleh masyarakat Kamboja. Pada akhir tahun 1978 pemerintahan Khmer Merah mulai goyah. Hal ini disebabkan karena permasalahan yang terjadi di internal elit. Selain itu target dari program yang diterapkan oleh pmerintah; seperti target pencapaian hasil panen beras 3 ton per hektar tidak tercapai. Banyak rakyat yang mati kelaparan dan riak-riak pemberontakan mulai bermunculan. Terlebih lagi, terjadi perang saudara antara Komunis Kamboja dan Komunis Vietnam. Hal tersebut membuat pemerintahan semakin goyah dan diambang kehancuran. Akhirnya pada 7 Januari 1979 Rezim Khmer Merah tumbang. Para pemimpinnya melarikan diri ke Thailand.

Masa Khmer Merah menjadi masa terkelam dalam sejarah Kamboja. Dari sekitar tujuh juta rakyat Kamboja, hampir setengahnya mati karena kelaparan, kelelahan saat bekerja, dan dibunuh. Ribuan etnis non Khmer dideportasi keluar Kamboja. Banyak juga dari mereka yang menjadi manusia perahu dan mencari dunia ketiga.

Sejarah memang tidak lebih dari sekedar masa lalu. Namun esensi dari nilai sejarah tersebut penting untuk terus dihidupkan guna pembelajaran bagi manusia masa kini dan masa depan. Begitupun dengan “tragedi kelam” yang dialami oleh masyarakat Kamboja. Memaparkan sejarah kelam Kamboja bukan saja dalam rangka membuka luka dan mencari siapa yang salah. Karena menjustifikasi siapa yang salah bukanlah tugas sejarah. Dari sejarah masa lalu yang kita anggap sebagai sejarah kelampun dapat kita ambil pelajaran.
Ideologi yang dipaksakan, ketiadaan kebebasan berpendapat, ketertutupan pemerintahan, dan tidak dijunjungnya nilai demokrasi telah memporakporandakan Kamboja. Bukan saja aspek ekonomi, namun politik, sosial, dan psikologi masyarakat. Maka dari itu, penting nampaknya bagi kita untuk mengambil ibrah atau pelajaran dari “tragedy kelam” tersebut. Agar peristiwa serupa tidak terjadi di Bumi Pertiwi yang kita cintai khsusnya, dan umumnya di seluruh belahan dunia.

Wallahu’alam Bishawwab.

Penulis:
Dirga Fawakih, S.Hum.
Alumni Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Konsentrasi Asia Tenggara, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penulis saat ini bekerja sebagai staf di Direktorat Sejarah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kontak: 08970086773