Kesimpulan Diskusi
Oleh: Dirga Fawakih
Hari/Tanggal : Jumat, 11 Maret
2016
Tempat : Basement FISIP UIN Jakarta
Tema : Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Kritik dan Saran
Di tengah dingin
dan sejuknya sepoy angin malam, diskusi bersama tiga sejarawan muda
berlangsung. Kesibukan yang mengikat tidak menjadi penghalang untuk bersama
mencurahkan pemikiran guna mengasah kecerdasan. Tema diskusi yang saya bahas pada
Jumat, 11 Maret 2016 adalah “Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Kritik dan Saran”
Masalah yang saya
ajukan dalam diskusi adalah terpinggirkannya mata pelajaran sejarah di sekolah
yang kemudian berdampak pada kurangnya minat siswa terhadap pelajaran sejarah.
Selain itu esensi dari nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam sejarah tidak
tersampaikan dengan baik. Sehingga pelajaran sejarah dianggap hanya sebagai
mata pelejaran yang sepintas lalu, pelengkap kurikulum, dan pemain belakang
yang tidak menjanjikan masa depan. Pertanyaan besar yang muncul adalah apa yang
membuat mata pelajaran sejarah di sekolah terpinggirkan dan kurang mendapatkan
perhatian.
Saya melihat ada
tiga aspek yang sangat berpengaruh terhadap efektifitas pembelajaran sejarah di
sekolah. Tiga aspek tersebut adalah guru, buku pendamiping, dan metode pengajaran.
Gurukah yang paling bersalah?
Guru memainkan
peran yang sangat sentral dalam proses transfer ilmu kepada siswa. Tidak hanya
pada mata pelajaran sejarah, namun berlaku untuk semua mata pelajaran di
sekolah. Pada kenyataannya banyak guru sejarah yang memang tidak memiliki basic keilmuan sejarah, baik analis
maupun pendidik. Hal ini yang menurut saya menjadi salah satu penyebab mengapa
esensi dari pelajaran sejarah tidak tersampaikan dengan baik. Meskipun tidak
memungkiri bahwa guru yang berasal dari jurusan sejarah dapat memberikan
penjelasan sejarah yang lebih baik. Senada dengan yang dikemukakan Saudari Indi
Nisauf bahwa yang terpenting adalah guru yang memiliki kreatifitas dalam
mengajar dan mengemas mata pelajaran sejarah itu. Sehingga apapun yang
disampaikan akan membuat siswa tertarik.
Pada akhirnya,
selain guru harus memiliki basic
keilmuan sejarah dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah pengajaran sejarah, guru
juga dituntut untuk memiliki jiwa pendidik dan kreatif. Maka dari itu penting
nampaknya untuk memberikan pelatihan pengajaran sejarah kepada para guru-guru
sejarah di sekolah, tukas Hana Hanifah. Agar visi dari pelajaran sejarah yang
sesungguhnya dapat tersampikan dengan baik.
Ketiadaan buku pendamping membuat pelajaran sejarah
kering
Seperti yang saya
kemukakan dalam artikel saya, bahwa pegangan utama dalam pembelajaran sejarah
di sekolah hanya LKS dan buku paket yang informasi kesejarahanya sangat
terbatas. Hal itu menyebabkan pembelajaran sejarah terasa sempit dan kering.
Memang bukan siswa yang dituntut untuk memahami begitu banyak bahan bacaan
sejarah. Karena biasanya minat membaca siswa terhadap buku-buku sejarah ilmiah
masih sangat lemah di tingkat sekolah. Memberikan bahan bacaan yang menumpuk
juga langkah yang tidak tepat. Maka dari itu gurulah yang berperan aktif dalam
memberikan penyampaian informasi tambahan di luar buku paket dan LKS tersebut. Guru
ditunutt untuk memiliki etso baca yang kuat dan tidak hanya mengandalkan
buku-buku yang disediakan sekolah. Selain itu, pemerintah, dalam hal ini
Direktorat Sejarah, Kemendikbud juga turut aktif dalam memfasilitasi
ketetersediaan buku ajar yang mumpuni.
Hal ini juga berfungsi untuk mengurangi “kekikukan” dalam penyampaian materi
sejarah yang selama ini dialami oleh guru dan murid seperti yang diceritakan
Saudari Hana Hanifah.
Sejarah Kontekstual, Sejarah dan Karifan Lokal : Resolusi
Firman Faturohman
Dalam artikel yang
telah saya post sebelumnya, saya mengatakan bahwa metode pengajaran sejarah
menjadi permasalahan yang juga masih menghinggapi pembelajaran sejarah di
sekolah. Saya juga menyarankan agar pengajaran sejarah harus disesuikan dengan
kaidah yang dikemukakan oleh Dr. Kuntowijoyo, yakni estetis di tingkat SD, etis
di tingkat SMP, kritis di tingkat SMA dan akademis di tingkat universitas.
Dengan mengikuti kaidah-kaidah pengajaran tersebut, hemat penulis pembelajaran
sejarah akan selaras dengan tingkat kemampuan siswa dan kebutuhan siswa.
Kompilasi metode
pengajaran juga perlu dilakukan. Pengajaran sejarah ada baiknya tidak hanya
dilakukan di dalam kelas dengan metode ceramah atau diskusi. Namun bisa dengan
drama sejarah, berkunjung ke museum, menonton film dokumenter, dan sebagainya.
Pengajaran sejarah
juga penting untuk dikontekstualisasikan dengan masalah-masalah yang berkembang
kekinian, tukas Saudara Firman Faturohman. Dengan mengambil contoh masa lalu
kita dapat memberikan analisa terhadap masalah-masalah kekinian. Meskipun sebenarnya
peristiwa sejarah telah ajeg dan berakhir, namun esensi dalam setiap peristiwa
sejarah dapat terus hidup dan menginspirasi guna menyongsong masa depan.
Bersentuhan
langsung dengan situs sejarah yang menjadi kerifan lokal juga penting
dilakukan. Sejarah tidak melulu mengkaji peristiwa besar yang tercatat dalam
buku, Tapi kita dapat memulainya dengan mengkaji silsilah keluarga seperti yang
pernah dilakukan Saudara Firman. Sejarah yang dekat dengan emosional si
pembacanya akan mudah dan terus diingat.
Ketimbang menghafal fakta, tahun, dan pristiwa besar yang setelah itu
hanya menjadi formalitas untuk menjawab soal dan kemudian hilang semua ingatan
tersebut.
Pada akhirnya
memang perlu dicermati kembali berbagai aspek yang berpengaruh terhadap
pengajaran sejarah di sekolah. Perlu adanya sinergi yang berkesinambungan antara
guru, pemerintah, dan organisasi profesi sejarawan. Untuk bersama merumuskan penyakit
yang sudah menaun ini. Menjadi sebuah kewajiban bagi kita sejarawan muda untuk
setidaknya merenungkan dan memikirikan, kalau toh tidak sampai merumuskan.
Namun yang pasti, semua ini penting dilakukan guna mengangkat marwah pelajaran
sejarah yang sudah lama tertutup debu dan kian usang.