Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Kritik dan Saran


Pembelajaran Sejarah di Sekolah: Kritik dan Saran

Sumber gambar  :mgmpsejarahma.wordpress.com

Dengan mempelajari sejarah dapat meningkatkan wawasan kebangsaan dan menambah kecintaan terhadap tanah air. Maka dari itu, di Indonesia sejarah diajarkan di setiap jenjang pendidikan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Peranan pelajaran sejarah di sekolah sangat strategis. Sejarah dapat menjadi sarana pendidikan intelektual, pendidikan moral bangsa dan pendidikan kewarganegaraan. Dalam proses pembelajaran, sejarah seyogyanya bukan hanya sekedar menghafal fakta-fakta dan tahun-tahun. Namun lebih dari itu, sejarah seharusnya dapat membimbing dan memotivasi siswa untuk mengambil pelajaran yang terkandung di dalam setiap peristiwa sejarah.

Untuk memaksimalkan fungsi strategis pendidikan sejarah tersebut, pengelolaan dan proses penyampaian pembelajaran sejarah haruslah dilakukan dengan baik. Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang dapat membuat siswa cinta terhadap sejarah. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah dapat diserap dengan baik oleh siswa.  Karena sejarah merupakan sumber inspirasi dan aspirasi untuk masa kini dalam menghadapi masa depan.

Pelajaran sejarah tidak pernah absen dalam “menghiasi” kurikulum pendidikan di Indonesia. Telah sejak lama pelajaran sejarah menjadi bagian yang tidak terpisahkan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pelajaran sejarah digadang-gadang menjadi pelajaran yang dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa. Sejarah mengajarkan kita untuk dapat mengambil ibrah dari nilai-nilai kearifan yang tersirat dalam peristiwa masa lalu. Menurut Prof. Taufik Abdullah, dengan mempelajari sejarah orang dapat menghindari kegagalan dan kesalahan di masa lalu yang sebelumnya pernah dilakukan serta menemukan visi baru untuk merumuskan visi masa depan.

Mata pelajaran sejarah dalam tingkat sekolah dasar dan menengah pertama biasanya tergabung dalam mata pelajaran IPS. Kecuali di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang terdapat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang beridiri sendiri. Di Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah mata pelejaran sejarah berdiri sendiri dengan porsi 2 sampai 4 jam dalam seminggu. Bahkan di Madrasah Aliyah terdapat tambahan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang jumlah jamnya perminggu bisa mencapai 2 sampai 4 jam.

Penyertaan pembelajaran sejarah dalam semua tingkat pendidikan di Indonesia cukup membuktikan bahwa sejarah itu penting. Namun hingga kini pelajaran sejarah menjadi pelajaran yang seakan “termarginalkan”. Jelas saja, minat siswa terhadap pelajaran sejarah rendah. Banyak siswa yang acuh dengan pelajaran sejarah dan dianggap hanya sepintas lalu. Pelajaran sejarah tidak ubahnya hanya dianggap sebagai “pelengkap” kurikulum belaka. Pelajaran sejarah yang digadang-gadang dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme dan patriotisme hanya menjadi pemain belakang yang keberadaannya dipandang sebelah mata. Hal tersebut menjadi ironi bagi pemebelajaran sejarah di sekolah.

Hal di ataslah yang menjadi permasalahan yang menyertai pelajaran sejarah di sekolah. Mengapa sejarah tidak banyak diminati, mengapa tujuan-tujuan dari pelajaran sejarah tidak tersampaikan dengan baik, mengapa siswa acuh terhadap pelajaran sejarah. Jarang sekali anak-anak yang bercita-cita menjadi sejarawan. Dokter, pilot, saintis, teknokrat, dan sebagainya menjadi cita-cita yang lebih menjajanjikan dibanding bercita-cita menjadi sejarawan. Memang mempelajari sejarah tidak melulu harus menjadi sejarawan, namun sepinya peminat jurusan sejarah menjadi bukti bahwa sejarah tidak menjanjikan masa depan.

Memang kita tidak bisa menitikberatkan kesalahan pada satu aspek. Hemat penulis semua komponen yang menyertai pelajaran sejarah di sekolah, baik guru, buku sumber, dan metode pengajaran berpengatuh terhadap pembelajaran sejarah. Selain itu tujuan sesungguhnya dari belajar sejarah yang selama ini nampaknya belum dipahami dengan baik. Dalam artikel ini penulis akan mencoba mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah di sekolah. Apa yang membuat pelajaran sejarah tidak begitu diminati, sehingga nilai-nilai kearifan masa lalu dalam sejarah tidak tersampaikan dengan baik. Namun pastinya penulis tidak berada dalam yang posisi yang paling baik dalam menjelaskan perkara ini.

Setidaknya ada tiga aspek penting yang berkontribusi dalam pembelajaran sejarah, Guru, buku pendamiping, dan metode pengajaran. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap pembelajaran sejarah yang baik disekolah.

Guru menjadi bagian penting dalam peroses pentranferan ilmu dalam proses belajar-mengajar, begitupun guru sejarah. Pada kenyataannya memang banyak guru sejarah yang tidak berasal dari jurusan sejarah. Hal inilah yang membuat pengajaran sejarah semakin ironi. Esensi nilai-nilai dalam pristiwa sejarah tidak tersampaikan dengan baik. Pengajaran berfokus pada penghahafalan fakta-fakta, tahun-tahun dan nama-nama. Karena kurangnya wawasan bacaan sang guru terhadap sumber-sumber sejarah. Sehingga peristiwa sejarah yang disampaikan terasa kering. Wajah-wajah jemu siswa menjadi pemandangan yang lumrah saat pelajaran sejara berlangsung.

 Kepala kita dipenuhi dengan berbagai hafalan-hafalan yang hanya menjadi formalitas untuk menjawab soal-soal yang hanya sepintas lalu demi mendapatkan nilai bagus. Sedangkan tujuan sesungguhnya dari mempejari sejarah adalah bagaimana kita dapat memahami peristiwa, mengambil hikmah dan ibrah dari masa lalu itu sendiri. Sehingga nilai-nilai yang kita ambil dari masa lalu dapat berimplikasi terhadap kehidupan sosial. Hanya itukah maksud dari pelajaran sejarah, sesederhana itukah. Jawabannya, iya. Namun kemudian muncul pertanyaan apakah bisa kita memahami esensi mempelajari sejarah yang sesederhana itu?. Kalau iya, mengapa jiwa nasionalisme dan patriotisme tidak tumbuh dalam diri kita, mengapa kita mengulangi sejarah kelam di masa silam, mengapa kita sulit menghargai jasa para pahlawan. Pertanyaan itu yang menjadi renungan kita bersama.

Untuk menyampaikan hal-hal itu memang diperlukan peranan guru yang memahami maksud dan tujuan dari mempelajari sejarah. Bukan guru sejarah yang asal “tembak”. Memang pada akhirnya semua kembali kepada sang guru sejarah. Tidak menjamin juga seorang sarjana sejarah akan dapat memberikan pengajaran sejarah yang baik. Bisa saja karena tidak punya jiwa pendidik. Atau mungkin masuk sejarah by accident. Sehingga tujuan dasar dari sejarah tidak terserap dengan baik karena sebenarnya tidak menyukai sejarah alias asal masuk jurusan. 

Jiwa pendidik seorang guru juga sangat berperan dalam proses pengajaran sejarah, di  samping pemahaman guru terhadap basic ilmu sejarah, maksud, dan tujuan sejarah. Maka dari itu opsi lain untuk meningkatkan kualitas pengajaran sejarah diperlukan pelatihan-pelatihan kesejarahan, terutama pelatihan pengajaran kesejarahan. Sehingga baik guru yang berlatar belakang pendidikan sejarah maupun tidak, memiliki view dan visi yang sama dalam mengajarkan sejarah. Hemat penulis pemerintah nampaknya juga harus memikirkan hal ini, khusunya Direktorat Sejarah, Kemendikbud. Bisa memfasilitasi pelatihan ini.

Yang kedua adalah buku sumber. Biasanya guru dan siswa hanya memiliki dua buku sumber, yakni, buku paket dan buku lembar kerja. Dua buku itulah yang menjadi pegangan inti dari pembelajaran sejarah di sekolah. Atau biasanya guru dan murid mengandalkan mesin pencarian seperti Google dan Yahoo yang ternyata lebih sederahan dan mudah. Buku paket dan LKS hanya memuat sebagian kecil dari peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu. Bahkan terkadang disajikan tidak beribang. Pun artikel-artikel di dalam blog yang sebenarnya kebanyakan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu, penting nampaknya ketersedian buku-buku pendamping pengajaran sekolah. 

Pemerintah bisa saja memfasilitasi ketersedian buku ini. Namun guru yang baik akan berinisiatif untuk mencari bahan pengajaran atau literatur-literatur tambahan penunjang buku paket agar bahan ajar sejarah tidak monotone. Dan informasi kesejarahan yang didapatkan lebih variatif. Sehingga guru dapat memberikan ilustrasi yang lebih luas terhadap peristiwa sejarah. Yang pasti dengan tidak menjejali bahan bacaan yang segudang kepada siswa. Karena minat baca siswa terhadap buku-buku sejarah ilmiah belyum muncul pada saat masa sekolah. Maka dari itu, penting bagi guru untuk memahami sumber yang lebih variatif untuk kemudian menyampaikannya kepada siswa dengan pemahaman yang lebih sederhana dan namun luas makna.

Yang ketiga adalah masalah metode pengajaran. Metode pengajaran sejarah biasanya dilakukan dengan cara pedagodis atau ceramah. Atau metode lain seperti diskusi pasif. Tidak jarang guru yang panjang lebar menjelaskan akan ditinggal tidur oleh siswa, atau main handpone untuk sekedar update status dan chatting. Hal ini jelas membosankan. Diskusi yang digadang-gadang akan menghidupkan suasana pelajaran juga ternyata hanya menimbulkan kebingunangn dan jawaban yang tidak karuan yang dikeluarkan oleh siswa. Ditmbah jika sang guru tidak mampu memberikan penengahan.

Penulis pikir penting untuk mengikuti arahan Prof. Kuntowijoyo terlebih dahulu terkait esensi dari pelejaran sejarah di setiap jenjang pendidikan. Pada jenjang sekolah dasar pengajaran sejarah harus bersifat estetis, yakni lebih berfokus pada memberikan gambaran keindahan, keunikan, kemegahan, kebesaran masa lalu. Tahap ini juga penting untuk menstimuls imajinasi siswa terhadap peristiwa masa lalu. Pada jenjang sekolah menengah pertama pelajaran sejarah bersifat etis, hal-hal yang menyangkut kebaikan, keburukan, kepantasan, kepatutan, kebaikan, kejahatan dan kepahlawanan, harus disampaikan dalam jenjang ini agar siswa dapat memngambil ibrah dari kejadian-kejadian masa lalu untuk kemudian diaplikasikan dalam aktivitas sehari-hari.

Dalam jenjang sekolah menengah atas pelajaran sejarah bersifat kritis. Siswa diajak untuk mengimajinasikan masa lalu, memikirkan masa lalu, merenungkan masa lalu, untuk kemudian merumuskan visi masa depan. Siswa diajak untuk berfikir kritis mengapa peristiwa bisa terjadi, apa penyebabnya, dan bagimana dampaknya. Dan di jenjang univeritas pelajaran sejarah bersifat akademis. Poin yang terakhir ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dalam arikel ini. Namun setidaknya empat tingkatan dalam memahami esensi sejarah harus dipahami lebih dahulu untuk kemudian merumusakan metode yang tepat.

Selain memahami pola pengajaran sejarah penting untuk mengemas pelajaran sejarah semenarik mungkin. Pembelajarah tidak melulu harus di dalam kelas memberikan ceramah atau diskusi pasif. Bisa saja pelajaran sejarah dikemas dengan drama peran, berkunjung ke museum atau situs bersejarah, menonton film dokumenter sejarah, dan sebagainya. Memang tidak ada metode yang sebaik-baiknya, setiap metode memiliki kekurangan. Namun tidak ada salahnya untuk mengkompilasikan metode-metode yang ada. Kasus ini memang tidak hanya dalam pembelajaran sejarah hampir di semua mata pelajaran. Namun khusus pembelajaran sejarah metode-metode baru harus terus dirumuskan, disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun dengan tidak mengurangi esensi dari nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah itu sendiri.

Yang paling penting untuk bersama kita renungkan adalah, bagaimana agar esensi atau nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa sejarah dapat tersampaikan dengan baik. Sehingga dapat berimplikasi terhadap tumbuhkembangnya jiwa nasionalisme, patriotsme, sosialisme, dan filantropisme dalam setiap individu yang mempelajarnya. Winston Chuchill mengatakan, “satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita kita benar-benar belajar darinya”. Tidak penting apakah nanti mereka yang suka sejarah akan masuk jurusan sejarah pada jenjang kuliah,  namun yang terpenting adalah bagaimana ibrah dan hikmah masa lalu dapat kita ambil pelajarannya. Dengan mempelajari masa lalu kita dapat menyiapkan masa kini guna menyambut masa depan.

Wallahu’alam Bishawwab