Dengan mempelajari sejarah dapat meningkatkan wawasan kebangsaan dan
menambah kecintaan terhadap tanah air. Maka dari
itu, di Indonesia sejarah diajarkan di setiap jenjang pendidikan, dari
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Peranan pelajaran sejarah di sekolah
sangat strategis. Sejarah dapat menjadi sarana pendidikan intelektual,
pendidikan moral bangsa dan pendidikan kewarganegaraan. Dalam proses
pembelajaran, sejarah seyogyanya bukan hanya sekedar menghafal fakta-fakta dan
tahun-tahun. Namun lebih dari itu, sejarah seharusnya dapat membimbing dan
memotivasi siswa untuk mengambil pelajaran yang terkandung di dalam setiap
peristiwa sejarah.
Untuk memaksimalkan fungsi strategis pendidikan sejarah tersebut,
pengelolaan dan proses penyampaian pembelajaran sejarah haruslah dilakukan
dengan baik. Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang dapat
membuat siswa cinta terhadap sejarah. Sehingga nilai-nilai yang terkandung
dalam peristiwa sejarah dapat diserap dengan baik oleh siswa. Karena sejarah merupakan sumber inspirasi dan
aspirasi untuk masa kini dalam menghadapi masa depan.
Pelajaran
sejarah tidak pernah absen dalam “menghiasi” kurikulum pendidikan di Indonesia.
Telah sejak lama pelajaran sejarah menjadi bagian yang tidak terpisahkan kurikulum pendidikan di Indonesia. Pelajaran sejarah
digadang-gadang menjadi pelajaran yang dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme dan
kecintaan terhadap bangsa. Sejarah mengajarkan kita untuk dapat mengambil ibrah
dari nilai-nilai kearifan yang tersirat dalam peristiwa masa lalu. Menurut
Prof. Taufik Abdullah, dengan mempelajari sejarah orang dapat menghindari
kegagalan dan kesalahan di masa lalu yang sebelumnya pernah dilakukan serta
menemukan visi baru untuk merumuskan visi masa depan.
Mata
pelajaran sejarah dalam tingkat sekolah dasar dan menengah pertama biasanya
tergabung dalam mata pelajaran IPS. Kecuali di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah yang terdapat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang
beridiri sendiri. Di Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah mata pelejaran
sejarah berdiri sendiri dengan porsi 2 sampai 4 jam dalam seminggu. Bahkan di
Madrasah Aliyah terdapat tambahan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang
jumlah jamnya perminggu bisa mencapai 2 sampai 4 jam.
Penyertaan
pembelajaran sejarah dalam semua tingkat pendidikan di Indonesia cukup
membuktikan bahwa sejarah itu penting. Namun hingga kini pelajaran sejarah
menjadi pelajaran yang seakan “termarginalkan”. Jelas saja, minat siswa terhadap
pelajaran sejarah rendah. Banyak siswa yang acuh dengan pelajaran sejarah dan
dianggap hanya sepintas lalu. Pelajaran sejarah tidak ubahnya hanya dianggap
sebagai “pelengkap” kurikulum belaka. Pelajaran sejarah yang digadang-gadang
dapat menumbuhkan jiwa nasionalisme dan patriotisme hanya menjadi “pemain belakang” yang
keberadaannya dipandang sebelah mata. Hal tersebut
menjadi ironi bagi pemebelajaran sejarah di sekolah.
Hal di ataslah yang menjadi permasalahan yang menyertai pelajaran
sejarah di sekolah. Mengapa sejarah tidak banyak diminati, mengapa
tujuan-tujuan dari pelajaran sejarah tidak tersampaikan dengan baik, mengapa siswa acuh terhadap pelajaran sejarah. Jarang
sekali anak-anak yang bercita-cita menjadi sejarawan. Dokter, pilot, saintis,
teknokrat, dan sebagainya menjadi cita-cita yang lebih menjajanjikan dibanding
bercita-cita menjadi sejarawan. Memang mempelajari sejarah tidak melulu harus
menjadi sejarawan, namun sepinya peminat jurusan sejarah menjadi bukti bahwa
sejarah tidak menjanjikan masa depan.
Memang
kita tidak bisa menitikberatkan kesalahan pada satu aspek. Hemat penulis semua
komponen yang menyertai pelajaran sejarah di sekolah,
baik guru, buku sumber, dan metode pengajaran berpengatuh
terhadap pembelajaran sejarah. Selain itu tujuan sesungguhnya dari belajar
sejarah yang selama ini nampaknya belum dipahami dengan baik. Dalam artikel ini
penulis akan mencoba mendiskusikan mengenai pembelajaran sejarah di sekolah.
Apa yang membuat pelajaran sejarah tidak begitu diminati, sehingga nilai-nilai
kearifan masa lalu dalam sejarah tidak tersampaikan dengan baik. Namun pastinya
penulis tidak berada dalam yang posisi yang paling baik dalam menjelaskan
perkara ini.
Setidaknya
ada tiga aspek penting yang berkontribusi dalam pembelajaran sejarah, Guru, buku
pendamiping, dan metode pengajaran. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh
terhadap pembelajaran sejarah yang baik disekolah.
Guru
menjadi bagian penting dalam peroses pentranferan ilmu dalam proses
belajar-mengajar, begitupun guru sejarah. Pada kenyataannya memang banyak guru
sejarah yang tidak berasal dari jurusan sejarah. Hal inilah yang membuat
pengajaran sejarah semakin ironi. Esensi nilai-nilai dalam pristiwa sejarah
tidak tersampaikan dengan baik. Pengajaran berfokus pada penghahafalan
fakta-fakta, tahun-tahun dan nama-nama. Karena kurangnya wawasan bacaan sang
guru terhadap sumber-sumber sejarah. Sehingga peristiwa sejarah yang
disampaikan terasa kering. Wajah-wajah jemu siswa
menjadi pemandangan yang lumrah saat pelajaran sejara berlangsung.
Kepala kita dipenuhi dengan berbagai
hafalan-hafalan yang hanya menjadi formalitas untuk menjawab soal-soal yang
hanya sepintas lalu demi mendapatkan nilai bagus. Sedangkan tujuan sesungguhnya
dari mempejari sejarah adalah bagaimana kita dapat memahami peristiwa,
mengambil hikmah dan ibrah dari masa lalu itu sendiri. Sehingga nilai-nilai
yang kita ambil dari masa lalu dapat
berimplikasi terhadap kehidupan sosial. Hanya itukah maksud dari pelajaran
sejarah, sesederhana itukah. Jawabannya, iya. Namun kemudian muncul pertanyaan
apakah bisa kita memahami esensi mempelajari sejarah yang sesederhana itu?.
Kalau iya, mengapa jiwa nasionalisme dan patriotisme tidak tumbuh dalam diri
kita, mengapa kita mengulangi sejarah kelam di masa silam, mengapa kita sulit
menghargai jasa para pahlawan.
Pertanyaan itu yang menjadi renungan kita bersama.
Untuk
menyampaikan hal-hal itu memang diperlukan peranan guru yang memahami maksud
dan tujuan dari mempelajari sejarah. Bukan guru sejarah yang asal “tembak”.
Memang pada akhirnya semua kembali kepada sang guru sejarah. Tidak menjamin
juga seorang sarjana sejarah akan dapat memberikan pengajaran sejarah yang
baik. Bisa saja karena tidak punya jiwa pendidik. Atau mungkin masuk sejarah by accident. Sehingga tujuan dasar dari
sejarah tidak terserap dengan baik karena sebenarnya tidak menyukai sejarah
alias asal masuk jurusan.
Jiwa pendidik seorang guru juga sangat berperan dalam
proses pengajaran sejarah, di samping
pemahaman guru terhadap basic ilmu
sejarah, maksud, dan tujuan sejarah. Maka dari itu opsi lain untuk meningkatkan
kualitas pengajaran sejarah diperlukan pelatihan-pelatihan kesejarahan, terutama pelatihan pengajaran kesejarahan. Sehingga
baik guru yang berlatar belakang pendidikan sejarah maupun tidak, memiliki view dan visi
yang sama dalam mengajarkan sejarah. Hemat penulis pemerintah nampaknya juga
harus memikirkan hal ini, khusunya Direktorat Sejarah, Kemendikbud. Bisa memfasilitasi pelatihan ini.
Yang kedua
adalah buku sumber. Biasanya guru dan siswa hanya memiliki dua buku sumber, yakni,
buku paket dan buku lembar kerja. Dua buku itulah yang menjadi pegangan inti
dari pembelajaran sejarah di sekolah. Atau biasanya guru dan murid mengandalkan mesin pencarian
seperti Google dan Yahoo yang ternyata lebih sederahan dan mudah. Buku paket
dan LKS hanya memuat sebagian kecil dari peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu.
Bahkan terkadang disajikan tidak beribang. Pun artikel-artikel di dalam blog yang sebenarnya kebanyakan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari
itu, penting nampaknya ketersedian buku-buku pendamping pengajaran sekolah.
Pemerintah bisa saja memfasilitasi ketersedian buku ini. Namun guru yang baik
akan berinisiatif untuk mencari bahan pengajaran atau literatur-literatur
tambahan penunjang buku paket agar bahan ajar sejarah tidak monotone. Dan informasi kesejarahan yang
didapatkan lebih variatif. Sehingga guru dapat memberikan ilustrasi yang lebih
luas terhadap peristiwa sejarah. Yang pasti dengan tidak menjejali bahan bacaan
yang segudang kepada siswa. Karena minat baca
siswa terhadap buku-buku sejarah ilmiah belyum muncul pada saat masa sekolah.
Maka dari itu, penting bagi guru untuk memahami sumber yang lebih variatif
untuk kemudian menyampaikannya kepada siswa dengan pemahaman yang lebih
sederhana dan namun luas makna.
Yang
ketiga adalah masalah metode pengajaran. Metode pengajaran sejarah biasanya
dilakukan dengan cara pedagodis atau ceramah. Atau metode lain seperti diskusi pasif. Tidak jarang guru yang panjang lebar
menjelaskan akan ditinggal tidur oleh siswa, atau main handpone untuk sekedar update status dan chatting. Hal ini jelas
membosankan. Diskusi yang digadang-gadang akan menghidupkan suasana pelajaran
juga ternyata hanya menimbulkan kebingunangn dan jawaban yang tidak karuan yang
dikeluarkan oleh siswa. Ditmbah jika sang guru tidak mampu memberikan
penengahan.
Penulis
pikir penting untuk mengikuti arahan Prof. Kuntowijoyo terlebih dahulu terkait
esensi dari pelejaran sejarah di setiap jenjang pendidikan. Pada jenjang
sekolah dasar pengajaran sejarah harus bersifat estetis, yakni lebih berfokus
pada memberikan gambaran keindahan, keunikan, kemegahan, kebesaran masa lalu.
Tahap ini juga penting untuk menstimuls imajinasi siswa terhadap peristiwa masa
lalu. Pada jenjang sekolah menengah pertama pelajaran sejarah bersifat etis,
hal-hal yang menyangkut kebaikan, keburukan, kepantasan,
kepatutan, kebaikan, kejahatan dan kepahlawanan, harus disampaikan dalam
jenjang ini agar siswa dapat memngambil ibrah dari kejadian-kejadian masa lalu
untuk kemudian diaplikasikan dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam
jenjang sekolah menengah atas pelajaran sejarah bersifat kritis. Siswa diajak
untuk mengimajinasikan masa lalu, memikirkan masa lalu, merenungkan masa lalu,
untuk kemudian merumuskan visi masa depan. Siswa diajak untuk berfikir kritis
mengapa peristiwa bisa terjadi, apa penyebabnya,
dan bagimana dampaknya. Dan di jenjang univeritas pelajaran sejarah bersifat
akademis. Poin yang terakhir ini tidak akan dijelaskan lebih lanjut dalam
arikel ini. Namun setidaknya empat tingkatan dalam memahami esensi sejarah
harus dipahami lebih dahulu untuk kemudian merumusakan metode yang tepat.
Selain
memahami pola pengajaran sejarah penting untuk mengemas pelajaran sejarah
semenarik mungkin. Pembelajarah tidak melulu harus di dalam kelas memberikan
ceramah atau diskusi pasif. Bisa saja pelajaran sejarah dikemas dengan drama
peran, berkunjung ke museum atau situs bersejarah, menonton film dokumenter
sejarah, dan sebagainya. Memang tidak ada metode yang sebaik-baiknya, setiap
metode memiliki kekurangan. Namun tidak ada salahnya untuk mengkompilasikan
metode-metode yang ada. Kasus ini memang tidak hanya dalam pembelajaran sejarah
hampir di semua mata pelajaran. Namun khusus
pembelajaran sejarah metode-metode baru harus terus dirumuskan, disesuaikan
dengan perkembangan zaman, namun dengan tidak mengurangi esensi dari nilai yang
terkandung dalam peristiwa sejarah itu sendiri.
Yang paling penting untuk bersama kita renungkan adalah, bagaimana agar esensi atau nilai-nilai yang
terkandung dalam peristiwa sejarah dapat tersampaikan dengan baik. Sehingga
dapat berimplikasi terhadap tumbuhkembangnya jiwa nasionalisme, patriotsme,
sosialisme, dan filantropisme dalam setiap individu yang mempelajarnya. Winston
Chuchill mengatakan, “satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah
bahwa kita kita benar-benar belajar darinya”. Tidak penting apakah nanti mereka
yang suka sejarah akan masuk jurusan sejarah pada jenjang kuliah, namun
yang terpenting adalah bagaimana ibrah dan hikmah masa lalu dapat kita ambil
pelajarannya. Dengan mempelajari masa lalu kita dapat menyiapkan masa kini guna
menyambut masa depan.
Wallahu’alam Bishawwab