Sunni dan Syi’ah Lahir dari Rahim yang Sama
Isu pergulatan antara Sunni
(Ahlusunnah) dan Syiah hingga kini terus menjadi perbincangan hangat. Namun
sebenarnya siapakah Syiah dan Sunni, sejak kapan pergulatan mereka terjadi, dan
apa latar belakang historis pergulatan mereka.
Syiah dan Sunni merupakan dua
sekte aliran kalam dalam Islam yang hingga kini masih bertahan di samping
beberapa sekte lainnya seperti Khawarij, Muktazila, Murji’ah, Qadariyah, dan
Jabariyah.
Pada masa nabi memang Islam belum
mengenal istilah sekte kalam (aliran teologi). Semua umat Islam dapat
dipersatukan di bawah satu panji, yakni, Islam. Hal ini memang tidak terlepas
dari figur kenabian nabi Muhammad. Kala itu nabi Muhammad menjadi pemecah dari
berbagi permasalahan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hal
tersebutlah yang membuat pada masa nabi tidak pernah dirundung isu-isu
perpecahan.
Setelah masa nabi umat Islam
perlahan mulai dirundung berbagai perdebatan dan perselisihan. Hal ini tidak
aneh karena tempat mengadu kala itu telah tiada. Sehingga yang diandalkan kala
itu adalah ijtihad para sahabat. Yang tak jarang memicu perbedaan pendapat.
Menurut Munawwir Syadzali dalam
bukunya Islam dan Tata Negara, isu
perpecahan dikalangan umat Islam khususnya di Madinah kala itu telah terlihat
ketika nabi wafat. Pasca nabi wafat para sahabat bermusyawarah di balai Bani
Sa’adah untuk menujuk pemimpin pengganti nabi Muhammad. Setelah mengalami perdebatan yang sangat alot
akhirnya Abu Bakar dibaiat sebagai pemimpin umat Islam berikutnya.
Pada musyawarah tersebut tidak
melibatkan ahlul bayt (keluarga nabi) yang kala itu tengah sibuk mengurus
jenazah nabi Muhammad. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan di
kalangan ahlul bayt.
Memang ada dua dugaan penyebab
kekecewaan alhul bayt tersebut yang sangat dimaklumi. Pertama adalah abainya
sebagian umat Islam khusunya kalangan
sahabat terdekat terhadap pengurusan jenazah nabi Muhammad. Mereka lebih
mendahulukan kepentingan politik dari pada mengurus jenazah Nabi.
Penyebab yang kedua adalah tidak
dilibatkannya ahlul bayt dalam proses musyawarah tersebut. Karena Ali bin Abi
Thalib sebagai ahlul bayt kala itu juga
dianggap pantas menjadi pengganti nabi. Kekecewaan Ali tersebut dibuktikan
dengan penundaan baiat Ali terhadap Abu Bakar pasca naiknya Abu Bakar sebagai khalifah.
Namun kekecewaan Ali nampaknya
berlalu begitu saja, walaupun hal ini menjadi titik awal tumbuhnya fanatisme
terhadap Ali. Sampai masa Khalifah Usman
umat Islam dapat hidup netral. Walaupun di akhir kepemimpinan Usman sempat
terjadi huru hara yang menyebabkan Usman terbunuh.
Titik kulminasi dari lahirnya
aliran kalam adalah pada masa Ali bin Abi Tahalib (Khalifah ke-empat). Kala itu
terjadi perselisihan antara Ali dan keluarga Usman yang diketuai oleh Muawiyah
yang belakangan menjabat sebagai gubernur Suriah. Muawiyah menuntut Ali untuk
mengusut tuntas pembunuhan Usman dan menghukum para pelakunya. Namun nampaknya
kiat Ali dalam mengusut kasus terbunuhnya Usman tidak dapat memuaskan keluarga
Usman terutama Muawiyah.
Yang pada kemudian hal tersebut
memicu terjadinya perselisihan antara Ali dan Muawiyah yang berujung pada
peperangan. Peperangan ini di kenal dalam sejarah sebagai perang Shiffin. Perang
ini sekaligus menjadi perang saudara kedua yang terjadi antara umat Islam
setelah perang Jamal.
Kala itu perang lebih didominasi
oleh pihak Ali. Namun ditengah
peperangan Amr bin Ash salah seorang tangan kanan Muawiyah mengangkat mushaf
tanda perdamaian. Akhirnya perang tersebut dihentikan dan terjadilah arbitrase
(usaha peleraian sengketa).
Dalam abitrase tersebut di
utuslah dua orang perwakilan dari dua kelompok yang bertikai. Dari pihak Ali
mengutus Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Muawiyah mengutus Amr bin al-Ash.
Dalam perundingan tersebut keduanya bersepakat untuk menyudahi perselisihan .
Namun dalam arbitrase tersebut ternyata Amr berlaku licik dengan berkhianat. Yang akhirnya merugikan kelompok Ali. Dan
sekaligus menurunkan Ali secara sepihak sebagai khalifah yang resmi.
Pasca arbitrase tersebut umat
Islam terpecah menjadi tiga kelompok. Yang
pertama adalah kelompok Khawarij (orang-orang yang keluar) yang merupakan sempalan
dari kelompok Ali (dari kalangan Badui) yang tidak puas dengan hasil
arbitrase.Kelompok kedua adalah kelompok pro Ali yang dikenal dengan Syi’ah dan
yang ketiga adalah kelompok pro Muawiyah.
Sejak arbitrase ketiga kelompok
tersebut tidak henti saling bertikai. Menurut Harun Nasution, Kelompok Khawarij
memandang bahwa golongan Ali dan Muawiyah telah kafir karena telah menyeleweng
dari ajaran Islam ketika arbitrase. Sedangkan kelompok Syiah juga menanamkan
kebencian terhadap dinasti Umayyah karena dianggap telah merebut tampuk
kekuasaan khilafah dari tangan Ali. Pertikaian tersebut akhirnya menyebabkan
terbunuhnya Ali di tangan orang Khawarij.
Di tengah pertikaian dan saling
mengkafirkan (takfiri) munculan
golongan moderat yang dikenal dengan Murji’ah (irja: menunda). Mereka adalah orang-orang yang bersikap netral dari
permasalahan seputar kafir-mengkafiri pasca arbitrase. Golongan ini yang pada
kemudian hari melahirkan golongan Sunni.
Memang golongan Sunni (Ahlusunnah Wal Jama’ah) tidak berkaitan
secara langsung dengan peristiwa arbitrase antar Ali dan Muawiyah. Karena Menurut
Harun Nasution term Ahlusunna wal Jama’ah baru populer pada masa Abbasiah,
tepatnya pada masa Al-Makmun (718 M). Munculnya Sunni pun merupakan respon dari
menjamurnya ideologi Muktazila atau penulis lebih suka menyebutnya “liberal
klasik” di kalangan masyarakat Muslim kala itu.
Walaupun pada kemudian istilah
golongan Sunni tidak merujuk pada satu aliran sekte kalam saja, melainkan
beberapa sekte juga melegitimasinya.
Misalkan Murji’ah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah juga engklaim mereka
sebagai Sunni. Bahkan golongan Wahabipun menyebut diri mereka sebagai
Ahlusunnah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan golongan Ahlusunnah adalah melekat
pada mereka yang menerima hadis-hadis sahih dan melaksanakan apa yang diikuti
kebanyakan umat Islam kala itu. Maka dari itu sekte-sekte seperti Murji’ah,
Asy’ariyah, dan Maturidiyah yang masih menjalankan sunah-sunah nabi dan
mengamalkan hadis melegitimasi dirinya sebagai Ahlusunnah (Sunni).
Sunni dan Syi’ah sebenarnya
merupakan golongan yang sama-sama lahir dalam satu rahim, Islam. Meskipun
memang formation group mereka berbeda
dalam konteks waktu. Pada masa kontemporer perselisihan keduanya bukan lagi
seputar masalah teologi, melainkan pada permasalahan politik. Hal ini bisa kita
lihat dari beberapa negara seperti di Iraq, Yaman, Suriah dan beberapa negara
Timur Tengah lainnya.
Sekte Syi’ah dan Sunni memang
merupakan dua dari sekian banyak sekte Islam klasik yang hingga kini masih
bertahan. Namun yang sangat disayangkan keduanya kerap kali diisukan berselisih.
Atau bahkan ada yang sengaja membuatnya berselisih. Namun ada hal penting
sebenarnya yang tanpa disadari membuat keduanya atau bahkan banyak sekte
lainnya bertentangan.
Pertama adalah masalah beban
sejarah kelam politik Islam yang hingga kini masih subur tertanam di benak para
penganut sekte kalam. Yang pada akhirnya tak jarang tetap menghidupkan api
dendam. Dan yang kedua adalah permasalah soal legitimasi yang paling benar dan
yang kafir. Masing-masing sekte menganggap alirannya sebagai yang paling benar
dalam menafsirkan ayat-ayat Allah. Dan dengan bebas menganggap golongan di luarnya
kafir. Dan yang terakhir adalah permasalahan politik.
Padahal seperti yang dikatakan
Syaikh Yusuf Qardhawi bahwa furu’iyah
(cabang) dan perbedaan di kalangan umat Islam adalah sunatullah. Dan Islam
sendiri yang memang menghendaki terjadinya hal tersebut. Namun perbedaan
tersebut bukanlah alasan untuk pertikaian, namun untuk mengambil perlajaran
dari setiap perbedaan.
Memang untuk kembali pada masa
nabi Muhammad di mana umat Islam dapat hidup bersatu dan tidak mengenal aliran pemikiran (teologi) sudah
tidak mungkin. Karena sosok nabi sebagai pengadu dan pemersatu persepsi kini
telah tiada. Sebenarnya persatuan (bersatu dalam paham/pemikiran) tidaklah
urgen, karena memaksakan untuk bersatu adalah suatu kemustahilan. Namun yang
paling penting adalah kesadaran. Iya kesadaran. Kesadaran bahwa kita adalah satu rahim, yaitu
rahim Islam tok. Dan saatnya kini berhenti untuk mengkafirkan. Karena perkara
kafir-mengkafirkan adalah domain Tuhan.
Wallahu’alam Bishawwab.