Belajar dari Masa Kegelapan Islam



Belajar dari Masa Kegelapan Islam

Dalam artikel sebelumnya penulis sudah menjelaskan urgensi dari mempelajari sejarah sesungguhnya. Mempelajari sejarah adalah belajar dari hikmah yang terdapat dalam nilai-nilai peristiwa masa lalu. Banyak yang mengatakan bahwa, belajar dari sejarah dapat membuat sesorang menjadi bijaksana.

Selalu terdapat nilai-nilai esensial yang dapat kita ambil dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Mempelajari pristiwa masa lalu bukan perkara menghafal, namun perkara memahami esensi (nilai-nilai yang terkandung).

Pada artikel kali ini penulis akan membahas mengenai masa kegelapan Islam. Namun penulis tidak akan membahas mengenai proses gelapnya tersebut, karena diberbagai literatur sudah banyak dibahas. Namun penulis mencoba menggali dan memaparkan secara sederhana terkait hikmah apa yang bisa kita ambil dari masa gelap tersebut.

Seperti yang digambarkan oleh Marshal Hudgdson dalam bukunya The Venture of Islam. Ia menyebutkan bahwa Islam merupakan sebuah agama yang terus berlari untuk mencapai cita-cita. Umat Islam nampaknya tidak pernah berhenti untuk terus menorehkan tinta sejarah dalam kancah peradaban dunia.

Umat Islam pernah mencapai suatu masa di mana ilmu pengetahuan begitu maju. Pusat-pusat peradaban Islam menjadi center of excellence. Masa tersebut terjadi pada masa dinasti Abbasiah, khusunya pada masa khalifah Harus al-Rasyid dan Al-Makmun.

Bebagai ilmu pengetahuan berhasil dikembangkan. Banyak karya-karya Yunani, Persia, dan India yang diterjemahkan dan kemudian dikembangkan. Tokoh-tokoh besar bermunculan, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan tokoh-tokoh lainnya. Seketika dunia Islam harum namanya seantero dunia.

Namun nampaknya zaman tak pandang peradaban. Setiap peradaban secara alamiah mengalami pasa surut. Bagitupun dengan dunia Islam. Pasca berakhirnya masa khalifah Harun al-Rasyid dan Al-Makmun umat Islam perlahan masuk kedalam jurang kegelapan.

Islam secara politik kala itu tidak dapat disatukan kembali. Bebagai dinasti-dinasti kecil memerdekakan diri. Hal ini disebabkan karena luasnya wilayah kekuasaan Abbasiah dan ketidak mampuan Abbasiah untuk mengontrol wilayahnya. Selain itu banyak tokoh  besar kabilah di berbagi wilayah takhlukan bermunculan dan memerdekakan diri dari Abbasiah.

Proses disintegrasi tersebut menjadi titik awal kemunduran umat Islam. Baghdad kala itu sudah mulai pudar predikat center of excellence–nya. Hal ini disebabkan karena perebutan kekuasaan yang terjadi didalam pemerintahan dan tidak terfasilitasinya para ilmuan. Akhirnya perlahan ilmu pengetahuan mulai mengalami kemunduran.

Predikat kegelapan adalah tafsiran kemuduran bidang ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh umat Islam pada masa Abbasiah. Karena pada bidang-bidang lain, contoh militer tetap mengalami perkembangan.

Selain itu pasca kemunduran Abbasiah pada bidang ilmu pengetahuan dinasti-dinasti kecil lain tidak berusaha mengambil peranan pengembangan ilmu pengetahuan. Hampir seluruhnya berfokus pada bidang militer. Semangat kekabilahan nampaknya lebih menonjol dari pada semangat keislaman.

Pada masa pertengahan (1250-1800) umat Islam seakan terkungkung dalam penjara taklid buta dan kejumudan. Mereka terkurung dalam perdebatan-perdebatan mazhab fikih. Umat Islam kebanyakan hanya bekutat pada persoalan-persoalan keagamaan atau hablumniallah.

Ada beberapa penyebab umat Islam mengalami kemuduran pada masa pertengahan, di antaranya, mulai lunturnya rasionalitas umat Islam. Paham rasional yang dikembangkan oleh Muktazila pada masa Al-Makmun mulai tergantikan dengan ideologi moderat Asy’ariyah (tradisional) yang pada belakangan lebih cenderung pada paham fatalistik Jabariyah. Umat Islam cenderung pada pemahaman berserah diri pada kuasa Tuhan.

Penyabab selanjutnya adalah mulai pudarnya sifat keterbukaan umat Islam. Umat Islam hanya dibatasi pada permasalahn seputar keagamaan saja. Ruang untuk berfilsafat dibatasi dan berfilsafat dianggap bid’ah. Sehingga umat Islam takut untuk kembali mempelajari ilmu-ilmu yang merupakan buah fikir manusia.

Al-Ghazali nampaknya juga turut bertanggung jawab akan kemunduran umat Islam di masa pertengahan. Paham filsafat yang digaungkan Al-Ghazali menolak akan kekuatan fikiran manusia (filsafat). Selain itu paham filsafatnya menekankan pada permasalahan tawakal, zuhud, ukhrawi, dan penyerahan diri (pasrah). Hal ini yang kemudian menyebabkan umat Islam mangkrak dalam pengemabangan pemikirannya dan bersifat jumud. Pada masa selanjutnya paham filsafatAl-Ghazali mendorong penutupan pintu ijtihad.

Dinasti-dinasti yang berkembang kala itu juga tidak memfasilitasi sarana-sarana ilmu pengetahuan yang memadai seperti perpusatakan dan lembaga pendidikan. Banyak di antara mereka yang hanya berfokus pada penakhlukan-penakhlukan wilayah saja. Sehingga dunia Islam kala itu bukan lagi menjadi tempat subur yang menjadi lahan garapan para penggiat ilmu.

Penyebab yang terakhir adalah disintegrasi (perpecahan) dikalangan umat Islam. Memang kala itu sulit untuk mengakomodir wilayah Islam yang sangat luas. Akhirnya perlahan wilayah takhlukan itu memerdekakan diri. Yang pada kemudian semangat kabilah lebih melekat pada dinasti Islam dibanding ukhuwah Islamiyyah. Pada akhirnya umat Islam banyak terlibat pada perang saudara.

Dari masa kemunduran Islam (the dark age of Islam) tersebut ada hikmah yang dapat kita petik untuk kembali mencapai masa pencerahan. Di antaranya umat Islam harus mulai kembali membumikan paham rasionalisme dan menolak fatalistik (penyerahan diri secara total). Dengan menganut paham rasionalisme bukan bebarti umat Islam menolak kebaradaan Tuhan dan bersifat liberal absolut. Namun berusaha mengintegrasikan antara hukum Tuhan dan kekuatan akal.

Siafat keterbukaan umat Islam pada masa klasik juga harus dihidupkan kembali. Umat Islam bebas belajar dari manapun, entah itu dari dalam umat Islam sendiri maupun dari orang-orang diluar Islam terutama Barat.

Selanjutnya umat Islam juga harus berusaha keluar dari taklid buta dan berusaha memerdekakan pemikiran. Mengikuti seorang tokoh atau paham silahkan saja, namun umat Islam harus tetap kritis. Umat Islam juga harus mendobrak secara menyeluruh pintu ijtihad yang ditutup. Karena untuk maju umat Islam harus terus berfikir dan menyelaraskan antara perkembangan zaman dengan keimanan.

Umat Islam juga harus kembali menaruh perhatian penting pada perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan. Islam bukan berarti hanya seputar masalah keagamaan saja. Yang disayangkan kini sangat sedikit sekali umat Islam yang berfokus pada ilmu-ilmu pasti. Kebanyakan dari mereka nyaman dengan hanya mempelajari ilmu agama yang bersifat normati (keibadahan). Yang pada akhirnya hanya menimbulkan perdebatan-perdebatan yang tidak produktif.

Dari pada sibuk dengan perdebatan khilafiyah dan sentimen sekte lebih baik umat Islam memfokuskan pada pembangunan dan pengemabangan lembaga-lemabaga pendidikan. Karena dengan pendidikanlah umat Islam dapat kembali menjajaki tahta keemasan.

Dan yang terakhir adalah persatuan umat Islam. Tidak harus dengan pendirian negara Islam multinasional. Karena hal tersebut terbukti tidak efektif. Namun “Islam” dalam konteks ideologi bisa menjadi dasar pemersatu. Dengan hanya bersandar pada satu nama “Islam” dan satu tujuan (kemajuan dunia Islam) umat Islam dapat mendobrak sekat sekterian, kabilah, etnis, bahkan nation-state.  Meskipun kedengarannya utopis untuk mempersatukan umat Islam seluruh dunia. Namun paling tidak persatuan umat Islam dalam lingkup negara-bangsa setidaknya bisa diwujudkan.

Setidaknya beberapa nilai-nilai sejarah kegelapan Islam tersebut dapat kita jadikan pelajaran. Memang perlu waktu untuk mewujudkannya. Namun dengan usaha dan semangat solidaritas keislaman nampaknya masa keemasan bukan keniscayaan untuk dicapai kembali.

Wallahu’lam Bishawwab.