Belajar dari Masa Keemasan Islam



Belajar dari Masa Keemasan Islam

Tujuan mempelajari sejarah ialah agar kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Baik itu peristiwa yang baik maupun yang buruk.  Yang pasti urgensi mempelajari sejarah sesunguhnya adalah hikmah di balik sebuah peristiwa masa lalu tersebut. Dan bukan sekedar menghafal tokoh dan tahun-tahun semata.

Setiap peradaban memiliki masa lalunya sendiri. Begitupun dengan peradaban Islam. Pada masa sekarang umat Islam erat dikonotasikan dengan terorisme, kemiskinan, dan perang antar sekte. Nampaknya lukisan Islam selalu digambarkan pada lukisan kelam.

Namun taukah bahwa Islam pernah mencapai puncak kegemilangan yang hingga kini belum terulang. Di mana ilmu pengetahuan sangat maju dan bermunculan tokoh-tokoh ilmuan yang hingga kini namanya harum seantero dunia. Sayangnya banyak dari orang-orang Islam sendiri yang belum mengetahuinya. Hal ini disebabkan karena sebagian mereka apatis terhadap sejarah Islam itu sendiri.

Baghdad dan Andalusia pernah menjadi sinar bagi kegelapan dunia khususnya Eropa. Disaat orang-orang Eropa tengah terlelap tidur dalam kejumudan, umat Islam sedang giat-giatnya mendaki puncak kegemilangan. Dunia Islam kala itu bak sekuntum bunga yang menjadi daya tarik berbagai jenis kumbang. Sianarnyapun tak pelak banyak mengundang para pelancong ilmu.

Pusat-pusat dunia Islam seperti Baghdad dan Andalusia selalu menjadi daya tarik masyarakat Internasional untuk menginjakkan kaki mereka dan menimba ilmu dari kemajuan yang telah dicapai oleh orang-orang Islam kala itu. Dunia Islam kala itu tengah menjadi center of excellence. Maka dari itu banyak sejarawan mengatakan bahwa masa-masa tersebut adalah masa keemasan atau the golden age of Islam.

Menurut Phillip K. Hitti kemajuan yang sangat pesat dimulai pada masa Harun Al-Rasyid (786-809). Meskipun bibit-bibit keemasan tengah dapat dilihat pada masa Abu Ja’far al-Mansyur. Selanjutnya bunga-bunga keemasan makin berkembang sampai masa Al-Makmun (813-833).

Kala itu umat Islam tidak hanya bergelut pada masalah penakhlukan-penaklukan wilayah dan peperangan seperti pada masa Umayyah. Dunia Islam kala itu cukup stabil dan hal tersebutlah yang kemudian membuat tumbuh suburnya berbagi bidang keilmuan. Umat Islam juga tidak terlalu pelak bergelut pada perdebatan-perdebatan kalam yang sengit. Biasanya negara mengambil alih aliran kalam apa yang akan digunakan, dan seraya diikuti oleh seluruh masyarakat.

Berbagi bidang keilmuan tumbuh subur pada masa Abbasiah dan Andalusia. Baik ilmu pengetahuan yang orisinil maupun yang merupakan hasil pengembangan. Berbagai ilmu orisinil ala Islam misalkan ulumul Qur’an, ilmu tasawuf, ilmu kalam (teologi), ilmu qir’ah, filsafat, sastra, sejarah, kesenian, dan sebagainya. Sedangkan ilmu-ilmu hasil pengembangan (ilmiah) seperti ilmu kedokteran,  ilmu falak (astronomi), ilmu pertanian, matematika, kimia, dan optik. Ilmu yang penulis sebutkan terakhir tersebut merupakan hasil pengembangan dari karya-karaya ilmuan lintas peradaban seperti Romawi, Yunani, Persia, dan India.

Bebagai tokoh besar yang hingga kini harum namanya juga dilahirkan pada masa tersebut. Kita mengenal Ibnu Sina (Avicena)dan Al-Razi seorang ahli filsafat dan ahli ilmu kedokteran. Kita juga mengenal al-Khawarizmi dan Jabr Ibn Hayyan yakni seorang ahli matematika dan kimia. Ibnu Khaldun seorang ahli sejarah dan tata pemerintahan. Di Andalusia (Spanyol) kita juga mengenal Ibnu Rusyd (Aveores) seorang filosof yang sangat terkenal seantero Eropa. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Kemajuan yang mereka capai bukan semata-mata karena leha-leha dan menengadah tangan. Namun melalu usaha panjang yang berkesinambungan. Dan hasilnya adalah sebuah kemajuan perdaban yang hingga kini dielu-elukan.

Namun ada yang paling penting dari sekedar membaca sambil tersenyum bangga sejarah-sejarah keemasan Islam.  Yakni hikmah atau esensi dibalik kemajuan tersebut. Sebagai manusia yang berkesempatan membaca literatur keemasan Islam tersebut nampaknya tidak elok jika kita hanya menjadikannya bahan rekreasi dan nostalgia.

Akan lebih bijak jika kita dapat menelaah masa keemasan tersebut dan hikmah dibaliknya. Ada beberapa faktor penting yang membuat umat Islam mencapai masa keemasannya kala itu. Yakni sifat keingintahuan, sungguh-sungguh, giat belajar, dan keterbukaan terhadap berbagai ilmu pengetahuan di luar Islam.

Sifat kesungguhan umat Islam kala itu memang tidak bisa dipandang remeh. Mereka begitu giat mempelajari dan mengembangkan hal-hal baru yang mereka ketahui. Hal ini didorong oleh stabilitas politik kala itu dan dukungan dari negara. Misalkan saja negara memfasilitasi pendirian Baitul Hikmah yang pada masa kemudian menjadi titik sinar kemajuan ilmu pengetahuan Baghdad.

Selain itu umat Islam juga gencar melakukan penerjemahan-penerjemahan kitab-kitab ilmu pengetahuan berbahasa Yunani, Persia, dan India kedalam bahasa Arab. Bahkan Khalifah berani membayar mahal para penerjemah. Kitab-kitab hasil terjemahan tersebut yang kemudian oleh ilmuan Islam dikembangkan.

Selain itu sifat keterbukaan umat Islam akan karya-karya orang-orang di luar Islam juga menjadi faktor pendorong kemajuan tersebut. Andai saja orang-orang Islam bersifat menutup diri dan angkuh terhadap karya-karya klasik di luar mereka, pastinya kemajuan tidak akan dicapai sepesat itu. Kala itu umat Islam bebas berkarya dan berfilsafat. Mereka dipacu untuk memasimalkan intelektual tanpa menanggalkan iman mereka. Mereka berhasil mengintergasikan Islam dengan ilmu pengetahuan.

Maka dari itu hemat penulis umat Islam pada masa sekarang tidak perlu menutup diri dengan kemajuan-kemajuan negara-negara maju di luar Islam terutama Barat. Kita harus berani belajar dari kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Namun Islam sebagai basis moral perlu digunakan sebagai filter. Karena penting penyelarasan antara moral agama dengan kemajuan iptek. 

Masa keemasan tersebut memang kerap kali dilupakan dan enggan untuk dipelajari oleh orang-orang Islam pada masa sekarang. Namun mempelajarinya pun bukan sekedar untuk mengenang romantisme masa lalu dan terbuai di dalamnya. Namun untuk mengambil hikmah dibaliknya.

Mengulang masa lalu memang hal yang tidak mungkin. Membuat hal yang serupa juga perkara mustahil. Namun ada esensi keemasan yang dapat kita pelajari dari masa tersebut. Ada nilai-nilai sejarah yang tak lekang oleh zaman yang dapat kita terus aplikasikan hingga kapanpun.

Nilai-nilai tersebut adalah loyalitas (kesungguhan) dan sifat terbuka. Dua nilai tersebutlah yang masih kita dapat aplikasikan hingga kini. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan kesungguhan dan keterbukaan kita dapat mencapai masa keemasan. Maka dari itu tak tidak ada salahnya jika nilai-nilai tersebut dihidupkan kembali oleh umat Islam.

Kita tidak perlu membangkitkan Daulah Abbasiah dan Andalusia pada masa kini dengan mengikuti pola-pola sejarah yang sama. Namun nilai-nilai dari perjalanan sejarah Abbasiah dan Andalusia serta dinasti-dinasti lainnyalah yang harus kita bangkitkan dan kita teladani. Setidaknya dengan terus mengaplikasikan nilai-nilai kesungguhan dan keterbukaan tersebut.

Sinar keemasan masa Islam abad klasik memang telah lama memudar. Dan hingga kini cahaya emas itu belum bersinar kembali. Namun the venture of Islam belum selesai. Islam adalah agama yang terus berlari dan menyongsong cita-cita (Marshal Hudgson). Biarlah masa keemasan generasi klasik itu berlalu. Kini saatnya generasi baru menciptakan cahaya emasnya sendiri. Setidaknya dengan terus belajar dari nilai-nilai sejarah yang dapat kita ambil dari masa lalu peradaban Islam.

Wallahu’alam Bishawwab.