Daulah Islam dan
Hasrat Kesukuan
Menjelang berakhirnya masa
kepemimpinan Khalifahu Rayidun umat Islam mengalami goncangan besar dengan
terjadinya berbagai perang saudara. Setelah berakhirnya masa sulit tersebut
kemudian munculah Dinasti Umayyah di bawah Muawiyah dalam panggung politik
Islam.
Muawiyah berhasil mengambil
pengaruh melalui kekuatan politiknya dan mendeklarasikan Dinastinya yang
bersistem monarki. Pada masa Rasulullah dan Sahabat memang sistem kepemimpinan
tidak pernah dirumuskan secara baik, sehingga pada masa kemudian sering terjadi
perselisihan ketika pergantian kepemimpinan dalam dunia Islam klasik.
Namun Muawiyah berijtihad dengan
menggunakan sistem monarki dalam daulah yang baru dipimpinnya tersebut. Sistem
monarki seperti yang kita ketahui merupakan sistem kepemimpinan yang lumrah
digunakan dalam kerajaan-kerajaan. Sistem ini menentukan sorang pemimpin dengan
berdasarkan garis keturunan keluarga.
Pada masa selanjutnya sistem
kepmimpinan dengan garis keturunan keluarga yang mewakili kabilah-kabilah
tertentu terus diaplikasikan oleh umat Islam. Seperti dinasti Penerusnya, yakni
Dinasti Abbasiah, Dinasti Umayyah di Andalusia, Dinasti Fathimiyyah, Dinasti
Saljuk, Dinasti Mughal, Dinasti Ottoman dan berbagai dinasti-dinasti kecil
lainnya.
Dinasti-dinasti tersebut
menggunakan sistem kepemimpinan berdasarkan garis keturunan keluarga. Dan
biasanya sangat tidak dikhendaki bagi orang di luar kerajaan yang berkompeten
untuk naik pada tampuk kekuasaan. Jika tidak ada putra mahkota biasanya keluarga
terdekatlah yang dinaikan sebagai raja.
Sistem berdasarkan garis
keturunan keluarga atau monarki memang tidak ada salahnya. Dinasti-dinasti
Islam yang menggunakan sistem ini telah mencapai kemajuan di setiap peradaban.
Misalkan pada masa Umayyah mereka berhasil memajukan bidang militer. Pada masa
Dinasti Abbasiah telah menjadikan Baghdad sebagai atau pusat keilmuan bahkan
mencapai kegemilangan yang hingga kini belum terulang. Pada masa Ottoman
berhasil memajukan sistem kemiliteran. Dan masih banyak lagi
kegemilangan-kegemilangan yang sudah dicapai.
Namun di luar dari
kegemilangan-kegemilangan tersebut sistem monarki yang dianut oleh dinasti-dinasti Islam benarkah mewakili
umat Islam secara keseluruhan. Atau bahkan hanya perwujudan ambisi keluarga
atau kabilah tertentu untuk melanggengkan kekuasaan.
Hemat penulis memang
dinasti-dinasti Islam merupakan perwujudan dari ambisi kesukuan. Hal ini
terlihat dari sandangan-sandangan yang digunakan dinasti-dinasti Islam.
Misalkan Dinasti Umayyah yang disandangkan pada keluarga Umayyah (Muawiyyah bin
Abu Sufyan). Dinasti Abbasiah yang merujuk pada keluarga Abbas (Abul Abbas
as-Saffah). Selain itu Dinasti Ottoman yang disandangkan pada keluarga Osman
dari kabilah Oghus.
Berdasarkan beberapa contoh di
atas menjadi bukti kuat bahwa berdirinya dinasti-dinasti Islam didorong oleh
semangat kesukuan atau kabilah (Fuad Jabali). Namun setiap kabilah yang dominan
dan mendirikan dinasti menganut sistem-sistem yang berdasarkan pada nilai-nilai
keislaman. Sehingga semangat keislaman berbaur dengan semangat kesukuan dalam
proses pendirian dinasti-dinasti Islam. Bahkan dinasti-dinasti Islam tidak pernah benar-benar bersatu. Mereka lebih cenderung bersikap eksklusif.
Selain itu, hadis nabi Muhammad
terkait kepemimpinan harus diserahkan kepada orang Quraisy atau Ahlul Bayt
menjadi doktrin yang kerap kali melegitimasi keluarga memegang teguh sistem
monarki Islam. Hampir seluruh keluarga pemimpin Islam di belahan dunia berasal
dari Quraisy atau setidaknya memiliki jalinan darah dengan keluarga Nabi.
Pengakuan genealogis Ahlul Bayt dari para keluarga kerajaan-kerajaan Islam juga
menjadi gengsi dan legitimasi tersendiri.
Dalam sistem monarki yang
diterapkan oleh dinasti-dinasti Islam ini sangat kecil bagi orang di luar keluarga kerajaan untuk
berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Kekuasaan hampir sepenuhnya dipegang
oleh keluarga kerajaan.
Ditambah lagi sistem ini sering
kali mengalami kesulitan dalam regenerasi kepemimpinan. Misalkan banyak kasus
pengangkatan raja muda yang tidak kompeten dalam pemerintahan. Hal ini
disebabkan karena putra mahkota yang masih sangat muda. Selain itu sistem ini
mengalami masalah jika seorang raja tidak memiliki anak laki-laki. Karena dalam
sejarah Islam raja yang boleh naik tahta hanyalah anak laki-laki.
Memang perlu dimaklumi bahwa pada
masa-masa tersebut sistem monarki masih menjadi sistem yang cukup baik dan
lumrah digunakan. Hampir tidak ada alternatif sistem kepemipinan lain dibelahan
dunia Islam lain, atau bahkan di luar Islam sekalipun.
Hemat penulis sistem monarki yang
berdasarkan semangat kekeluargaan berbalut keislaman kini sudah tidak cocok
digunakan. Banyak alternatif sistem-sistem lain yang mencoba mengurangi
kecacatan pada sistem monarki. Khususnya monarki absolut. Mendirikan negara
dengan menganut nilai-nilai keislaman kini tidak harus mengacu pada garis
keturunan keluarga, apalagi dari golongan tertentu, Quraisy misalkan.
Setiap Muslim yang loyal, kompeten,
jujur, adil, dan visioner berhak menjajaki tampuk kepemimpinan. Tidak harus
melihat latar belakang garis keturunannya. Selain itu sistem monarki dalam
Islam juga akan cenderung mengkebiri seseorang yang kompetitif untuk menjajaki
tampuk kepemimpinan.
Wallahu’alam Bishawwab.