Benarkah Nabi Muhammad Pernah Mendirikan Negara Islam?


Benarkah Nabi Muhammad Pernah Mendirikan Negara Islam?

Negara Islam menjadi wacana yang tidak henti digaungkan di setiap peradaban Islam. Sistem negara Islam digadang-gadang menjadi sistem politik yang paling ideal karena segala peraturan dan ketentuannya bersumber dari Tuhan. Sehingga dimungkinkan tidak ada kecacatan dan kekurangan jika sistem ini diterapkan.

Hingga kini konsep negara Islam memang terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Baik umat Islam di Timur Tengah maupun di Asia Tenggara. Hizbut Tahrir menjadi salah satu organisasi multi nasional yang getol memperjuangkan konsep negara Islam (sistem Khilafah) dengan jalan non parlemen dan damai.

Selain itu, belakangan juga kita mengenal organisasi Islam radikal bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria), yakni negara Islam yang meliputi wilayah Iraq dan Syria. Di bawah pemimpinnya Abu Bakar al-Baghdadi organisasi ini terus melayangkan tindakan teror dan kekerasan  di beberapa belahan dunia. Organiasasi ini juga menggunakan sistem rekrutmen multinasional.

Sedangkan dalam konteks Indonesia kita mengenal gerakan bughat DI/TII di bawah Kartosoewirjo yang berhasil ditumpas pada masa pemerintahan Sukarno. Pasca Orede Baru kita juga mengenal gerakan bawah tanah NII yang dicurigai merupakan kelanjutan dari DI/TII.

Melihat beberapa kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sistem negara Islam (Islamic State) menurut beberapa kalangan dianggap sebagai sistem politik yang paling ideal untuk mengatur peradaban manusia. Sehingga perlu diperjuangkan jika ingin mencapai sebuah perdaban yang sejahtera.

Namun jika dilihat dalam sudut pandang historis benarkah Nabi Muhammad pernah mencontohkan pendirian negara Islam dengan berdasarkan sumber-sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis)?.

Perjuangan dakwah Rasulullah memang terbilang rumit dan sangat berat tantangannya. Dari mulai dakwah secara diam-diam sampai akhirnya Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dan membuat peradaban. Di Madinah Rasulullah memang banyak membuat perubahan yang cukup besar. Berbagai agenda pemersatuan para kabilah yang bertikai menjadi agenda prioritas.

Di tangan Nabi Muhammad, Madinah menjadi city-state yang berperadaban tinggi dengan masyarakatnya yang multikultural. Rasulullah kala itu tidak hanya menjabat sebagai pemimpin agama, namun sebagai pemimpin negara dan panglima.

Memang untuk mengatakan Madinah sebagai sebuah negara dalam pemahaman negara kekinian belum dapat dikatakan ideal. Karena sistemnya yang masih sangat sederhana dan belum begitu kompleks. Namun setidaknya Nabi Muhammad telah menciptakan prototype atau cikal bakal sebuah negara.

Karena unsur-unsur kenegaraan yang meliputi wilayah, rakyat, dan undang-undang telah terpenuhi. Untuk mengatur masyarakat Madinah yang multikultural dan multiagama Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah sebagai dasar Madina State kala itu.

Piagam madinah merupakan memorandum of understanding atau pakta kesepakatan yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di Madinah kala itu. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal. Masing-masing pasal terlihat bertujuan merangkul semua kalangan dan tidak mengedepankan kepentingan kaum Muslimin semata.

Dalam pasal 2 misalkan disebutkan bahwa “Kaum Muslimin adalah umat yang bersatu utuh , mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lain”. Pasal tersebut membuktikan bahwa umat Islam tidaklah menjadi bagian yang eksklusif dari masyarakat yang heterogen meskipun kala itu jumlah mereka mendominasi.

Misalkan dalam pasal 24 yang menyatakan bahwa “orang Islam dan Yahudi harus saling bahu membahu dalam memikul biaya peperangan”. Dalam pasal lain misalkan pasal 44 yang berbunyi “mereka para pendukung piagam Madinah harus saling bahu-membahu dalam menghadapi penyerangan kota Yastrib (Madinah). Selanjutnya lebih jauh mengenai pasal-pasal dalam Piagam Madinah lihat Piagam Madinah.(Komaruddin Hidayat, 2015, hlm. 140-147) .

Yang menarik dalam Piagam Madinah adalah Nabi Muhammad telah sadar akan nasionalisme yang menjadi dasar pembentukan sebuah bangsa. Bukan agama Islam yang dijadikan dasar pemersatu oleh Nabi Muhammad, melainkan nasionlisme Madinah. Masyarakat Madinah yang multikultural dan multiagama dipersatukan dalam konsep nasionalisme Madinah. Dan hal tersebut terbukti efektif.

Yang lebih menarik lagi adalah Nabi Muhammad tidak menggunakan Islam sebagai dasar negara. Terbukti tidak terdapat satupun pasal yang menjelaskan menganai Islam sebagai dasar negara yang kala itu dipimpin oleh Nabi Muhammad. Sehingga jika dilihat bahwa Nabi Muhammad kala itu tidak hanya memperjuangkan kepentingan dan kelangsungan hidup umat Islam saja, namun masyarakat Madinah secara keseluruhan.

Pada masa kepemimipnan nabi Muhammad di Madinah, memang Nabi Muhammadi tidak pernah secara jelas mengatakan sistem kepemimpinannya tersebut sebagai Khilafah, Imamah, ataupun Daulah. Nabi Muhammad juga belum sempat menciptakan sistem pergantian kepemimpinan. Maka dari itu pasca kepemimpianan nabi Muhammad sempat terjadi kekikukan tata cara pemilihan pemimpin politik.

Sebagai seorang nabi memang Nabi Muhammad tidaklah tergantikan. Namun sebagai pemimpin politik perlu adanya seorang penerus. Pada masa Kalifahurasyidin pun istilah seorang pemimpin muslim tidak dirumuskan secara baik. Maka dari itu  terjadi penyebutan istilah kepemimpinan dalam setiap rezim di khalifah empat. Sedangkan istilah khalifah baru populer pada masa Umayyah yang terkenal dengan sistem kepemimpinannya yang monarki.

Istilah Islamic-State atau negara Islam memang tidak pernah dijelaskan dengan gamblang oleh Rasulullah. Apakah itu Khilafah, Imamah, ataupun Daulah. Kita hanya bisa melihat fakta historis berdirinya Madina State dengan Piagam Madinah sebagai undang-undang dasarnya. Yang kemudian fakta historis tersebut dimultitafsirkan oleh kaum Muslimin.

Pada selanjutnya juga menimbulkan pertanyaan bagi para penggiat Islamic State pada masa kekinian. Referensi rujukan mereka apakah sistem kenegaraan pada masa Rasulullah dan Sahabat yang cenderung demokratis. Atau masa setelahnya, yakni, masa Umayyah, Abbasiah dan seterusnya. Yang kita ketahui bahwa sistem tersebut menganut sistem monarki absolut yang sangat besar hasrat kabilah atau kesukuannya.

Hemat penulis penerapan syariat Islam secara keseluruhan sebagai sebuah dasar negara tidaklah terlalu urgen. Yang lebih penting adalah penyisipan nilai-nilai kesilaman yang bersifat sosial-universal dalam setiap sistem kenegaraan. Sehingga Islam dapat berdialog dan hidup berdampingan dengan semua sitem politik di setiap peradaban tanpa aneksasi sistem kenegaraan secara menyeluruh.

Wallahu’lam Bishawwab