Kritik untuk Islam Liberal

Kritik untuk Islam Liberal

Gerakan Islam Liberal memang selalu dikonotasikan negatif dan kontroversial. Hal tersebut dapat dengan mudanh dlihat dari ide-ide progresif mereka. Terdapat tiga hal pemikiran yang menjadi ciri khas mereka terutama berkaitan dengan penafsiran sumber-sumber hukum Islam. Para penggiat Islam liberal lebih cenderung substantif, kontekstual, dan rasional dalam menafsirkan sumber hukum Islam. Mereka sangat bertentangan dengan kaum skriptual yang menafsirkan sumber-sumber hukum Islam secara tekstual.

Beberapa tokoh besar Islam liberal di Indonesia diantaranya Nurcholis Madjid, Gus Dur, Ahmad Wahib, dan Dawam Raharjo. Meskipun sejatinya mereka tidak dengan terang-terangan menyebut mereka sebagai golongan liberal. Namun ide dan gagasan mereka telah mengindikasikan keliberalan atau kebebasan berfikir. Pada masa kekinian mungkin kita mengenal tokoh Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla, Moqsith Ghozali, Bachtiar Effendi, Azyumardi Azra, dan beberapa tokoh besar lain.

Namun sayangnya citra Islam Liberal terlanjur dicoreng oleh umat Islam lainnya. Bahkan MUI sendiri sampai mengeluarkan fatwa pelarangan liberalism dengan jargon spilisnya (Skularisme, Pluralisme, dan Liberalisme).
Di mimbar-mimbar masjid dan majlis taklim terus digaungkan kebencian terhadap Islam Liberal. Liberal dinggap sebagai ideologi yang merusak citra Islam. Di masyarakat pemikiran Islam Liberal bahkan tidak laku dan secara mentah-mentah ditolak. Kebanyakan ide-ide liberalisme Islam hanya dapat diterima oleh kalangan terdidik di perguruan tinggi. Masyarakat awam terlanjur sudah phobia terhadap ide-ide liberalisme Islam.

Islam Liberal memang seharusnya tidak melulu dikonotasikan negatif. Beberapa pemikiran mereka yang kontroversial memang tidak bisa dielakan. Namun ide-ide dan agagsan mereka yang bersifat sosial-universal juga perlu dipertimbangkan. Karena jika ditelaah lebih mendalam ide-ide tersebut mengandung nilai-nilai progresifisme yang sebenarnya membawa Islam pada kemajuan dan selaras dengan kemodernan.

Misalkan saja gagasan keidonesiaan yang digaungkan oleh Nurcholis Madjid. Cak Nur menempatkan Indonesia sebagai sebuah kejegan yang ideal dan final. Indonesia yang merupakan negara multikulturalisme memerlukan ideologi yang dapat mempersatukan mereka ditengah jurang perbedaan keyakinan. Maka dari itu nampaknya Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi yang final yang dapat mempersatukan perbedaan. Karena memaksakan Islam sebagai dasar negara akan menimbulkan kecerai-beraian. Selain itu esensi yang terkandung dalam Pancasila juga selaras dengan esensi nilai-nilai keislaman.

Selain pemikiran Cak Nur, pemikiran Gus Dur mengenai pluralisme agama juga menjadi pemikiran yang banyak berpengaruh bagi kehidupan beragama di Indonesia. Dua contoh pemikiran tersebut merupakan ide-ide liberalisme yang sbenarnya berimplikasi positif bagi kelangsungan hidup di negara yang sangat heterogen. Di mana Islam harus hidup berdampingan dngan banyak agama lain.

Namun yang paling penting hemat penulis terkait ide-ide liberalisme Islam adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat substantif dan kontekstual. Seandainya saja ide ini bisa dipribumisasikan dengan baik hemat penulis hal ini bisa menekan angka radikalisasi Islam. Karena kebanyakan ide-ide radikal yang tumbuh dikalangan umat Islam dikarenakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat skriptual. Islam Liberal menggaungkang keterbukaan pemikiran terhadap kemajuan zaman. Mereka tidak mentah-mentah menolak ide dan gagasan yang muncul dari barat.

Perlu diketahui pula bahwa para penggiat liberalisme Islam di Indonesia berbeda dengan liberalisme Islam di belahan Eropa dan Amerika. Para penggiat liberalisme Islam di Indonesia tidak bersifat revolusioner dan lebih cenderung bersifat akomodatif terhadap tradisi Islam lokal.

Namun disamping ide-ide progresifisnya, Islam Liberal memang terkenal dengan gagasannya yang kontroversial. Semisal terkait nikah beda agama, ketidakwajiban memakai jilbab, dan dukungan mereka kepada LGBT (Lesbian, Gay, Transeksual, dan Biseksual). Memang pernyataan tersebut telah memalui penafsiran yang substantif, kontekstual, dan rasional. Akan tetapi malahan menimbulkan perdebatan yang tidak produktif. Bahakan di sisi Lain Islam Liberal kerap kali dibaratkan sebagai sekte baru yang bertentangan dengan Islam Indonesia yang telah ajeg.

Seharusnya  pernyataan kontroversial tidak melulu harus didasari penafsiran firman, namun juga harus melalui pertimbangan keajegan masyarakat Islam Indonesia kebanyakan. Misalkan terkait nikah beda agama dan LGBT, kedua hal tersebut memang tidak tersirat dalam sumber-sumber Islam sehingga membuka peluang penafsiran yang sangat rasional. Namun jika melihat kondisi masyarakat Islam Indonesia, pastinya akan secara terang-terangan menentang hal tersebut, karena dianggap melawan norma yang sudah ajeg. Maka dari itu seharusnya hal tersebut mejadi pertimbangan bagi Islam Liberal.

Di tengah masyarakat umum Islam Liberal kerap kali dicitrakan negatif. Mereka sulit menyampaikan nilai-nilai progresifisnya ke tengah masyarakat umum. Maka dari itu hal inilah yang kemudian menjadi kritik bagi Islam Liberal. Ide-ide mereka yang bersifat sosial-universal dan progresif tidak dapat diterima oleh masyarakat. Padahal hemat penulis jika nilai-nilai tersebut tersampaikan dengan baik setidaknya akan mengubah maindset umat Islam yang tertup menjadi terbuka terhadap kemajuan.


Maka dari itu pada masa kemudian nampaknya Islam Liberal harus mampu mengemas nilai-nilai sosial-universal dan progresif mereka agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakat umum. Percuma saja nilai-nilai yang berharga tersebut dirumusakan apabila tidak dapat dipribumisasikan dengan baik. Dan hanya menimbulkan perdebatan yang tidak produktif.

Wallahu'alam Bishawwab