Lagi, Saudaraku Menjadi Manusia Perahu




Belum hilang di dalam benak kita mengenai tragedi manusia perahu yang menimpa saudaraku di Rohingya. Kini telinga kita dihangatkan kembali dengan tragedi manusia perahu yang menimpa saudaraku di Syiria beberapa negara Timur Tengah lainnya. Tidak terhitung lagi berapa jumlah jiwa yang terdiasporakan. Tercatat sudah ratusan ribu para imigran yang memohon suaka pada negara-negara Eropa.

     Aylan Kurdi salah seorang bocah yang ditemukan terkapar tidak bernyawa di pesisir pantai Turki kini menjadi simbol dari penderitaan mereka. Berkatnyalah jutaan pasang mata dunia mulai menilik tragedi yang menimpa saudara-saudaraku. Sebelumnya tragedi ini terlihat adem-adem saja dan tak menarik banyak perhatian. Namun kini semua manusia lintas bangsa, etnis, dan agama mulai menaruh simpati pada tragedi yang menimpa mereka.

       Pola sejarah seakan berulang. Tragedi manusia prahu seakan terus menjadi tragedi yang selalu menghiasi zaman di setiap peradaban. Mereka yang lemah selalu menjadi korban dari kebiadaban manusia tamak.

     Mereka menjadi pesakitan di negeri sendiri dan bertaruh kematian di negeri orang. Bagaimana tidak, setiap perjalanan mereka selalu memakan korban jiwa. Tidak semuanya menemukan jalan mulus untuk mencapai tujuannya. Belum lagi perlakuan diskriminatif yang kerap kali terjadi. Belum lama kita dipertontonkan seorang wanita biadab yang berlaku tak berprikemanusiaan menyerang para pengungsi yang berusaha melewati Hungaria. Betapa pedih kalau kita bayangkan perjalanan mereka menuju negeri baru.

    Beberapa negara bersedia menampung dengan melonggarkan persyaratan seperti Jerman. Negara tersebut bersedia menampung sekitar 800.000 pengungsi. Jerman menjadi salah satu negara terbanyak yang berani menampung para pengungsi Suriah tersebut. Beberapa negara ada yang berprilaku diskriminatif primordial, baik etnis maupun agama. Memang kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan negara tersebut. Karena menampung ribuan manusia butuh pertimbangan sosial, budaya, ekonomi yang cukup matang. Karena jika tidak negara yang menjadi konvensi pengungsi malah akan mendapatkan masalah baru.

Dimana negara-negara Islam?

      Ketika orang-orang Muslim Suriah sedang berrlomba mencari suaka dinegari Eropa nampaknya negara-negara Muslim di Timur Tengah sedang duduk nyaman di atas sofa sambil menikmati oasis di padang pasir. Kata-kata tersebut merupakan kiasan bagi negara-negara Muslim Tengah yang seakan tutup mata dan tutup telinga atas kejadian ini. Peran mereka tidak sebanding dengan negara-negara Eropa yang beberapa di antara mereka membuka pintu negaranya lebar-lebar.

      Dimanakah kalian para saudara seimana. Tidakah kalian iba melihat saudara kita seiman terkatung-katung kelaparan, kehausan, kesakitan, bahkan kematian siap siaga menjemput mereka. Negara yang sebagian dari kalian menganggapnya kafir malah bertindak bak malaikat.

     Para pengungsi memang dengan sengaja memilih negara-negara Eropa sebagai pelarian. Karena beberapa negara-negara di Eropa menjadi anggota konvensi pengungsi. Sehingga kehadiran mereka kemungkinan akan diterima baik. Walaupun dalam perjalanannya tidak selalu begitu. Namun sebagian dari pengungsi kini telah tertampung di beberapa negara Eropa. Namun ratusan ribu lain masih terkatung di laut maupaun pengungsian.

Lagi, Politik Menjadi Faktor Penyebab

        Para pengungsi berimigrasi ke negara lain bukan tanpa sebab. Sebagian besar kasus dispora pengungsi suatu negara disebabkan faktor keamanan-politik beberapa mungkin ekonomi. Namun dalam konteks yang lebih kontemporer kebanyakan kasus adalah politik. Semisal pada tahun 1979 manusia perahu dari Vietnam dan Kamboja yang merupakan korban dari gejolak politik Indocina. Sebelumnya diaspora etnis Rohingya dari Miyanmar yang disebabkan tekanan militer dan kebijalan diskriminatif. Dan kini kasus diaspora para imigran Surah yang pula disebabkan faktor politik dan keamanan.

       Bagi mereka tanah air bukan lagi menjadi tempat berlindung yang aman. Desingan peluru dan ledakan bom seakan menjadi santapan rutin mereka. Krisi keamanan yang disebabkan pergolakan militer dan politik tersebut yang kemudian memunculkan korban pada tingkat bawah. Pada akhirnya masyarakat sipil yang lemah menjadi korbannya.

        Politik memang tidak buruk, namun jika bercampur dengan kepentingan, politik akan jauh lebih busuk dari bangkai. Andai kalian sadar para pemilik kepentingan, Kepentingan kalian tidak lebih dari glora ketamakan hati kalian. Meskipun menyelimuti kepentingan tersebut dengan motif agama dan kesejahteraan sosial, namun pada akhirnya perebutan kancah kekuasaan yang melibatkan militer hanya membawa kesengsaraan. Untuk apa memuluskan kepentingan golongan yang berselimutkan agama , sementara ketentraman sosial harus dikorbankan.

Wallahu'alam Bishawwab