Seni Marawis
Sebagai Media Dakwah dan Pelarian Positif Anak
Bagi anda yang
tinggal di sekitar wilayah Jabodetabek mungkin tidak asing mendengar kata
marawis. Marawis atau Hajir Marawis merupakan salah satu jenis band tepuk yang berasal dari wilayah Timur Tengah
(Yaman). Awalnya alat seni musik marawis hanya terdiri
dari dua jeni alat saja, yakni hajir (gendang besar) dan marawis (gendang kecil
biasa disebut kepak/rempak). Namun pada masa kekinian terjadi penambahan
alat-alat gambus seperti dumbuk(darbuka) dan markis (simbal dan tamborin).
Marawis biasa membawakan lagu-lagu beriramakan sholawat terkadang juga
qasidah. Seni ini biasa dimainkan
maksimal 15 orang. Terdapat 4 irama dasar yang menjadi pakem seni ini, yakni,
jahefah 1, jahefah 2, sara, dan zapin.
Sebenarnya seni ini
sudah tersebar di hampir seluruh plosok Indonesia, namun lebih berkembang di
wilayah Jabodetabek. Hal ini dikarenakan banyaknya even-even perlombaan yang
dilaksanakan di wilayah ini. Selain itu, dibeberapa wilayah seni ini masih digunakan
untuk mengarak pengantin, mengiringi acara pernikahan, khitanan, maulidan, dan
beberapa acara besar Islam lainnya. Meskipun terbilang seni musik tradisional,
namun perkembangan seni ini cukup pesat, bahkan beberapa sekolah dan lembaga
pemerintah menjadikannya sebagai kegiatan ekstra. Hal ini menunjukan bahwa
marawis sebagai seni yang di impor dari Timur Tengah cukup diterima dengan baik
oleh masyarakat Indonesia.
Marawis sebagai
seni juga tidak hanya berperan sebagai hiburan, melainkan sebagai media dakwah.
Hal ini dikarenakan lagu-lagu sholwat yang dilantunkan tersirat nilai-nilai
keislaman. Baik sanjungan terhadap Allah SWT, nabi Muhammad dan keluarga, dan
pesan-pesan moral Islam. Maka dari itu marawis setidaknya mampu menyampaikan
nilai-nilai keislaman melalui sebuah lantunan nada dan sholawat.
Dakwah Islam yang
hingga kini tersus digalakan demi memberikan pemahaman keislaman yang kaffah
bagi umat Islam. Berbagai media digunakan demi tersampaikannya nilai-nilai
dakwah Islam. Tak terkecuali dengan seni marawis yang dapat pula dijadikan
sebagai media dakwah. Dakwa melalui seni bukan merupakan hal baru, beberapa
wali, ulama, dan ustadz telah membuktikan bahwa seni dapat menjadi media dakwah
yang efektif. Namun pertanyaannnya, di manakah nilai-nilai dakwah Islam harus
disisipkan dalam seni marawis. Dengan pesan-pesan dakwah yang tersirat dalam
lagu marawis apakah akan mudah dicerna oleh pendengar, mengingat kebanyakan
lagu berbahasa Arab.
Menyisipkan misi
dakwah dalam seni memang tidak melulu harus disampaikan dalam konten
penampilannya. Namun dapat pula disampaikan dalam proses pelatihan, Dalam hal
ini perlunya pemberian materi keislaman dalam proses melatih. Pelatih marawis
dituntut pula untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar keislaman. Atau setidaknya mencontohkan akhlak-akhlak
Islami dalam proses melatih. Sehingga anak-anak yang menggiati seni marawis
tidak hanya menerima materi formal seni marawis, namun ada nilai-nilai dakwah
yang disampaikan. Singkatnya dakwah Islam yang disampaikan tidak melulu harus
pada substansinya, namun juga bisa pada proses pembentukan sebuah tim.
Selain itu perlu
adanya modifikasi lagu-lagu marawis. Lagu sholawat dan qasidah yang kebanyakan
berbahasa Arab akan sulit dimengerti bagi mereka yang tidak biasa dengan bahasa
Arab. Maka dari itu, diperukan modifikasi atau setidaknya konversi lagu-lagu
sholawat Islami ke dalam bahasa Indonesia. Beberapa sudah dilakukan, dan hal
ini terbukti dapat mudah diingat oleh para pendengarnya.
Selain sebagai
media dakwah Islam, seni marawis juga dapat menjadi alternatif pelarian positif
anak. Pada masa sekarang anak-anak dan remaja sudah mulai sulit untuk mencari
ruang untuk bermain dan berexpresi. Maka dari itu banyak akhirnya dari mereka
yang tumbuh menjadi manusia hedon, anti sosial, dan demoralitas. Karena
kurangnya ruang berinteraksi dan berexpresi, pada akhirnya mereka mencari
pelarian-pelarian yang berkecenderungan pada hal-hal negatif.
Marawis kini sudah
merambah keberbagai lapisan masyarakat. Baik lebaga institusional seperti sekolah
maupun swadaya masyarakat ataupun individu seperti masjid dan majlis ta’lim di
wilayah-wilayah setingkat RT. Melihat
hal tersebut membuka peluang seni marawis untuk ikut berperan menjadi pelarian
positif anak. Di dalam suatu tim marawis seorang anak dituntut untuk bekerja
secara tim. Maka dari itu, interaksi yang baik antar indovidu menjadi hal
mutlak untuk menciptakan tim marawis yang baik. Meraka juga dituntut untuk
melatih ingatan terhadap pukulan dan lagu-lagu sholawat. Dan yang paling
penting adalah anak diberikan ruang untuk berkompetisi dalam ajang-ajang
perlombaan ataupun festival. Sehingga mental dan percaya diri mereka akan
terbangun.
Seni marawis yang
nampaknya terlihat sepele dan berjalan tanpa ada perhatian lebih ternyata
memiliki beberapa fungsi yang dapat dimaksimalkan. Diantaranya sebagai media
dakwah dan media pelarian positif anak. Maka dari itu, marawis seyogyanya tidak
hanya dijadikan ajang pencarian material bagi para pelatih atau ajang pamer
kemahira dalam lomba demi mendapat popularitas dan materi yang tak seberapa.
Namun lebih dari itu, seni marawis akan terlihat berwibawa jika dimanfaatkan
sebagai media dakwah Islam dan pembentukan karekter anak.
Wallahu’lam
Bishawwab.