Biarkan Kami Tetap Menjadi Islam Periferal
Belakangan
agenda purifikasi kian marak di Indonesia. Muslim di Indonesia oleh para
penggiat purifikasi dianggap bukan merupakan Islam yang murni layaknya Islam di
Timur Tengah. Sebenarnya agenda purifikasi sudah marak sejak tahun 1926. NU
menjadi organisasi yang merespon agenda purifikasi tersebut.
Istilah Islam periferal merupaka istilah yang digunakan oleh
beberapa Islamicist untuk
menggambarkan kondisi umat Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.
Secara geografis umat Islam di Indonesia memang pantas dikatakan periferal,
karena memang letaknya yang jauh dari tempat dilahirkannya Islam, Haramayn.
Selain itu Indonesia juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang menerima Islam
paling belakangan. Jadi sudilah nampaknya kalau Islam Indonesia dikatakan periferal
dalam konteks geografi dan timing.
Namun, dalam konteks Islam esensi atau sisi normatif apakah benar
Islam di Indonesia pantas dikatakan periferal. Melihat Islam Indonesia sebagai
Islam yang pula memperaktikan secara kaffah
praktik-praktik keagmaan yang tertuang dalam al-Qur’an dan sunnah. Namun
esensi Islam yang bercampur dengan budaya lokal Indonesia kerap kali menjadi
alasan untuk menuduh bahwa Islam Indonesia adalah Islam periferal.
Memang kita tidak dapat pungkiri bahwa Islam di Indonesia sangat
khas dengan percampuran antara nilai keagamaan Islam dengan budaya lokal. Hal
ini memang terjadi karena beberapa alasan yang butuh diskusi cukup panjang.
Kita ketahui bersama bahwa proses Islamisasi di tanah Nusantara menjadi
islamisasi yang berjalan dengan damai (pece
penetration). Tidak seperti Islam dibeberapa wilayah di Asia Timur Tengah,
Selatan, dan Asia Tengah, yang kebanyakan dari proses Islamisasinya bermotifkan futuh atau perluasan wilayah. Sehingga
peran politik dan militer sangat kentara.
Namun dalam konteks Indonesia Islamisasi dilakuakan dengan berbagai
cara-cara damai. Baik melalaui jalur perdagangan, perkawinan, maupun sufisme.
Namun yang pasti Islam yang dibumikan di Indonesia sangat adaptif dengan budaya
lokal. Hal tersebut memang tidak lepas dari para penggiat islamisasi yang
dengan teguh memagang prisnsip peace
islamization. Para penggiat Islamisasi sepert Wali Songo dan ulama-ulama
terdahulu sangat mengakomodir budaya lokal.
Para penggiat Islamisasi pada masa awal berusaha masuk kedalam
relung cipta, rasa, dan karsa masyarakat Nusantara. Mereka tidak menghilangkan
nilai-nilai fundalmental yang telah tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Mereka hanya menyusupkan nilai-nilai keislaman dalam budaya masyarakat yang telah terlebih dahulu berkembang. Nampaknya
mereka paham jikalau menggunakan pendekatan revolusioner akan menimbulkan
konflik. Dan hasilnya, Islam kini dapat tesebar
keeluruh antero Indonesia dan menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Namun para penggiat Islamisasi awal tidak sepenuhnya mengakomodir
budaya lokal. Hanya budaya-budaya yang selaras ataupun tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kesilaman yang dilestarikan. Judi, mabuk-mabukan, dan pelacuran
yang dalam sudut pandang agama Islam maupun sosial
bertentangan, maka dihapuskan.
Setelah menilik sejarah Islamisasi, nampaknya kaum purifikasi tidak
berperan penting dalam proses Islamisasi di Nusantara. Malahan banyak kasus
purifikasi yang menimbulkan konflik di masyarakat Nusantara. Singkatnya agenda
purifikasi tidak pernah berhasil di Inodnesia. Sekalipun mereka berhasil,
jumlahnya sangat kecil, dan kebanyakan hanya dikalangan pemeluk Islam awam
yang dalam pemahaman kislamannya masih dangkal.
Para purifikasi seperti Wahabi tidak segan menjust kafir atau
membid’ahkan golongan yang tidak selaras dengan mereka. Mereka menganggap
golongannya yang paling murni (pure) dan merupakan cerminan Islam pada masa
rasulullah.Namun benarkah demikian. Dalam konteks sejarah masa lalu tidak
sepenuhnya dapat direkonstruksi. Pastinya terdapat penafsiran yang berbeda
dengan satu sama lainnya, padahal menggunakan sumber yang sama.
Begitupun dengan penafsiran
sunnah dan al-Qur’an. Sunnah dan al-Qur’an sudah terbiasa ditafsirkan berbeda.
Asalakan tidak saling menyalahkan dan menjatuhkan produk tafsir yang satu dan
lainnya tidak masalah. Karena esensi keislaman yang hakiki adalah bagaimana
menjadikan nilai-nilai kesilaman dapat menjadikan kehidupan manusia menjadi
harmonis dan menciptakan hubungan timbale balik
yang baik antar manusia dengan tuhan, maupun antara sesame manusia. Furu’iyyah dan perbedaan penafsiran nampaknya harus disikapi
biasa saja. Asalkan pakem-pakem dasar keislamian masih berpegang teguh saya
rasa tidak perlu dipermasalahkan beda satu sama lain.
Yang penjadi permasalahan adalah ketika suatu golongan menganggap
golongan mereka paling baik dan paling murni (pure). Dengan satu dua teks ayat dan hadis saja dengan mudahnya
mereka mengklaim golongan yang berbeda dengan mereka kafir dan menjust praktik
golongan lain bid’ah. Bukankah sejak Islam dilahirkan Islam sudah terbiasa
berbeda. Menyatukan Islam dalam satu konteks nilai normatif yang sama adalah
sebuah mimpi di siang bolong. Islam sudah terbiasa bercabang. Yang perlu
diluruskan bukanlah cabangnya, namun pertentangannya. Bagimana cabang tersebut
tidak memunculkan pertentangan itulah yang kita fikirkan bersama. Bukan lagi
bertentang siapa yang paling benar dan murni.
Seharusnya agenda purifikasi yang dialkukan para puritanis sudah
tidak laku di Indonesia. Namun amat disayangkan para puritanis banyak menyerang
mereka yang dangkal pemahaman Islamnnya dan para muallaf. Saya fikir ini
menjadi tugas para Islam Moderat untuk turun gunung menyemaikan bibit pemahaman
Islam yang harmoni dan netral.
Islam Indonesia seharusnya tidak lagi memperdebatkan nilai-nilai
normatif dalam Islam, karena yang penting dari Islam
adalah esensi atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukan hanya symbol-simbol keimanan. Tidak lelahkah kita berdebat hanya pada ranah Islam Normatif.
Sementara agama-agama lain tengah sibuk membangun dan melagkah maju.
Skarag saatnya kita para umat Islam mempersiapkan agenda-agenda
kemajuan. Dari pada sibuk berdebat pada ranah normatif, lebih baik kita
berfikir memajukan pendidikan Islam, menyejahterakan umat Islam, ikut
berpartisipasi membangun negeri dna agenda-agenda sosial lainnya. Bukan berarti
sisi normatif Islam tidak lagi penting. Biarkanlah sisi tersebut terselip dalam
setiap relung hati individu. Biarlah nilai-nilai tersebut terpatri kuat dalam
sanubari sebagai kontrol sosial.
Yang kemudian ingin saya katakan adalah, purifikasi Islam tidak
lagi dibutuhkan untuk masyarakat Islam di Indonesia. Tidak masalah kalau
justifikasi periferal tersebut melekat pada umat Islam Indonesia. Toh
sesungguhnya nilai-nilai keislaman yang tersebar luas merupakan nilai kesilaman
yang ajeg tertera dalam sunnah dan qur’an. Jangan hanya karena Islam yang
adaptif dengan dan akomodatif dengan budaya lokal lantas umat Islam Indonesia
dicap kafir dan ahlul bid’ah. Jika keperiferalan ini dapat menumbuhkan
keharmonisan dalam Islam dan diluar Islam, jalan inilah yang terbaik. Ketimbang
purifikasi yang hanya akan menimbulkan konflik horizontal. Sampai suatua saat
tiba bahwa kebangkitan Islam akan berpangkal pada muslim perifearal seperti
yang dikatakan Fazlurrahman dan John L. Esposito.
Wallahu’alam Bishawwab