Peristiwa Tolikora Menjadi Moment Kebangkitan Islam di Papua
Peristiwa
Tolikora pada tanggal 17 Juli 2015 lalu yang menyebabkan satu mushollah dan
tujuh kios terbakar menjadi luka bagi umat Muslim Indonesia. Ditambah lagi
peristiwa ini terjadi di hari yang suci. Dugaan awal peristiwa ini didalangi oleh surat edaran
pelarangan melaksanakan lebaran (shalat idul fitri) dengan menggunakan speaker
yang disebarkan oleh GIDI (Gereja Kristen di Indonesia). Dengan dimotori oleh
puluhan pemuda gereja, serangan dilakukan pada pukul tujuh pagi waktu setempat.
Kejadian ini sontak menarik perhatian seluruh masyarakat dari semua lapisan.
Baik pemerintah, politisi, atau masyarakat bawah. Jelas saja, karena telah lama
hingar bingar konflik tidak terdengar di bumi pertiwi ini.
Dalam
penanganan kasus ini nampaknya penulis agak kecewa karena sangat ditutup tutupi,
baik oleh pemerintah maupun para penggiat HAM. Bahkan para saksi atau korbanpun
tak pernah dipublikasikan pendapatnya. Yang lebih miris lagi, umat Islam yang
menjadi korban namun umat Islam yang pula dipersalahkan. Jelas-jelas pelarangan
penggunaan speaker untuk beribadah dan pelarangan penggunaan jilbab yang
disosialisasikan melalui surat edaran sudah menjadi bukti pelanggaran HAM. Para
penggiat HAMpun seakan terperangak tak bersuara menanggapi hal tersebut.
Namun
di balik
peristiwa yang melukai perasaan umat Islam itu terdapat hikmah yang hurus
dipetik. Karena pasca kejadian tersebut seluruh ratapan mata masyarakat Islam
Nusantara tertuju pada Bumi Cendrawasih.
Sebelumnya minoritas Islam di Papua tidak terdengar hingar bingarnya. Meraka
ada namun tidak menjadi pusat perhatian. Maka dari itu dengan kejadian ini
setidaknya umat Islam di Indonesia khususnya dapat memberikan perhatian lebih
bagi keberadaan mereka. Mengingat masih banyak fasilitas dan tenaga pendakwah
di Papua yang harus ditambah demi kelancaran dakwah Islam di Papua.
Pada
kasus ini umat Islam Indonesia memang nampaknya bersikap agak arif. Mereka
menentang namun dengan cara-cara yang beradab. Tidak dengan protes keras, demo
anarki, dan lain sebagainya. Namun tidak hanya bicara, beberapa dari komunitas
muslim dan para pendakwah membuat organisasi-organisasi filantropi yang
dimaksudkan untuk membangun kembali fasilitas ibadah yang rusak atau untuk
menunjang kegiatan dakwah di Tolikora. Sehingga hal ini dapat menjadi awal pra
syarat agar umat Islam di Papua dapat bangkit.
Memang
untuk mengatakan kebangkitan Islam di Papua nampaknya agak prematur. Masih
banyak pra syarat untuk mengidentifikasikan sebuah kebangkitan. Namun
setidaknya peristiwa Tolikora lalu dapat menarik pandangan dan hati masyarakat
Muslim Nusantara untuk bersinergi membumikan Islam di tanah Papua.Wallahu’alam Bishawwab
24-07-2015