Oleh: Dirga Fawakih
Ketika berada di smester 5 saat kulian di jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam mulai muncul pertanyaan dalam benak saya
terkait tugas seorang sejarawan. Mulai dari smester satu sampai
dengan smester 5 saya selalu disuguhkan kajian kajian kesejarahan Islam lintas
kawasan maupun lintas pendekatan. Hal itulah yang kemudian menstimuls pemikiran
saya dan munculah pernyataan dalam diri saya bahwa sejarawan memiliki tugas
yang cukup berat karena harus mengingat sebuah peristiwa lintas kawasan dan
lintas pendekatan. Tidak hanya itu, sejarawan bahkan ditutut menjadi aktor yang
arif dan obyektif dalam menhistoriografikan sebuah penelitian sejarah. Kalau
begitu amat berat ya tugas saya sebagai calon sejarawan professional, tukas
saya lirih.
Diskusi dalam artikel ini saya dedikasikan untuk sahabat saya satu
jurusan, yakni saudari Wilda Eka Safitri. Suatu malam pada tanggal 12 Mei 2015
ia mengirim sms saya untuk mendiskusikan terkait tugas sejarawan yang telah
saya paparkan di atas. Kurang lebih seperti ini pertanyaannya “beberapa kali
baca buku sejarah ada tulisan yang sama dengan gaya bahasa yang berbeda.
Intinya mereka bilang bahwa, orang yang palin berat tugasnya di dunia ini
adalah sejarawan. Karena mereka yang mengetahui sejarah dari
fase-kefasenya”. Namun penulis belum
sempat menindaklanjuti diskusi via sms tersebut. Selain alasan tidak memiliki
pulsa karena keterbatasan penggunaan kata dalam pesan singkat tersebut. Belum
lama saya menghapuskan pesan-pesan di handphone saya dan saya membaca kembali
pesan yang belum sempat saya balas ini. Maka dari itu dalam diskusi ini
penulois ingin mencoba memeparkan bahan diskusi yang sempat diajukan sahabat
saya ini.
Seperti yang telah saya paparkan di atas, permasalahan mengenai
beratnya tugas sejarawan sudah saya rasakan dan fikirkan saat di smester 5.
Karena sejarawan banyak dicekoki kajian-kajian sejarah lintas kawasan,
pendekatan, bahkan harus juga menghafal teori atau hukum yang berasal dari
ilmu-ilmu sosial dan humaniora lainnya. Selain itu sejarawan dituntut menjadi
manusia yang obyektif yang nampaknya sifat tersebut hanya dimiliki oleh Tuhan.
Belum lagi sejarah harus menghafal berbagai pristiwa penting dari
masa-kemasa. Hal tersebut yang juga
sempat menggeliat di dalam benak penulis.
Dalam diskusi di smester 6 saya masih ingat kala itu mata kuliah
Kapita Selekta Islam di Asia Tenggara, Ibu Hj. Tati Hartimah M.A sebagai
pengampu mata kulaih tersebut. Berbagai pertanyaan yang menggeliat didalam
benak saya saya coba ungkapkan pada saat sesi diskusi selesai. Kira-kira
seperti ini pertanyaan yang saya ajukan “Sejarawan dituntut untuk mengetahui
teori dan hukum-hukum dalam ilmu sosial, sejarawan juga dituntut menngetahui
berbagai peristiwa sejarah dari masa kemasa, lebih jauh sejarawan juga dituntut
untuk menjadi manusia yang obyektif, bukankan itu tugas yang banyak dan sangat
berat bagi sejarawan?.”
Pertanyaanku langsung disambut semangat dan gairah penjelasan yang
berapi-api ala bu Tati. Beliau menjawab, bahwa memang benar sejarawan dituntut
untuk mengetahui hukum-hukum dalam ilmu sosial, sejarawan juga dituntut untuk
mengetahui kronik sejarah secara utuh, sejarawan juga dituntut untuk menjadi
manusia yang obyektif. Namun ingat bahwa daya ingat manusia sangat terbatas
untuk mengingat dan menghafal semua peristiwa unik dalam dunia ini. Bahkan
tidak satupun sejarawan yang benar-benar memahami sejarah dunia secara utuh,
meinkan hanya kulitnya saja. Maka dari itu perlu adanya pemfokusan (penjurusan
atau konsentrasi) bagi para sejarwan. Tidak
ada tuntutan bagi sejarawan untuk melahap semua peristiwa sejarah atau memahami
secara utuh sejarah dari nabi Adam sampai dengan sekarang.
Berkaitan dengan keobyektifan seorang
sejarawan mungkin ini yang selalu menjadi pertanyaan. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa sejarah tidak memiliki keobyektifan layaknya ilmu eksak. Oleh
karena itu sejarah sering dikaitkan dengan sastra. Akan tetapi sejarah juga
memiliki metode dan metodologi untuk mencapai keobyektifan, meskipun tak dapat
dipungkiri bahwa keobyektifan secara penuh sulit dicapai. Karena penulisan
sejarah berdasarkan satu sudut pandang penulisnya (sejarawan). Namun nampanya
metode, metodologi, penggunaan teori-teori ilmu social, dan pendekatan multi
dimensional dapat medekatkan sejarah sedakat-dekatnya dengan keobyektifan.
Memang nampaknya keobyektifan ilmu sejarah sebagai ilmu social-humaniora belum
atau bahkan tidak bisa disandingkan dengan keobyektifan ilmu eksak. Atau
mungkin keduanya perlu didikotomikan, atau bahkan keobyektifan ala ilmu eksak
yang perlu digugat. Mengingat hingga kini banyak ilmuan eksak yang saling gugat
menggugat teori. Yang pasti “kebenaran hanya milik Tuhan dan jangan sekali-kali
engkau menjadi orang yang ragu”.
Poin yang paling penting adalah pemfokusan atau konsentrasi dalam
pengkajian ilmu sejarah. Pemfokusan bisa saja dalam kecenderungan kawasan atau
kecenderungan pendekatan. Misalakan ada sejarawan yang dalam kariernya
mendedikasikan karyanya pada
kawasan Asia Tenggara, contoh seperti Anthony Reid. Lebih kecil lagi bisa fokus
dalam satu kawasan nation-state, seperti dosen SKI UIN Jakarta Dr. Sudarnoto Abdul Hakim yang memfokuskan karyanya pada sejarah
politik Malaysia. Sama halnya dengan penulis yang memfokuskan karya penulis
pada sejarah Islam di Kamboja. Meskipun pada akhirnya pemfokusan tersebut tidak
melulu harus menghalangi seorang sejarawan untuk menulis kajian lain. Namun
fokus besar kajiannya (experties)
terfokus pada sejarah kawasan.
Jika contoh di atas adalah terkait fokus pada kawasan, ada juga
sejarawan yang juga memfokuskan pada satu lokal dan satu pendekatan, misalkan
fokus pada pendekatan sosial, politik, agama, budaya, dan sebagainya. Ada pula
yang memfokuskan pada periodesasi, misalkan dosen SKI UIN Jakarta Dr. Fuad
Djabali yang memfokuskan kajiannya pada Islam periode klasik. Namun belakangan
juga pendekatan total history atau sejarah total yang mana
pendekatan tersebut menitikberatkan kajian pada satu kajian sejarah dengan berbagai pendekatan, seperti M.C Ricklef dengan karyanya
Sejarah Asia Tenggara dari Periode Klasik Hingga Kontemporer.Karya Phillip
K. Hitti Histoy of the Arab, buku Sejarah Nasional Indonesia
terbitan Balai Pustaka, Indonesia dalam Arus Sejarah karya Taufik
Abdullah dkk., History of Cambodia karya David P. Chandler, Sejarah
Islam Klasik karya Musyrifah Sunanto dan banyak karya lainnya.
Beberapa karya sejarawan tersebut sudah cukup memberi bukti pada
kita bahwa sebenarnya sejarawan tidak mampu dan tidak pula dituntut untuk
memahami sekian banyak kajian sejarah. Yang penting bagi sejarawan adalah fokus
pada satu kajian, entah kajiannya bersifat kawasan dengan multiapproach ataupun
dengan satu pendekatan ilmu sosial-humaniora. Karena sejarawan dituntut untuk
mengetahui secara tuntas dan habis apa yang menjadi keahliannya (experties). Singkatnya sejarawan
dibolehkan untuk “bisa sedikit tapi banyak” namun lebih dituntut untuk menjadi
“bisa banyak tapi sedikit”. Begitu saudari Wilda kiranya pemaparan argumen
saya.
Wallahu’alam Bishawwab.
Dirga
Fawakih
18-07-2015