Islam Nusantara, Adhesi Islam dengan Budaya Nusantara

Islam Nusantara, Adhesi Islam dengan Budaya Nusantara
Oleh: Dirga Fawakih

Sumber gambar: www.republika.co.id

Belakangan terdapat isu yang cukup menarik perhatian masyarakat Muslim Indonesia, yakni mengenai penyebutan Islam Arab dan Islam Nusantara.  Kedua julukan tersebut ramai diperdebatkan. Hemat penulis semua berawal dari peringatan maulid nabi Muhammad saw yang kala itu dilakukan di Istana Negara. Ketika itu seorang Qari yang ditugaskan untuk membaca al-Quran menggunakan lagam jawa dalam membawakan qiraatul quran. Sejak peristiwa tersebut munculah Istilah Islam Arab dan Islam Nusantara yang dipopulerkan oleh Jokowi. Walaupun sejatinya Islam Nusantara bukan istilah baru. Jargon Islam Nusantara telah lama menjadi bahan diskusi yang hangat para akademisi.

Sebenarnya apa itu Islam Arab dan Islam Nusantara? Sampai sekarang memang sebenarnya belum ada kesepakatan dari beberapa ahli mengenai definisinya. Namun hemat penulis, Islam Arab merupakan Islam yang erat kaitannya dengan budaya Arab begitupun dengan Islam Nusantara, Islam yang beradhesi dengan budaya Nusantara. Namun kebanyakan perdebatan tidak menemukan titik temu dikarenakan mereka memandang kedua Istilah tersebut sebagai sebuah ideologi Islam.
Sejatinya Islam merupakan ajaran yang baku dan memiliki nilai yang ajeg. Islam itu telah kokoh berdiri sebagai sebuah hukum yang mengatur kehidupan spiritual dan sosial manusia. Namun ketika Islam berkembang disuatu daerah yang memiliki budaya tertentu, bisa dipastikan kedua nilai ini akan melakukan adhesi atau penyatuan namun tanpa menghilangkan identitas salah satunya. Tidak terkecuali dengan Islam di Tanah Arab.

Jika kita mencermati, sebenarnya Islam di Tanah Arabpun mengadopsi budaya yang berkembang di Tanah Arab sebelum Islam. Seperti penggunaan gamis (baju panjang), sorban, udeng, memanjangkan bulu janggut, dan memakai batu cincin. Budaya tersebut merupakan budaya yang telah berkembang pada masayarakat Arab sebalum kelahiran Islam. Dan nabi Muhammad sebagai manusia yang berada dalam lingkungan tersebutpun turut menggunakan atribut-atribut kebudayaan tersebut. Begitupun dengan Islam yang datang di Tanah Nusantara.

Islam di sebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan. Islamisasi di Nusantara menjadi Islamisasi yang paling harmonis dibanding dengan penyebaran Islam di Jazirah Arab dan di Asia Selatan yang kita tahu banyak menggunakan kekatan militer militer (futuh). Sejatinya ajaran Islam masuk ke Nusantara merupakan ajaran Islam yang pula memiliki hukum baku yang bersumber pada al-Qur’an dan hadis. Namun untuk menyebarkan dan memperkenalkan Islam para mubaligh dan pedagang harus melakukan pendekatan. Budaya menjadi pendekatan paling ampuh untuk membudayakan Islam.

Terbukti para ulama-ulama terdahulu, lebih memilih untuk mencoba mebudayakan Islam dengan masuk kedalam relung budaya Nusantara yang sejatinya telah terpatiri kuat dalam sanubari masyarakat. Dibanding mereka harus melawan arus budaya yang berkembang. Hal tersebut malahan akan menimbulkan konflik horizontal. Maka dari itu, sekarang kita menyaksikan Islam telah beradhesi dengan budaya lokal seperti tahlilalan, mauludan, kenduri, khitanan, nikahan, syukuran dan lain sebagainya. Islam diselipkan kedalam budaya yang berkembang tanpa menghilangkan budaya tersebut. Dan hal tersebut terbukti ampuh untuk membudayakan Islam. Penulis tidak tahu apa jadinya kalau yang pertama kali penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Puritan, seperti, Wahabi. Mungkin Indonesia tidak akan menjadi negara mayoritas Islam terbesar. Karena ketidak toleranan para penggiat purifikasi Islam dalam menyebarkan ajaran Islam.

Nah sekarang permasalahannya, banyak orang yang merasa kalau tidak menjadi Arab tidak Islamis. Sebagian orang merasa harus menjadi Arab terlebih dahulu untuk menjadi orang yang terlihat taqwa. Seperti dengan menggunakan sorban, gamis, panjang bulu janggutnya, menggunakan batu cincin. Padahal hal tersebut tidak lain hanya merupakan atribut kebudayaan Arab yang kebetulan digunakan olah Rasulullah. Penulis fikir tak ada salahnya  menggunakan atribut tersebut, yang salah adalah merasa paling Islam dan taqwa ketika menggunakan atribut tersebut. Apalagi sekarang kita melihat terdapat pengobatan yang melegitimasi  pengobatan Islami, contoh bekam. Padahal alat-alat bekam diproduksi oleh Cina. Dan pada terbukti bahwa pengobatan ini juga berkembang di Cina. Sekarang apakah masih bisa kita mengatakan bahwa pengobatan ini Islami?.

Islam di Nusantara juga memiliki simbol-simbol khas Nusantara. Bila Islam di Jazirah Arab akrab dengan udeng dan gamis, Islam di Nusantara akrab dengan peci, sarung, dan baju koko. Lalu pertanyaannya apakah salah jika kita menggunakan atribut-atribut khas Islam Nusantara dalam beribadah. Apakah memakai atribut khas Nusantara lebih rendah takwa dan kesilamannya dibanding dengan memakai udeng, sorban, dan gamis?. Apakah jika kita tak berjenggot dan dan tak memakai batu cincin bisa dikatakan lebih rendah takwanya?. Sementara hal-hal tersebut tidak lebih dari sekedar simbol-simbol kebudayaan, yang belum tentu ada kaitannya dengan Islam, dan hanya kebetulan nabi Muhammad yang lahir di Jazirah Arab memakainya.

Islam Arab atau Islam Nusantara, artikanlah keduanya sebagai Islam yang beradhesi dengan budaya lokal. Jangan memandang dengan dengan sudut pandang ideologis. Jangan-jangan dikemudian hari juga akan muncul Islam Cina, Islam Eropa, Islam Amerika, dan sebagainya. Apakah kita akan kembali membuka ruang debat untuk membicakana isu tersebut?, sungguh sangat membuang waktu. Hemat penulis, selama budaya yang berkembang tidak bertentangan dengan nilai agama Islam, sah-sah saja Islam beradhesi dengan budaya lokal.

Memang sekarang fenomena purifikasi Islam semakin santer. Entah memang benar purifikasi atau Arabisasi yang melegitimasi sebagai identitas Islam paling hakiki. Mereka tidak segan mengkafirkan, membid’ahkan, mendosa-dosakan orang lain. Mereka merasa bahwa apa yang mereka anut merupakan Islam yang paling baik. Dengan tidak mentolerir Islam di luar golongan mereka. Bahkan beberapa tak segan menggunakan kekerasan. Islam manakah sebenarnya yang paling baik?, adakah manusia yang mengetahui siapakah diantaranya yang paling suci dan berada di jalan paling benar?, bukankah hanya Allah yang maha mengetahui. Lalu untuk apa kita merasa paling benar dan merasa palin suci!.

Biarkanlah Islam menjadi Islam yang independen dengan nilai spiritual dan sosial yang kokoh. Biarkanlah Islam masuk menrobos relung setiap peradaban dan kebudayaan. Biarkanlah Islam berbaur dengan cipta, rasa, dan karsa setiap manusia. Yang paling penting dari Islam adalah esensi ajaran dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bukan mengedepankan simbol-simbol semata. Wallahu’alam Bishawwab.