Muncul
lagi berbagai rentetan kisah pilu yang melanda saudaraku satu manusia,
Rohingya. Tak cukup mereka menjadi bulan-bulanan sang Junta Militer. Entah
dasar apa manusia menindas manusia. Apapun alasannya, di kitab manapun adanya,
siapapun pelakunya nurani manusia nan hakiki akan menolak hal tersebut.
Belajarlah dari diasopra Cham dari serangan Viet, belajarlah dari diaspora umat
Yahudi dari serangan Nazi Jerman, bukankan berbagai kisah tersebut hanya
menyisakan pilu dan menggoreskan tinta sejarah kelam.
Atas
motif kekuasaan, perbedaan, dan keyakinan, manusia menghalalkan segala cara
untuk memuluskan sebuah cita. Yang seharusnya berbagai masalah tersebut dapat
dibicarakan secara bijak sambil duduk dan minum kopi, namun permsalahan
membesar dan melebar tak kunjung berujung. Dan akhirnya sang minoritas
terdiskriminasikan. Belum cukupkah sudara kita satu manusia menyendang gelar
etnis paling tertindas di dunia?.
“Masalah
etnis, agama, atau konflik horizontal bersekala kecil” begitu para analis dari
berbagai disiplin ilmu menyatakan motif ketertindasan sang Rohingya. Semenjak
masih aktif dalam diskusi di kelas, permsalahan Rohingya selalu menjadi
pembicaraan hangat yang tak kunjung berbuah solusi. Pak dosen tak jenuh
memberikan artikel dan berbagai sumber baru mengenai fakta-fakta terkait
Rohingnya. Namun, permasalahan tersebut masih sebatas bahan diskusi yang kiraya akan terus
menghangatkan meja diskusi. Sampai kini beritanya kembali menghiasi headline
mereka tetap menjadi etnis paling menderita sedunia.
“Butuh
analisa mendalam, butuh pendekatan, butuh pertemuan internasional terkait
masalah ini” tutur mereka para konseptor. Terlalu berlebihan menurut saya, saya
sudah lelah menganalisa masalah yang sudah jelas namun tidak kunjung
mendapatkan kejelasan. Yang kita butuhkan hanyalah satu kalimat yang menjadi
pelajaran ketika SD dalam mata pelajaran PPKN, yaitu “tenggang rasa” ikut
merasakan persaan orang lain.
Apa
“sih” masalah di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan dengan duduk bersama, selama
tidak ada kepentingan dan motif di dalamnya?. Begitupun masalah etnis Rohingya.
Mereka yang pintar seakan bodoh mendadak dan tidak mengerti cara menyelesaikan
masalah ini.
Pernahkah
kita sebelum tidur membayangkan bagaimana jika berada dalam posisi mereka.
Terdiskriminasikan di kampung halaman, terombang-ambing di laut berbulan-bulan,
menahan kelaparan, dan menahan rasa sakit yang mendera dalam kapal yang penuh
sesak. Dalam renungan saya, siapa yang ingin menjadi seperti mereka?.
Mereka
tertindas bukanlah keinginan sejak lahir, namun terdapat kausalitas
(sebab-akibat). Mereka adalah akibat dari sebab sang manusia tamak dan angkuh. Masalah mereka
kini bukan lagi masalah agama, keyakinan, konflik kecil, maupun etnis. Mereka
adalah korban dari kebobrokan moral para pemimpin nation-state.
Dirga Fawakih