Kadang kita luput, bahwa meradikalnnya seorang muslim tidak terlepas dari aspek internal, yakni paham keagamaan yang dengan maksud tertetu diradikalkan dan dikeluarkan dari aspek kontekstualnya.
Paham keagamaan Islam yang sangat elastis untuk ditafsirkan, membuat para guru agama radikal, bebas berselancar menjamah pikiran para pemuda yg sedang norak-noraknya memahami Islam.
Islam norak yang merupakan paham Islam yang baru dikenal, dangkal, dan suka melebih-lebihkan inilah yang tanpa disadari telah menjadikan seorang muslim radikal sejak dalam fikiran.
Baginya Islam hanya hitam-putih, halal-haram, kafir-mukmin, dosa-pahala, neraka-surga dan seterusnya.
Paham itu ia peluk, ia bawa kemana mana, ia pamerkan dan dihasudkan kepada orang lain. Dan tidak lupa diberi label "Islam paling benar, yang lain hanya tiruan".
Dan yang parahnya lagi adalah mengemas kenorakannya dalam terminologi "hijrah".
Banyak kasus kenorakan dalam memahami Islam ini menjalar di kalangan pemuda yang sebagian besar tidak terdidik sejak kecil dalam keluarga dengan paham Islam yg kuat dab atau lembaga pendidikan Islam.
Kebanyakan generasi Islam norak ini lahir dari rahim sistim pendidikan umum, dimana studi keislaman yang minim didapatkan lewat kurikulum tambahan (ekstra kurikuler) kerohisan, unit kegiatan mahasiswa, atau sekedar kongkow di serambi masjid.
Islam yang sebelumnya ia kenal hanya kulitnya, kini dikenalkan kulit dalamnya lewat para guru pembimbing, murobi atau mentor yg juga sedang norak-noraknya menggurui dan bahkan pehamananya belum sampai menyentuh "tulang Islam".
Kenorakaan inilah, yang tanpa disadari menjadi salah satu faktor merdikalnya seseorang. Karena paham Islam yang disampaikan separuh, dangkal dan tidak komparatif. Meskipun saya tidak katakan ini akan sampai pada tahap ekstrimis.
Tapi jika dibiarkan, lambat laun kenorakan inilah yang menjadi bibit unggul tumbuhnya benih ekstrimisme Islam jika dipupuk dengan "NPK (istilah untuk pupuk tanaman) ekrimisme".
Dibanding terlalu cepat dipamerkan, berkoar kesana-kemari, saya kira baiknya simpan dan dalami pemahaman Islam yang baru dikenal itu.
Untuk apa buru-buru menghasudkan "satu ayat" yang bahkan ayat itu belum pernah dilihat dan dipahami, alias hanya modal dengar.
Berguru dengan tidak hanya pada satu guru, membaca dan memastikan dalil-dalil hukum Islam sendiri, berdiskusi dengan berbagai kalanga, membaca tafsir, memahami asababun nuzul dan asbabul wurud, dan membaca sejarah Islam.
Saya rasa yang demikian akan menjadikan seorang muslim lebih arif, komparatif dan komprehensif dalam memahami Islam.
Karena kenoraan dalam memahami Islam sungguh tidak tumbuh pada muslim yang selalu mau belajar.
Singkatnya, saya ingin katakan bahwa radiakalisme muncul karena kenorakan yang disebabkan karena kedangkalan pemahaman dan kemalasan.
fwkh