Quo Vadis
Lulusan Sejarah?
Ilustrasi gambar oleh: Dirga Fawakih |
Sejarah diajarkan
di setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi. Hal tersebut telah menguatkan bahwa sejarah penting untuk terus
dipelajari. Namun sebagian besar
orang masih bingung dengan urgensi mempelajari sejarah. Bagaimana esensi
kesejarahan itu dapat direalisasikan. Apakah sejarah diajarkan hanya untuk
hal-hal yang bersifat normative, seperti pembentukan karakter, menumbuhkan
nilai nasionalisme, patriotisme dan kesetiakawanan. Atau sebenarnya sejarah
mampu menjanjikan hal yang lebih jauh?
Dilema Sarjana Sejarah
Untuk menguatkan
pentingnya ilmu sejarah dan
mekaderisasikan para ahli sejarah, berbagai perguruan
tinggi menyelenggarakan program studi khusus untuk
memperdalam ilmu sejarah. Di samping
itu, juga terdapat jurusan pendidikan sejarah yang
dimaksudkan untuk mengkaderkan para guru sejarah.
Dalam
perjalanannya, ilmu sejarah sebagai
sebuah disiplin ilmu cukup sulit untuk mendapatkan tempat
di hati masyarakat. Jurusan Sejarah dianggap tidak menjanjikan masa depan dan tidak memiliki
peluang kerja yang pasti. Maka dari itu, sejarah menjadi salah satu program
studi yang tidak
banyak diminati.
Sedikit sekali mereka yang benar-benar
berminat untuk mendaftarkan diri pada jurusan sejarah. Sekalipun suatu program studi banyak menerima
mahasiswa sejarah, kebanyakan di antara
mereka yang masuk karena “celaka” atau karena “kepalang beasiswa” atau yang
penting masuk kampus negeri luar biasa.
Berbeda dengan
perogram studi pendidikan sejarah yang memang benar-benar bertujuan untuk
mengkaderkan para pendidik sejarah, ilmu sejarah “tulen” dianggap belum mampu melinierkan kompetensi dasar mereka
dengan dunia kerja. Meskipun sejatinya sarjana ilmu sejarah diset untuk
menjadi seorang peneliti.
Tidak seperti disiplin ilmu lain, semisal
akuntansi, yang ketika seorang masuk jurusan tersebut mereka sudah menakar
bahwa kelak mereka
akan kerja di bank atau prusahaan-perusahaan yang membutuhkan jasa hitung. Maka dari
itu jurusan akuntansi dan beberapa jurusan
yang dianggap memiliki peluang kerja besar semisal kedokteran, teknik, manajeman, laksana gula
yang dihinggapi semut.
Maka dari itu tidak
heran jika banyak yang galau ketika berada di jurusan ilmu sejarah. Mau jadi
apa kelak?, mau
kerja apa?, mau kerja di mana kalau lulus nanti?. Pertanyaan tersebutlah yang
terus bergema dalam sanubari mahasiswa sejarah. Atau pertanyaan seorang Ibu mertua
yang khawatir jika putrinya kelak berpacaran dengan sarjana sejarah. Saya kira
tidak salah pertanyaan tersebut, karena secara naluriah manusia dituntut untuk
berfikir idealis. Apa yang
dipelajari dalam bangku perkualiahan diharapkan dapat menjadi penunjang karir.
Yang lebih parahnya
lagi, para pendidik ilmu sejarah
dalam hal ini dosen dan penyelenggara program studi Ilmu sejarah, tidak pernah benar-benar merumuskan hal yang mengalaukan ini. Para dosen dan penyelenggara program studi sejarah dengan cuek membiarkan para mahasiswa terombang-ambing dalam
kebimbangan.
Mungkin bagi orang-orang yang beruntung
berada di lembaga pemerintahan
(kesejarahan-permuseuman) atau menjadi dosen yang bergelut dalam bidang kesejarahan bisa duduk santai sambil menghela nafas lega. Namun apakah hanya universitas, lembaga
penelitian, lembaga pemerintahan (kesejarahan), museum, dan lembaga kearsipan
yang hanya menjadi lapangan kerja lulusan ilmu sejarah?.
Mengingat lapangan tersebut sangat sempit. Bagaimana
dengan para sarjana sejarah lainnya, yang belum semua atau tidak mungkin tertampung semua dalam pemerintahan dan
tidak berkesempatan menjadi dosen ataupun peneliti
kesejarahan.
Kompetensi Dasar sampai Jobfair
Kesejarahan
Sejarah sebagai
ilmu mencerdaskan dan berguna
menanamkan nilai kebajikan, penulis sepakat. Sejarah
menjadikan seorang berfikir historis,
kritis dan
kontekstual penulis
pun sepakat.
Namun apa yang bisa dilakukan dengan keahlian-keahlian tersebut. Tetap saja
kerja menjadi motifasi seorang dalam menempuh pendidikan.
Walaupun tidak
sepenuhnya dibenarkan, karena esensi menempuh pendidikan adalah menuntut ilmu
dan menjadi ahli. Namun tidak menafikan bahwa pekerjaan sangatlah dibutuhkan sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia. Sehingga seorang lulusan sejarahpun tetap harus bekerja.
Penulis kira
persoalan mengenai masa depan dan lapangan pekerjaan para sarjana sejarah harus
mulai difikirkan secara serius. Stigma bahwa lulusan sejarah tidak memiliki
masa depan dan tidak memiliki pekerjaan yang jelas harus segera diluruskan. Agar kelak Ibu mertua tidak takut menitipkan
anaknya pada seorang sejarawan.
Pada dasarnya
sejarah mengajarkan kita untuk berfikir historis, kritis, kontekstual untuk kemudian
menuntut untuk terus menulis. Penulis kira beberapa hal tersebut yang menjadi kompetensi
dasar dari ilmu sejarah, terlepas dari jutaan fakta, tahun, dan nama yang harus
diingat dan dikuasai oleh sarjana sejarah.
Singkatnya sejarah
menjadikan kita manusia yang berfikir filosopis dan bukan diset untuk menjadi pekerja. Namun bukan
berarti orang yang berfikir filosopis tidak bisa bekerja. Dan bukan berarti lulusan sejarah tidak ingin
bekerja dan tidak memiliki pekerjaan.
Penulis rasa beberapa poin kompetensi dasar di atas
yang harus terpatri kuat dalam jiwa para sarjana sejarah. Sehingga dengan
kecerdasannya itu mereka tetap dapat turun di berbagai bidang yang
tidak harus linier. Kedengarannya memang menghibur, namun kegalauan para
sarjana sejarah tidak akan berhenti pada wejangan yang bersifat petuah ini. Perlu adanya
tindakan untuk membuka asa para sarjana sejarah yang sedang linglung menghadapi
sempitnya dunia kerja.
Bayangan penulis yang selanjutnya adalah pemetaan
pekerjaan lulusan ilmu sejarah. Sebelumnya kita harus bisa memetakan kompetensi dasar yang dimiliki para sarjana
sejarah. Misalkan seorang lulusan sejarah dipastikan memiliki
kompetensi dasar sebagai pemikir dan pembaca yang baik, orang yang kritis, berfikir kontekstual,
dan pandai menulis. Sedikitnya beberapa hal tersebut yang menjadi kompetensi dasar para sarjana sejarah dan bersifat general. Sehingga kompetensi
tersebut dapat diterapkan dalam berbagai bidang.
Tahap selajutnya
adalah melinierkan kompetensi dasar
yang dimiliki sarjana sejarah dengan peluang kerja yang ada di setiap instansi
atau perusahaan yang membutuhkan kompetensi lulusan sejarah tersebut. Untuk mewujudkan hal ini perlu adanya
kerjasama dengan berbagai instansi. Yang kemudian penulis bayangkan akan
terwujud sebuah “jobfair kesejarahan”.
Maka dari itu, pada
masa selanjutnya kita tidak perlu aneh melihat seorang sarjana ilmu sejarah
bekerja di bank, menjadi pedagang, konsultan, penulis di media cetak-online,
aktivis sosial, loyalis lembaga filantropi, wartawan, diplomat dan sebagainya. Karena keahlian mereka yang bersifat general
bisa diterapkan di berbagai bidang.
Penulis kira keidealisan Kuntowijoyo bisa menjadi solusi bila kita
mencoba untuk menafsirkannya lebih jauh, bahwa lulusan
sejarah bukanlah orang yang harus bekerja dalam bidang kesejarahan, menjadi guru sejarah,
dosen ataupun peneliti. Namun lulusan sejarah adalah lulusan yang siap berada
di mana pun. Termasuk di pabrik sepatu, tempat pengalengan ikan, dan sebagai
pedagang.
Bayangan Kuntowijoyo tidaklah bersifat sempit, namun jika kita tafsirkan
lebih jauh bahwa sesungguhnya lulusan ilmu sejarah tidak harus mengabdi pada pekerjaan
kesejarahan. Karena tidak semua instansi pemerintah (kesejarahan), lembaga
penelitian, universitas bisa menampung sarjana sejarah. Namun sarjana sejarah
bisa berkecimpung diberbagi bidang pekerjaan lain.
Saatnya Move on, Kembangkan Sideskill
Selain itu, seorang sarjana sejarah juga diharapkan memiliki sideskill di samping kompetensi dasar
dalam bidang sejarah. Seorang sarjana sejarah tidak melulu harus fokus pada experties kesejarahan, namun mereka bisa
mulai move on dan mencoba berlatih
keahlian sampingan, yang pasti tanpa menanggalkan ilmu kesejarahannya.
Misalkan seorang sarjana sejarah mampu menguasai ilmu informatika,
desain grafis, kebahasaan, retorika, agama, dan beberapa sideskill lainnya. Yang kemudian sideskill tersebut dapat menunjang kompetensi dasar yang dimiliki.
Sehingga lulusan ilmu sejarah tidaklah seperti manusia purba yang baru direinkarnasikan
di abad 21, yang gagap teknologi dan kemajuan. Namun lulusan sejarah adalah
mereka yang multitaskin yang mampu bersaing dan pandai dalam berbagai bidang,
namun tidak melupakan rahim sejarah yang telah melahirkannya.
Berdamai dengan Dunia Kerja
Pada akhirnya ilmu sejarah harus
berdamai dengan dunia kerja. Para penyelenggara program studi sejarah dan instansi pengelola pendidikan
sejarah tidak bisa terus mengiming-imingkan para bibit-bibit sejarawan dengan hal yang bersifat utopis dan menghibur. Mereka
harus mulai merumuskan peluang kerja jurusan sejarah. Agar kelak mereka yang
masuk program studi sejarah masuk dengan rasa ikhlas dan lulus dengan percaya
diri.
Menjadi kewajiban bersama bagi para ahli sejarah,
penggiat sejarah, organisasi profesi, penyelenggara program studi sejarah dan pemerintah
untuk bersama merumuskan peluang kerja jurusan sejarah. Agar kelak lulusan
sejarah tidak terasingkan dari dunia fana, dan stigma bahwa sejarah itu suram
dan tidak memiliki masa depan mulai terluruskan.
Tetap semangat sarjana muda.
Tetap semangat sarjana muda.
Wallau’alam Bishawwab
Penulis:
Dirga
Fawakih
Alumni
Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam Konsentrasi Asia Tenggara di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Saat
ini bekerja sebagai staf di Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Kontak:
08970086773