Kartini: Antara Inspirasi dan Kontroversi
Kartini, Raden Adipati Djojoadiningrat (suami Kartini)
Soematri, Roekmini, dan Kartinah
Sumber gambar: Tempo, Gelap Terang Hidup Kartini, 28 April 2013.
Kartini, namanya
bukan saja dikenal sebagai seorang pahlawan nasional, lebih dari itu, sejarah
hidupnya dijadikan sebagai
simbol pembebasan kaum wanita. Bahkan
hari kelahirannya diperingati secara khusus di Indonesia setiap tanggal 21 April.
Semua
jenjang pendidikan mulai dari PAUD, Taman Kanak-Kanak, sampai dengan sekolah
menengah memperingati hari kelahirnya dengan mengenakan baju adat, mengadakan
seminar, apel pagi dan sebagainya. Di instansi pemerintahan hari Kartini juga
ramai diperingati.
Kartini
telah menjadi simbol yang membumi. Namanya kian harum mewangi bak kasturi. Namun
nampaknya tidak seluruh manusia di Bumi Pertiwi mencium aroma harum nama Kartini.
Kartini sebagai tokoh yang disimbolkan tak pelak juga memunculkan gugatan. Kebesaran
nama Kartini pada akhirnya bukan saja menjadi inspirasi, namun juga memunculkan
kontroversi.
Dalam
artikel ini penulis ingin membahas Kartini melalui dua sisi, pertama Kartini
yang dianggap sebagai inspirasi. Dan kedua, Kartini yang disimbolkan, yang
kemudian memunculkan kontroversi. Pastinya penulis tidak berdiri pada salah
satu sisi, namun penulis lebih ingin memoderasi.
Kartini Dipuji
Kartini
dianggap sebagai wanita yang
telah melampaui zamannya. Dikala semua wanita tertunduk pada sebuah keajegan
adat-istiadat yang baik sadar maupun tidak mendiskriminasikan peran kaum
wanita, Kartini telah tergerak untuk mendobrak tradisi usang yang
mendiskiminasikan peran wanita itu.
Pada masa itu wanita dianggap tidak lebih hanya sebagai pelengkap hidup kaum
laki-laki, atau istilah lain “pemain belakang”.
Di
tengah keajegan adat istiadat itu,
Kartini dengan gagah mendobrak kebiasaan lama. Maka dari itu W.R Supratman memujinya sebagai
“pendekar kaumnya”. Sebutan yang
membuat Kartini seakan gagah berani.
Melalui
surat-suratnya
yang dituliskan untuk
teman-temannya yang berkebangsaan Belanda, kita dapat mengetahui cita-cita
perjuangan Kartini. Pemikirannya banyak berfokus
pada
pembebasan hak-hak kaum wanita dalam menuntut kesetaraan di berbagai aspek, feodalisme, pendidikan,
nasib kaum pribumi, dan kebangsaan.
Di
tengah ketatnya kungkungan adat dan tradisi, Kartini menyempatkan untuk saling berkorespondensi dengan
teman-temanya yang berkebangsaan Belanda. Setelah ia meninggal, surat-suratnya
kemudian dibukukan
oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911
dengan
judul Door Duisternis Tot Licht. Dan
kemudian diterjemahkan oleh Armjn Pane dalam
bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Melalui surat-suratnya inilah perjuangan
Kartini lebih dikenal.
Surat-surat
Kartini mempresentasikan sebuah pemikiran orisinil wanita pribumi yang telah
berfikir jauh ke depan.
Andai saja Kartini tidak pernah menulis surat dan tidak mengungkapkan kegelisahan jiwanya,
mungkin hingga kini namanya tidak akan dikenang. Memang semasa hidupnya belum
banyak yang dapat dilakukan Kartini untuk mewujudkan cita-citanya. Namun
melalui surat-suratnya kita dapat melihat sebuat cita-cita agung seorang anak
bangsa berusia 20 tahun yang kala itu bahkan belum mengenal nama Indonesia,
namun telah memikirkan jauh ke
depan
nasib kaumnya.
Dalam
memperingati satu abad kelahiran Kartini dipersembahkan sebuah buku yang
berjudul Satu Abad Kartini. Buku
tersebut berisi tentang esai-esai perjuangan Kartini. Buku tersebut ditulis
oleh para penulis dari berbagai disiplin, seperti Sutan Takdir Alisjahbana,
Haryati Soebadio, Ny. Aisyah Dahlan, Aburrachman Surjomihardjo dan beberapa
penulis lainnya. Buku ini diterbitkan dalam rangka menghidupkan kembali
nilai-nilai inspiratif dalam sejarah hidup Kartini.
Kartini
sering kali disanjung dengan ungkapan “ibu kita” dan “pendekar bangsa, pendekar
kaumnya”, sandangan tersebut merupakan pujian tertinggi masyarakat Indonesia
kepada Kartini. Dan belum ada wanita lain yang mendapatkan sandangan serupa. Lebih
lanjut, sebagai penghargaan terhadap Kartini, setiap tanggal 21 April
diperingati hari kelahirannya. Di sekolah-sekolah dan instansi pemerintahan
hari Kartini diperingati dengan semarak.
Sebagai
apresisi terhadap buah cita dan pemikirannya, Kartini juga diangkat sebagai
pahlawan nasional. Terlebih lagi namanya diabadikan menjadi nama jalan,
sekolah, dan instiusi/lembaga. Berbagai bentuk apresiasi masyarakat tersebut
telah menunjukan bahwa Kartini telah dianggap sebagai simbol yang menginspirasi.
Kartini Digugat
Kebesaran
nama Kartini yang dianggap sebagai inspirasi bukan tanpa gugatan. Beberapa
kalangan mengugat Kartini dijadikan sebagai simbol perjuangan kaum wanita.
Sejarah hidup Kartini tidak lebih hanya surat menyurat saja (Taufik Abdullah).
Tidak ada action yang dilakukan
Kartini. Pendirian “sekolah gadis” oleh Kartini tidak sempat berkembang dan
tidak memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan kaum wanita pribumi.
Sejarawan
Harsja W. Bachtiar menjadi salah satu tokoh yang mengugat ketokohan Kartini.
Dalam karangannya yang berjudul, “Kartini dan Peranan dalam Masyarakat Kita”
dalam buku Satu Abad Kartini, Harsja
mengatakan bahwa, Kartini merupakan simbol bentukan Belanda. Indonesia tidak
menciptakan simbol perjuangan kaum wanitanya sendiri, melainkan hanya
mengadopsi.
Lebih
lanjut Harsja mengungkapkan bahwa, masih banyak wanita pribumi yang perjuangan
dan pengabdiannya telah melampaui Kartini. Kartini bukanlah tokoh emansipasi
awal. Apa gerakan pembebasan yang telah dilakuakan Kartini? Pembebasan terhadap
siapa? Dari apa hendak wanita Indonesia dibebaskan, tukas Harsja W. Bachtiar. Memang
pertanyaan tersebut terdengar menohok bagi para pengagung Kartini. Dan kalau
begitu sandangan “ibu kita” dan “pendekar bangsa” nampaknya berlebihan.
Sebelum
Kartini lahir, telah banyak tokoh wanita yang bukan saja berfkir emansiptif,
namun menggerakan emansipasi itu sendiri. Misal pada masa yang hampir sama, dalam
rangka memajukan pemikiran wanita yang terbelakang, Rahma el Yunusiah telah
mendirikan Madrasah Diniyah Puteri di Padang Panjang, yang hingga kini madrasah
tersebut masih berkembang pesat dan memberikan pengaruh besar bagi masyarakat. Kita
juga mengenal Dewi Sartika dari Jawa Barat yang kala itu mendirikan “Sekolah
Istri” dan terbilang cukup berkembang.
Lebih
lawas lagi kita juga mengenal Sultanah Safiatudin dari Aceh, Siti Aisyah We
Tenriolle dari Ternate, dan Sultanah Kalinyamat dari Demak yang kala itu kesemuanya
telah berperan besar dalam menggerakan roda kerajaan. Bahkan pada masa mereka,
bisa dikatakan kerajaan dalam kondisi yang maju. Bukankah mereka juga penggerak
emansipasi, bahkan nyata tindakannya. Fakta tersebut telah menunjukan bahwa
Kartini bukanlah merupakan pelopor gerakan emansipasi. Gerakan emansipasi telah
jauh digaungkan oleh wanita-wanita sebelum Kartini.
Selain
itu, perjuangan Kartini juga hanya sebatas surat menyurat. Tidak satu pun cita-citanya
terwujud ketika ia masih hidup. Namun nama Kartini begitu agung tergaung dan
seakan telah terpatri kuat dalam sanubari manusia di Bumi Pertiwi. Padahal jika
dibanding dengan tokoh-tokoh wanita yang penulis sebutkan di atas, perjuangan
Kartini dalam artian perjuangan fisik tidak sebanding dengan tokoh-tokoh
tersebut.
Kartini
juga merupakan tokoh yang inkonsisten. Melalui surat-suratnya kepada Steela
Zeehandelaar Kartini banyak menceritakan mengenai kebenciannya pada tradisi
poligami yang berkembang di masyarakatnya. Namun pada kenyataannya Kartini
tidak memegang teguh pendiriannya. Ia malahan menikah dengan Bupati Rembang
yang jelas-jelas kala itu telah memiliki isteri lebih dari satu.
Keinkonsistenan Kartini tersebut juga menjadi celah untuk mengguat ketokohan
Kartini.
Gugatan
juga datang dari kalangan islamis. Kartini dianggap sebagai tokoh yang sekular.
Hal itu disebabkan karena gugatannya terhadap tradisi keagamaan di Jepara,
seperti poligami dan mengaji. Kartini menentang pengajaran al-Qur’an yang
berbahasa Arab yang tidak boleh diartikan dalam bahasa Jawa. Semasa Kartini
belajar al-Qur’an gurunya tidak mengizinkan menjelaskan arti dan makna yang
terkandung dalam al-Qur’an. Karena hal itu dianggap tabu. Maka dari itu,
pelajaran yang paling tidak ia sukai adalah belajar al-Qur’an. Kartini juga
mengutuk kebanyakan perang yang dianggapnya disebabkan karena sentimen para
penganut agama.
Lebih
parah lagi ada kalangan yang mengatakan bahwa Kartini adalah tokoh bentukan
Yahudi. Tuduhan ini tidak lebih dikarenakan karena keakraban Kartini dengan
sahabat penanya, Steela Zeehandelaar yang beragama Yahudi.
Namun
Buya Hamka telah menengahkan hal tersebut. Hamka mengatakan semasa Kartini
hidup pembaharuan Islam belum santer di Jepara. Islam yang berkembang di Jepara
kala itu masih Islam yang kolot dan belum berfikir maju. Sehingga nilai-nilai
Islam yang selaras dengan kemajuan belum diterima Kartini. Andai saja kala itu
Kartini telah merasakan pembaharuan Islam, hal tersebut dapat memalingkan
anggapan negatif Kartini terhadap agama Islam. Karena sesungguhnya nilai-nilai
keislaman tidak immune terhadap
kemajuan.
Jalan Tengah
Nama
Kartini kian harum mewangi
bak bunga kasturi. Geliat pemikirannya terus menginsiprasi para generasi muda
Bumi Pertiwi. Untuk mengekspor pemikirannya, surat-suratnya bahkan telah
diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
internasional dan daerah. Hampir setiap zaman
menulisakan kisah hidupnya. Tercatat lebih
dari sepulun buku telah menorehkan kisah hidupnya.
Hal tersebut telah membuktikan bahwa esensi
pemikiran dan sejarah perjuangan Kartini dianggap
penting untuk terus dihidupkan guna memberikan
inspirasi bagi generasi bangsa.
Kita
tidak bisa mengelak bahwa setiap bangsa harus memiliki simbol sejarah. Semisal
penetapan tanggal berdirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Bangsa. Padahal
sebelumnya telah muncul Syarikat Islam yang berdiri dan memperjuangkan nasib
pribumi. Namun mengapa Budi Utomo yang dijadikan sebagai simbol pergerakan
nasional. Maka dari itu, di satu sisi simbol menjadi hal yang penting untuk
memahami makna sejarah meskipun sifatnya hanya formal saja. Begitupun dengan
Kartini, kita juga tidak bisa mengelak bahwa Kartini merupakan simbol yang dibuat
untuk motif tertentu. Kebaikan pastinya. Penulis kira tidak usah juga terlalu
“kartiniphobia” karena kita tidak setuju dengan ketokohan Kartini.
Nama
Kartini terlanjur telah melekat kuat sebagai
simbol perjuangan Kaum Wanita. Sebesar apapun gugatan yang datang penulis kira
tidak akan mampu menggoyahkan ketokohannya. Namun apakah Kartini yang terbaik
dari sekian tokoh wanita? Penulis rasa ini sangat relatif. Karena Kartini
sebagai manusia biasa juga memiliki kekurangan. Indonesia memiliki sekian
banyak tokoh wanita yang dapat dijadikan inspirasi. Kartini sebagai simbol,
penulis rasa tidak perlu dipermasalahkan. Biarlah simbol itu tetap membumi.
Dengan harapan dapat menjadi inspirasi.
Kartini
adalah pemikir ulung, pemberani, penggiat literasi, dan cerdas. Namun kita
perlu ingat bahwa Kartini juga manusia biasa, yang kisah hidupnya tidak luput
dari berbagai kekurangan. Andai saja ia masih hidup, penulis fikir ia juga
tidak ingin ditokohkan, disebut sebagai “ibu kita”, “pendekar bangsa”, apalagi
harus dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional. Karena sandangan-sandangan tersebut
sangat berat untuk emban.
Sekarang
yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kita dapat mengangkat sejarah
perjuangan wanita inspiratif lainnya. Agar Kartini tidak nampak sebagai tokoh
sentral. Bukan untuk menyaingi nama Kartini, karena nama Kartini terlanjur
membumi. Atau menambahkan tokoh baru ke daftar pahlawan nasional, yang hal
tersebut malah membuat makna pahlawan nasional semakin tidak berarti jika
semakin banyak. Melainkan agar masyarakat Indonesia dapat mengambil nilai
inspiratif dari sekian banyak “mutiara kinasih” di Bumi Pertiwi.
Wallahu’alam Bishawwab.
Penulis:
Dirga Fawakih
Alumni Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam Konsentrasi Asia Tenggara di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saat ini bekerja sebagai staf di Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kontak: 08970086773