Mengambil Ibrah dari Tradisi Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW
Tradisi peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi tradisi yang selalu melekat pada hampir
seluruh kaum Muslim di dunia, terutama Indonesia. Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW ini selalu menjadi seremonial penting tahunan yang tak pernah
terlewatkan. Hampir di setiap masjid, mushollah, dan majlis taklim di seluruh
plosok Indonesia seakan tak pernah absen untuk selalu meramaikan seremonial
tahunan ini.
Indonesia seakan
telah akrab dengan berbagai tradisi lokal yang beradhesi dengan nilai-nilai
Islam. Peringatan Maulid Nabi Muhammad salah satunya. Terkait hal ini Azyumardi
Azra mengatakan bahwa Islam Indonesia merupakan the folwerly of Islam atau Islam yang berbunga-bunga. Hal ini
menunjukan bahwa Islam Indonesia merupakan Islam yang penuh dengan “seremonial
tambah” yang merupakan peleburan antara tradisi lokal dengan nilai-nilai
keislaman.
Dalam sudut pandang
fiqh, memang tradisi ini masih dalam perdebatan mengenai dasar hukumnya. Jika
kita membaca kembali Sirah Nabawiyah, nabi sendiri sebenarnya tidak pernah
memperingati hari kelahirnannya sendri. Bahkan sampai masa khilafah empat dan
dinasti Umayyah tradisi ini belum belum terlaksana. Maka dari itu kaum Wahabi
yang notabene anti-maulid menyimpulkan bahwa tradisi ini dinilai bid’ah. Di
Saudi Arabia sendiri tradisi ini tidak berkembang karena dilarang.
Beberapa sejarawan
sepakat jika dikatakan bahwa tradisi ini mulai dilaksanakan secara
besar-besaran pada masa Dinasti Ayyubiah di Mesir sekitar tahun 1183 M. Sebenarnya
tradisi ini memang sudah terlebih dahulu berkembang di kalangan mazhab Syi’ah
Daulah Fatimiyah di Mesir dan beberapa daulah kecil lainnya. Namun
peringatannya masih dalam lingkup kerajaan saja. Maka dari itu adapula umat
Islam yang anti Maulid lantaran menganggap bahwa tradisi ini merupakan tradisi
Syi’ah.
Pada masa
terjadinya Perang Salib(the Crusade)umat
Islam sempat mengalami kekalahan dengan terebutnya Masjidil Aqsa pada tahun
1099 M. Kala itu Salahuddin Al-Ayyubi (1174-1193) menganggap bahwa kekalahan
umat Islam disebabkan karena gairah perjuangan mereka yang kian memudar.
Nampaknya perang selama bertahun-tahun telah banyak memakan korban jiwa dan
harta,sehingga umat Islam kala itu benar-benar dalam kelesuan yang sangat
mendera. Ditambah lagi umat Islam pada masa-masa itu sedang tidak dalam
persatuan yang erat. Karena telah terpecah-pecah menjadi dinasti-dianasti kecil
di bawah legitimasi Abbasiah.
Sebagai seorang
gubernur merangkap sebagai panglima, Salahuddin berusaha mencari jalan keluar
untuk kembali mengangkat kembali gairah perang umat Islam yang kian memudar.
Kala itu Muzaffarudin Gekburi, ipar Salahudin yang menjabat sebagai atabek di
Suriah mengusulkan untuk mengadakan peringatan hari kelahiran maulid Nabi SAW.
Sebenarnya Muzaffarudin memang telah sering kali melakukan tradisi ini untuk
mengimbangi hari raya Natal umat kristiani, namun hanya dalam kalakangan
kerajaan saja.
Salahudin menerima
usulan tersebut, namun memerlukan legitimasi dari Daulah Abbasiah sebagai
pusat. Kala itu Khalifah An-Nashir Lidinillah (1180-1225) yang menjabat sebagai
khalifah memberikan izin. Namun sebenarnya legitimasi dari perayaan ini juga
mengalami perdebatan yang panjang dikalangan para ulama
saat itu. Karena beberapa ulama beranggapan bahwa tradisi ini merupakan bid’ah
dan ditakutkan akan menumbuhkan sifat pengkultusan yang berlebihan. Namun atas
perizinan yang diberikan khalifah akhirnya Salahuddin tetap melaksanakan
peringatan ini.
Pada tahun 1183
Salahudin menyelengarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW secara
besar-besaran untuk yang pertama kalinya dalam sejarah Islam. Seperti tujuan
awalnya, peringatan maulid Nabi ini dimaksudkan untuk membangkitkan gairah
perang para tentara Muslim dalam Perang Salib. Dan sekaligus ingin kembali mempersatukan
semangat kaum muslimin yang kian tercerai-berai.
Pada moment yang
sama Salahuddin juga melakukan sayembara pembuatan syair sirah Nabawiyyah.
Sayembara ini diikuti beberapa ulama terkemuka kala itu yang juga berprofesi
tidak hanya sebagai faqih namun sastrawan dan cendikiawan. Dalam sayembara itu
terpilihlah syair sirah yang diciptakan oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji. Yang
hingga kini syairnya lebih dikenal dengan al-Barzanji.
Syaikh Ja’far
al-Barzanji memang bukan ulama yang asing kala itu. Ia dikenal sebagai seorang
satrawan dan agamawan yang juga turut aktif mengajar dan menjadi khotib di
masjid Nabawi. Syaikh Ja’far juga dikenal sebagai seorang ulama yang yang cakap
dalam beberapa disiplin ilmu seperti fiqh, mantiq, hadis, tasawuf, kalam, dan sebaganya.
Salahudin kemudian
juga menyerukan kepada jama’ah haji di Mekkah untuk menyebarkan tardisi
perayaan Maulid Nabi keseluruh kampung halaman para jama’ah haji. Kala itu
memang mazhab Wahabi belum mendominasi Mekkah. Seruan yang dilakukan Salahudin inilah
yang kemudian menjadikan peringatan Maulid Nabi tersebar keseluruh plosok
dunia.
Pada masa
selanjutnya syair yang berisikan sirah tidak hanya mengacu pada kitab
al-Barzanji, namun beberapa ulama setelahnya juga kemudian menyusun sirah yang
berbentuk syair. Sehingga tidak aneh jika kita melihat banyak sekali jenis
kitab mawlidyang berkembang saat ini.
Seperti yang
penulis katakan sebelumnya, tradisi ini telah sangat melekat pada jiwa
kebanyakan umat Islam. Namun sayangnya peringatan Maulid Nabi ini hanya
berhenti pada perdebatan normatif yang berkaitan dengan hukum pelaksanaanya.
Namun jarang sekali yang melihat dalam sudut pandang historis dan dampaknya
secara sosio-psikologis.
Dalam hal ini
penulis bukanlah sebagai orang yang anti maulid, namun juga bukan fanatik
terhadap maulid. Penulis lebih bersikap moderat melihat maulid sebagai fenomena
agama dan budaya. Pun jika kita lanjutkan perdebatan mengenai maulid baik sang
anti maupun sang fanatik keduanya masing-masing memiliki dasar yang dapat
dipertanggung jawabkan. Sehingga perselisihanpun hanya akan menimbulkan
perdebatan yang tidak produktif.
Maulid Nabi telah
menjadi tradisi yang mengakat kuat, sehingga tindakan secara revolusioner untuk
menghapuskannya pun akan kembali menimbulkan perselisihan antara sesama saudara
muslim. Di Indonesia sendiri peringatan Maulid Nabipun telah dilaksanakan sejak
jaman kerajaan Islam dengan berbagai bentuk ekspresi budaya yang berbeda, namun
tetap satu tujuan, yakni mengenang perjuangan Rasul.
Jika kita melihat
kembali motif Salahudin untuk mengadakan Maulid kala itu adalah untuk
membangkitkan kembali semangat perang umat Islam. Alangkah baiknya jika motif
Salahudin tersebut tetap dihidupkan hingga kini. Kisah perjuangan Rasul yang
oleh beberapa orang hanya dianggap sebagai bahan bacaan, namun sebenarnya jika kemas
dalam bentuk syair yang menarik dapat menjadi alunan musik kebangkitan. Penulis
masih teringat dalam sebuah workshop,
kala itu Dr. Tommy Cristomy yang menjadi narasumber. Ia mengatakan bahwa ia pernah
menemukan orang-orang di Papua yang masuk Islam dikarenakan lantunan
syair-syair Maulid al-Barzanji.
Kebangkitan Islam
masa kini memang bukan lagi dalam konteks berperang, namun bangkit dalam
persatuan. Alangkah indahnya moment
tradisi Maulid Nabi Muhammad jika dijadikan sebagai moment untuk bersyi’ar dan
kembali mempererat ukhuwah Islamiyyah.
Tradisi yang telah mengakar kuat memang tidak bisa secara revolusioner
ditentang, namun perlu diarahkan, difilterasi, dan disisipkan dengan
nilai-nilai Islam. Hal ini seperti yang dilakukan oleh para muballigh Islam
Indonesia dan telah terbukti efektif.
Begitupun dengan
tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hemat penulis selama tradisi ini
mencerminkan manfaat seperti yang tercatat sejarah, tidak mubadzir, dan tidak
menumbuhkan pengkultusan yang berlebihan, nampaknya tradisi ini perlu
dipertahankan sesuai fungsinya. Nilai-nilai sejarah nabi dan peringatan Maulid
Nabi juga seharusnya menjadi titik tekan para Mubaligh yang berkesempatan
mengisi setiap acara peringatan Maulid ini. Moment ini menjadi kesempatan untuk
kembali menggugah jiwa umat Islam untuk meneladani kiprah sang teladan.
Wallahu’alam Bishawwab