Belajar Tenggang Rasa dari Tragedi Karbala

Belajar Tenggang Rasa dari Tragedi Karbala

Tanggal 10 Muharram menjadi tanggal yang tidak biasa bagi sebagian besar umat Islam. Sebagian dari umat Islam ada yang menjadikan hari ini sebagia moment normatif untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan melaksanakan puasa Tasu’a. Sebagian lagi ada yang disibukan dengan melaksanakan tardisi-tradisi keislaman lokal. Di Nusantara sendiri terdapat puluhan tradisi keislaman lokal untuk memperingati hari ini.

Bagi Umat Islam tanggal 10 Muharram bukan saja menjadi moment untuk sekedar melaksanakan ibadah tahunan semata. Namun hari tersebut mengandung nilai historis yang hingga kini masih melekat erat di ingatan dan hati umat Islam di dunia, khusunya bagi saudara-saudara Syi’ah.

Tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H menjadi hari yang menyedihkan bagi Ahlul Bayt dan para simpatisannya. Bagaimana tidak, pada hari ini telah terjadi pembantaian yang menyebabkan Husein salah seorang Cucu Nabi mati terbunuh. Padang Karbala di Iraq menjadi saksi bisu tragedi mengenaskan ini. Salah satu versi menyebutkan bahwa Husein terbunuh dengan dihinakan. Kepalanya dipenggal dan mayatnya diarak keliling kota. Yang lebih teragis lagi Husein terbunuh dalam keadaan haus dan lapar.

Meninggalnya Husein merupakan buah dari perselisihan antara keluarga Umayyah dan keluarga Ali. Pasca perang Siffin antar Muawiyyah dan Ali memang menjadi titik di mana umat Islam mulai terpecah belah menjadi beberapa sekte kalam. Khawarij, Syi’ah,dan Sunni memainkan peran penting dalam panggung sejarah awal perpecahan di antara umat Islam ini. Pada masa ini perpolitikan memang menjadi isu yang santer. Saling rebut kuasa dan pengaruh masih menjadi kegiatan yang kerap kali meramaikan pentas sejarah Islam pada masa ini.

Sebagian besar kesalahan tragedi ini memang dilimpahkan kepada keluarga Umayyah. Terutama Yazid bin Muawiyyah yang kala itu tengah menjabat sebagai khalifah Bani Umayyah. Namun tragedi ini tidak lepas dari gengsi para panglima perang yang dikirim oleh Yazid. Menurut Phillip K. Hitti sebanarnya Yazid tidak sama sekali mengintruksikan pembunuhan Husain. Karena setelah kepala Husein dipenggal dan dibawa kedepan Yazid, seketika ia menangis dan mengatakan “seandainya saya ada di sana saya akan membiarkan dirinya hidup”. Jika mengacu kepada versi sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pembunuhan Husein bukan merupakan intruksi resmi Khalifah.

Memang terdapat beberapa versi sejarah mengenai terbunuhnya Husein di padang Karbala. Namun sejatinya tidak ada kebenaran sejarah yang absolut. Mengklaim versi sejarah yang paling benarpun tidak akan ada habisnya. Namun fakta terbunuhnya Husein merupakan fakta sejarah. Dan politik sebagai sebabnya menjadi duduk permasalahan yang telah disepakati oleh sebagian besar sejarawan. Sehingga menurut saya tidak etis jika melulu mencari yang benar dan yang salah.

Saya fikir kenapa kita tidak menjadikan tragedi tersebut sebagai moment untuk saling bertenggang rasa. Merasakan kepedihan yang dirasakan para korban tragedi Karbala. Merenungi setiap jengkal sebab musabab mengapa peristiwa itu terjadi. Kita tidak bisa mengelak bahwa peristiwa tersebut merupakan sejarah kelam. Sehingga penting bagi kita untuk meghindarinya di kemudian hari. Mengambil ibrah dari sejarah adalah hal bijak. Ketimbang berselisih mengenai kebenaran sejarah yang tidak menjanjikan kebenaran mutlak.
Tanggal 10 Muharram akan lebih baik jika dijadikan simbol tenggang rasa untuk memperkokoh persatuan umat Islam. Terlepas dari apa bentuk seremonial untuk mengenang hal tersebut tidak penting. Biarkan seremonial yang berbunga-bunga terus berkembang untuk mengenang tragedi ini. Baik seremonial yang bergenre keharuan atau kesenangan. Tragedi haru tidak meluluh harus dipringati dalam suasana hening. Namun tidak juga dengan cara yang berlebihan.

Namun yang paling penting adalah menjaga esensi historis dari tragedi 10 Muharram tersebut terus terjaga dalam ingatan masyarakat Muslim di dunia. Mempelajari dan mengenang sejarah bukan untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Melainkan untuk mengambil ibrah. Karena sampai kapanpun tidak akan menemukan titik temu jika hanya mencari siapa yang benar dan salah. Sejarah kelam masa lalu alangkah baiknya dijadikan ibrah yang dikontekstualisasikan pada masa kekinian. Berusaha agar tragedi tersebut tidak terulang di masa depan adalah hal bijak. Salah satu caranya adalah menjadikan hari 10 Muharram sebagai moment untuk tenggang rasa terhadap Husein beserta keluarga dan pengikutnya. Dan menjadikannya sebagai moment persatuan umat Islam.

Wallahu’alam Bishawwab.